Wuhan, dari Pusat Wabah Jadi Pusat Pesta
Rabu, 23 Desember 2020 - 06:45 WIB
WUHAN - Malam di Kota Wuhan , China, kini begitu meriah. Lampu-lampu klub malam, bar dan restoran berpendar terang di berbagai penjuru kota. Anak-anak muda dan orang tua tampak begitu bersuka cita.
Ya, kota berpenduduk 11 juta jiwa ini telah banyak berubah. Kota di bagian tengah daratan China ini tak lagi sunyi atau bahkan mati seperti sekitar satu tahun silam. Aktivitas keramaian ini kembali pulih. Seolah wabah COVID-19 yang diduga berawal dari kota ini tak pernah terjadi. "Setelah dibuka kembali, saya belum pernah melihat begitu banyak orang. Sekarang semua orang keluar untuk makan dan bersenang-senang," kata warga yang bersuka ria saat menikmati makan sate daging dengan sekelompok teman, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (22/12/2020).
Wuhan memberlakukan lockdown selama 76 hari dari 23 Januari hingga 8 April 2020 setelah wabah pertama. Uniknya, meski disebut-sebut sebagai kota pusat awal pandemi, namun Wuhan terbukti ekstra cepat dalam pengendalian virus ini. Bahkan sejak awal Mei, Wuhan tercatat belum melaporkan kasus baru COVID-19. ( )
Keberhasilan ini membuat Wuhan kian membuka diri. Bahkan awal Desember ini, kota tersebut meluncurkan video promosi untuk menarik wisatawan. "Dari segudang lampu yang berkelap-kelip di sepanjang Sungai Yangtze dan tarian serta musik yang menakjubkan dari kapal pesiar Zhiyin, hingga cahaya yang berkilauan dan suara-suara indah dari livehouse...beri saya lima! Semua orang!," bunyi video promosi tersebut.
Guna menyelidiki seputar virus ini, tim dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga akan mendatangi Wuhan dalam waktu dekat. Kepala Darurat WHO Michael Ryan mengatakan, para ahli diperkirakan akan melakukan perjalanan pada pekan pertama Januari. "Akan ada pengaturan karantina, tentu saja kita harus. Seperti biasa, kami harus mematuhi apa pun pengaturan manajemen risiko dalam perjalanan saat kedatangan dan di China sendiri," katanya.
Badan kesehatan PBB itu mengirim tim pendahulu ke Beijing pada Juli untuk meletakkan dasar bagi penyelidikan internasional. Tetapi hingga minggu ini masih belum jelas kapan tim ilmuwan yang lebih besar dapat melakukan perjalanan ke China dalam rangka memulai studi epidemiologi untuk mencoba mengidentifikasi kasus manusia pertama dan sumber infeksi mereka. ( )
Ada kekhawatiran tentang apakah para ahli akan diizinkan melakukan perjalanan ke Wuhan. Tetapi Ryan bersikeras bahwa sementara para ahli tentu saja akan melewati Beijing, dan tidak ada keraguan tim akan mengunjungi Wuhan. "Itulah tujuan misinya," katanya.
Menurut dia, tujuan dari misi ini adalah untuk mencapai titik awal di mana kasus manusia terdeteksi. “Dan kami sepenuhnya berharap untuk melakukannya," paparnya.
Dia juga menegaskan tim tidak akan dikooptasi oleh China meski ada pemantauan dari pemerintah lokal. “Ini adalah tim ahli internasional dengan reputasi internasional, (yang) akan bekerja dengan kolega China kami,” katanya. “Mereka tidak akan diawasi oleh pejabat China," katanya lagi.
Ryan menyatakan, tim akan beroperasi sebagaimana yang dioperasikan di negara anggota mana pun. WHO menandaskan kegiatan ini diniati untuk mengejar prinsip-prinsip ilmiah yang selalu dianut oleh organisasi.
Sembunyikan Informasi
Namun di tengah keberhasilan membangun citra Kota Wuhan ini, kini muncul dokumen yang yang bocor menunjukkan bahwa tentara China membantu menyensor berita terkait virus korona. Tidak hanya itu, tentara juga meminta buzzer untuk membantu menyembunyikan informasi yang membuat Beijing tidak nyaman.
Dokumen tersebut mencakup lebih dari 3.200 arahan dan 1.800 memo serta file lainnya dari kantor regulator internet negara itu, yakni Cyberspace Administration of China (CAC), di Kota Hangzhou. Mereka juga menyertakan file internal dan kode komputer dari perusahaan China, Urun Big Data Services. Layanan ini adalah perangkat lunak yang digunakan oleh pemerintah daerah untuk memantau diskusi internet dan mengelola pasukan pemberi komentar online.
