Buru Mineral Langka, China Jelajahi Palung dan Antariksa
Rabu, 02 Desember 2020 - 07:23 WIB
BEIJING - China menunjukkan kedigdayaan bukan hanya dengan mengirim misi antariksa ke bulan. Namun, Beijing juga mengeksplorasi palung terdalam, yakni Palung Mariana dengan kedalaman 10.909 meter.
Dengan menggunakan kapal selam canggih bernama Fendouzhe yang mampu mendarat di titik terdalam di bumi pada 10 November lalu. Sayangnya, kapal selama tersebut tinggal sedikit lagi untuk bisa memecahkan rekor sebelumnya. Rekor dunia dipecahkan oleh petualang Victor Vescovo yang mampu mencapai kedalaman 10.927 meter pada Mei 2019. (Baca: Jadikan Sifat Tawadhu sebagai Modal Kebahagiaan)
Eksplorasi itu dilakukan oleh tiga peneliti yang mengoperasikan kapal selam tersebut. Aksi itu juga disiarkan langsung oleh stasiun televisi China, CCTV, dengan menggunakan kamera khusus. Siaran itu menjadi siaran langsung pertama yang menggambarkan laut dalam.
Menurut laporan Phys.org, China telah melakukan penyelaman Fendouzhe selama beberapa kali pada bulan lalu sebelum melakukan pendaratan di titik terdalam. Fendouzhe memiliki tangan robot yang digunakan untuk mengumpulkan sampel biologis dan sonar yang mengidentifikasi menggunakan gelombang suara.
Eksplorasi Palung Mariana pertama kali pada 1960. Namun, setelah itu jarang ada kajian hingga sutradara Hollywood James Cameron melakukan perjalanan solo pertama di dasar bumi itu pada 2012. Cameron menggambarkan palung tersebut merupakan lingkungan “alien” dan terisolasi. Fendouzhe akan menjadi kapal selam dalam bagi China mendatang.
“Dibutuhkan lebih dari dua kali uji coba sebelum kita bisa menyebutnya sukses,” kata Zhu Min, seorang peneliti di Chinese Academy of Sciences, dilansir CCTV. (Baca juga: Selama PJJ, Guru Mengaku Terkendala Jelaskan Materi Pelajaran ke Siswa)
Selama penjelajahan tersebut, tim peneliti memiliki waktu selama enam jam untuk pengumpulan data eksplorasi aktual ketika Fendouzhe bisa mencapai titik terdalam. Itu dikarenakan tekanan air mencapai 110 kPa atau setara kekuatan 2.000 gajah Afrika. Kabin kapal menggunakan titanium, material paling sempurna untuk kepadatan dan kekuatan untuk menghadapi tekanan air di kedalaman 10.000 meter. Fendouzhe juga menggunakan baterai litium sehingga tangan robot bisa mengumpulkan sampel.
China memang sudah lama mengembangkan kapal selam untuk laut dalam. Sebelumnya, China pernah mengembangkan Shenhai Yongshi yang mampu mengangkut tiga peneliti hingga kedalaman 10.000 meter. Pada Juni 2012 silam, China juga pernah memperkenalkan kapal selam laut dalam bernama Jialong, naga laut dalam legenda China. Jialong mampu menyelam hingga kedalaman 7.062 meter di Palung Mariana.
Berbeda dengan Vescovo, tujuan China tentunya bukan penelitian ilmiah. Ye Cong, kepala desainer kapal selama Fendouzhe, mengatakan tujuan utamanya adalah mencari sumber daya alam. “Dengan teknologi penyelaman canggih bisa membantu kita memahami ‘peta harta karun’ di laut dalam,” ujar Ye, kepada kantor berita Xinhua.
Harian People’s Daily, media yang menjadi corong Partai Komunis China , menyebutkan eksplorasi laut dalam itu sangat penting untuk memahami peta strategis internasional. (Baca juga: Covid-19 Bisa Sebabkan Gigi Penderita Tanggal)
“Sebagai contoh, Jepang telah menemukan sumber daya alam langka di Samudra Pasifik di mana itu memiliki cadangan 1.000 kali lebih banyak dibandingkan di tanah,” demikian tulis People’s Daily.
Mereka menyebutkan, lautan menjadi tatanan baru dunia. “Jika kita mengeksplorasi dunia ini, pihak lain akan mengeksplorasinya,” ungkap media tersebut.
China memang kerap berburu rare earth (tanah jarang) yang disebut sebagai hal paling esensial untuk produk berteknologi tinggi seperti sistem radar dan misil. Beijing memang berusaha mengusai dan mendominasi tanah jarang tersebut. Pada Juli lalu, Pemerintah China meningkatkan kuota untuk meningkatkan penambahan rare earth sebanyak 140.000 ton.
Melansir China Daily, pengusaha China juga berinvestasi di perusahaan rare earth di Greenland seiring dengan peningkatan ekonomi di kawasan Artik tersebut. Tapi, kompetisi untuk perebutan rare earth juga terjadi di seluruh dunia. (Baca juga: Moeldoko Ungkap Sulitnya Menumpas Kelompok MIT Pimpinan Ali Kalora)
Pada 2018, para peneliti Jepang menjadi pengubah permainan setelah menemukan pulau kecil bernama Minamitori di Samudra Pasifik. Di pulau tersebut mengandung jutaan ton rare earth yang sangat bernilai di dekat lumpur laut dalam. Pada tahun yang sama, Reuters melaporkan, India menyiapkan USD1 miliar untuk pencarian sumber daya di bawah laut untuk menemukan rare earth atau mineral yang bisa diekstrak.