Dokumen-dokumen itu diungkap oleh situs ProPublica dan The New York Times. Data ini diberikan oleh kelompok peretas yang menyebut dirinya CCP Unmasked, merujuk pada Partai Komunis China. ProPublica secara independen memverifikasi keaslian banyak dokumen, beberapa di antaranya telah diperoleh secara terpisah oleh China Digital Times, situs web yang melacak kontrol internet China.
Berdasarkan dokumen tersebut China memerintahkan situs berita untuk tidak mengeluarkan pemberitaan kematian Li Wenliang yang meninggal karena COVID-19. Li Wenliang adalah dokter yang pertama kali memperingatkan tentang wabah virus baru yang aneh. Dia kemudian ditangkap polisi karena dituduh menyebarkan isu, sebelum akhirnya dibebaskan.
Mereka memberi tahu platform sosial untuk secara bertahap menghapus namanya dari halaman topik yang sedang tren. Dan mereka mengaktifkan legiun pemberi komentar online palsu atau buzzer untuk membanjiri situs media sosial dengan obrolan yang mengganggu, menekankan perlunya kebijaksanaan.
"Saat pemberi komentar berjuang untuk memandu opini publik, mereka harus menyembunyikan identitas mereka, menghindari patriotisme yang kasar dan pujian yang sarkastik, dan bersikap halus dan diam dalam mencapai hasil," begitu bunyi dokumen itu seperti dilansir dari situs ProPublica, Selasa (22/12/2020).
Dalam sebuah rapat pada medio Februari, Presiden China Xi Jinping menyerukan manajemen media digital yang lebih ketat. Pemerintah China mulai mengontrol narasi berita. Salah satu arahan mengatakan judul harus menghindari kata-kata "tidak dapat disembuhkan" dan "fatal", untuk menghindari menyebabkan kepanikan masyarakat. Saat membahas pembatasan pergerakan dan perjalanan, kata lockdown tidak boleh digunakan. Berbagai arahan menekankan bahwa berita negatif tentang virus tidak boleh dipromosikan.
Amerika Serikat dan negara-negara lain selama berbulan-bulan menuduh China berusaha menyembunyikan luasnya wabah pada tahap awal. Namun China dengan tegas membantah tudingan tersebut.(muhaimin/berlianto)
Ya, kota berpenduduk 11 juta jiwa ini telah banyak berubah. Kota di bagian tengah daratan China ini tak lagi sunyi atau bahkan mati seperti sekitar satu tahun silam. Aktivitas keramaian ini kembali pulih. Seolah wabah COVID-19 yang diduga berawal dari kota ini tak pernah terjadi. "Setelah dibuka kembali, saya belum pernah melihat begitu banyak orang. Sekarang semua orang keluar untuk makan dan bersenang-senang," kata warga yang bersuka ria saat menikmati makan sate daging dengan sekelompok teman, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (22/12/2020).
Wuhan memberlakukan lockdown selama 76 hari dari 23 Januari hingga 8 April 2020 setelah wabah pertama. Uniknya, meski disebut-sebut sebagai kota pusat awal pandemi, namun Wuhan terbukti ekstra cepat dalam pengendalian virus ini. Bahkan sejak awal Mei, Wuhan tercatat belum melaporkan kasus baru COVID-19. ( )
Keberhasilan ini membuat Wuhan kian membuka diri. Bahkan awal Desember ini, kota tersebut meluncurkan video promosi untuk menarik wisatawan. "Dari segudang lampu yang berkelap-kelip di sepanjang Sungai Yangtze dan tarian serta musik yang menakjubkan dari kapal pesiar Zhiyin, hingga cahaya yang berkilauan dan suara-suara indah dari livehouse...beri saya lima! Semua orang!," bunyi video promosi tersebut.
Guna menyelidiki seputar virus ini, tim dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga akan mendatangi Wuhan dalam waktu dekat. Kepala Darurat WHO Michael Ryan mengatakan, para ahli diperkirakan akan melakukan perjalanan pada pekan pertama Januari. "Akan ada pengaturan karantina, tentu saja kita harus. Seperti biasa, kami harus mematuhi apa pun pengaturan manajemen risiko dalam perjalanan saat kedatangan dan di China sendiri," katanya.
Badan kesehatan PBB itu mengirim tim pendahulu ke Beijing pada Juli untuk meletakkan dasar bagi penyelidikan internasional. Tetapi hingga minggu ini masih belum jelas kapan tim ilmuwan yang lebih besar dapat melakukan perjalanan ke China dalam rangka memulai studi epidemiologi untuk mencoba mengidentifikasi kasus manusia pertama dan sumber infeksi mereka. ( )
Ada kekhawatiran tentang apakah para ahli akan diizinkan melakukan perjalanan ke Wuhan. Tetapi Ryan bersikeras bahwa sementara para ahli tentu saja akan melewati Beijing, dan tidak ada keraguan tim akan mengunjungi Wuhan. "Itulah tujuan misinya," katanya.
Menurut dia, tujuan dari misi ini adalah untuk mencapai titik awal di mana kasus manusia terdeteksi. “Dan kami sepenuhnya berharap untuk melakukannya," paparnya.
Dia juga menegaskan tim tidak akan dikooptasi oleh China meski ada pemantauan dari pemerintah lokal. “Ini adalah tim ahli internasional dengan reputasi internasional, (yang) akan bekerja dengan kolega China kami,” katanya. “Mereka tidak akan diawasi oleh pejabat China," katanya lagi.
Ryan menyatakan, tim akan beroperasi sebagaimana yang dioperasikan di negara anggota mana pun. WHO menandaskan kegiatan ini diniati untuk mengejar prinsip-prinsip ilmiah yang selalu dianut oleh organisasi.
Sembunyikan Informasi
Namun di tengah keberhasilan membangun citra Kota Wuhan ini, kini muncul dokumen yang yang bocor menunjukkan bahwa tentara China membantu menyensor berita terkait virus korona. Tidak hanya itu, tentara juga meminta buzzer untuk membantu menyembunyikan informasi yang membuat Beijing tidak nyaman.
Dokumen tersebut mencakup lebih dari 3.200 arahan dan 1.800 memo serta file lainnya dari kantor regulator internet negara itu, yakni Cyberspace Administration of China (CAC), di Kota Hangzhou. Mereka juga menyertakan file internal dan kode komputer dari perusahaan China, Urun Big Data Services. Layanan ini adalah perangkat lunak yang digunakan oleh pemerintah daerah untuk memantau diskusi internet dan mengelola pasukan pemberi komentar online.
Dokumen-dokumen itu diungkap oleh situs ProPublica dan The New York Times. Data ini diberikan oleh kelompok peretas yang menyebut dirinya CCP Unmasked, merujuk pada Partai Komunis China. ProPublica secara independen memverifikasi keaslian banyak dokumen, beberapa di antaranya telah diperoleh secara terpisah oleh China Digital Times, situs web yang melacak kontrol internet China.
Berdasarkan dokumen tersebut China memerintahkan situs berita untuk tidak mengeluarkan pemberitaan kematian Li Wenliang yang meninggal karena COVID-19. Li Wenliang adalah dokter yang pertama kali memperingatkan tentang wabah virus baru yang aneh. Dia kemudian ditangkap polisi karena dituduh menyebarkan isu, sebelum akhirnya dibebaskan.
Mereka memberi tahu platform sosial untuk secara bertahap menghapus namanya dari halaman topik yang sedang tren. Dan mereka mengaktifkan legiun pemberi komentar online palsu atau buzzer untuk membanjiri situs media sosial dengan obrolan yang mengganggu, menekankan perlunya kebijaksanaan.
"Saat pemberi komentar berjuang untuk memandu opini publik, mereka harus menyembunyikan identitas mereka, menghindari patriotisme yang kasar dan pujian yang sarkastik, dan bersikap halus dan diam dalam mencapai hasil," begitu bunyi dokumen itu seperti dilansir dari situs ProPublica, Selasa (22/12/2020).
Dalam sebuah rapat pada medio Februari, Presiden China Xi Jinping menyerukan manajemen media digital yang lebih ketat. Pemerintah China mulai mengontrol narasi berita. Salah satu arahan mengatakan judul harus menghindari kata-kata "tidak dapat disembuhkan" dan "fatal", untuk menghindari menyebabkan kepanikan masyarakat. Saat membahas pembatasan pergerakan dan perjalanan, kata lockdown tidak boleh digunakan. Berbagai arahan menekankan bahwa berita negatif tentang virus tidak boleh dipromosikan.
Amerika Serikat dan negara-negara lain selama berbulan-bulan menuduh China berusaha menyembunyikan luasnya wabah pada tahap awal. Namun China dengan tegas membantah tudingan tersebut.(muhaimin/berlianto)
(poe)
Lihat Juga :
tulis komentar anda