Melansir Forbes, China memang kini makin mendominasi dalam penambangan mineral dan tambang tanah jarang. Untuk produksi tanah jarang, China sudah menguasai hampir 90%. "Risiko itu mulai terkuak sejak Presiden China Xi Jinping pada tahun lalu," kata Pini Althaus, CEO USA Rare Earth.
Saat itu, Xi berkunjung ke fasilitas rare earth yang dimiliki China dan melarang ekspor produk tersebut ke Amerika Serikat (AS). "Padahal, militer AS bergantung kepada rare earth yang diolah China untuk pesawat tempur dan Tomahawk," ujarnya. (Baca juga: Penawaran Surat Utang Negara Capai Rp94,3 Triliun)
Dalam pandangan pakar Asia dari Universitas Miami, AS, June Teufel Dreyer, China merupakan ancaman serius bagi AS dan Uni Eropa dalam penguasaan rare earth. "China telah memonopoli produksi rare earth sehingga ada motivasi untuk memaksimalkan keuntungan," ucapnya.
Berambisi Kuasai Antariksa
Bukan hanya mencari rare earth di bumi, China juga menjelajahi bulan untuk mencari sumber daya berharga di sana. Sebelumnya hanya Amerika Serikat (AS) dan Rusia yang mampu mendaratkan wahana di bulan. Hingga kemudian, Chang’e 4 milik Beijing berhasil mendarat di sisi jauh bulan pada tahun lalu. Israel justru mengalami kegagalan pendaratan wahana Beresheet pada April 2019. (Lihat videonya: Mari Sukseskan Pilkada Serentak 2020)
Misi pengiriman wahana antariksa Chang'e 5 melakukan pendaratan di bulan pada 29 November lalu. Pendaratan itu dilakukan di Mons Rumker. Misi utama Chang'e 5 yang diluncurkan pada 23 November lalu adalah melakukan penjelajahan untuk membawa sampel kembali ke bumi. Nantinya, misi tersebut akan kembali ke bumi pada pertengahan Desember mendatang. (Andika H Mustaqim)
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
Dengan menggunakan kapal selam canggih bernama Fendouzhe yang mampu mendarat di titik terdalam di bumi pada 10 November lalu. Sayangnya, kapal selama tersebut tinggal sedikit lagi untuk bisa memecahkan rekor sebelumnya. Rekor dunia dipecahkan oleh petualang Victor Vescovo yang mampu mencapai kedalaman 10.927 meter pada Mei 2019. (Baca: Jadikan Sifat Tawadhu sebagai Modal Kebahagiaan)
Eksplorasi itu dilakukan oleh tiga peneliti yang mengoperasikan kapal selam tersebut. Aksi itu juga disiarkan langsung oleh stasiun televisi China, CCTV, dengan menggunakan kamera khusus. Siaran itu menjadi siaran langsung pertama yang menggambarkan laut dalam.
Menurut laporan Phys.org, China telah melakukan penyelaman Fendouzhe selama beberapa kali pada bulan lalu sebelum melakukan pendaratan di titik terdalam. Fendouzhe memiliki tangan robot yang digunakan untuk mengumpulkan sampel biologis dan sonar yang mengidentifikasi menggunakan gelombang suara.
Eksplorasi Palung Mariana pertama kali pada 1960. Namun, setelah itu jarang ada kajian hingga sutradara Hollywood James Cameron melakukan perjalanan solo pertama di dasar bumi itu pada 2012. Cameron menggambarkan palung tersebut merupakan lingkungan “alien” dan terisolasi. Fendouzhe akan menjadi kapal selam dalam bagi China mendatang.
“Dibutuhkan lebih dari dua kali uji coba sebelum kita bisa menyebutnya sukses,” kata Zhu Min, seorang peneliti di Chinese Academy of Sciences, dilansir CCTV. (Baca juga: Selama PJJ, Guru Mengaku Terkendala Jelaskan Materi Pelajaran ke Siswa)
Selama penjelajahan tersebut, tim peneliti memiliki waktu selama enam jam untuk pengumpulan data eksplorasi aktual ketika Fendouzhe bisa mencapai titik terdalam. Itu dikarenakan tekanan air mencapai 110 kPa atau setara kekuatan 2.000 gajah Afrika. Kabin kapal menggunakan titanium, material paling sempurna untuk kepadatan dan kekuatan untuk menghadapi tekanan air di kedalaman 10.000 meter. Fendouzhe juga menggunakan baterai litium sehingga tangan robot bisa mengumpulkan sampel.
China memang sudah lama mengembangkan kapal selam untuk laut dalam. Sebelumnya, China pernah mengembangkan Shenhai Yongshi yang mampu mengangkut tiga peneliti hingga kedalaman 10.000 meter. Pada Juni 2012 silam, China juga pernah memperkenalkan kapal selam laut dalam bernama Jialong, naga laut dalam legenda China. Jialong mampu menyelam hingga kedalaman 7.062 meter di Palung Mariana.
Berbeda dengan Vescovo, tujuan China tentunya bukan penelitian ilmiah. Ye Cong, kepala desainer kapal selama Fendouzhe, mengatakan tujuan utamanya adalah mencari sumber daya alam. “Dengan teknologi penyelaman canggih bisa membantu kita memahami ‘peta harta karun’ di laut dalam,” ujar Ye, kepada kantor berita Xinhua.
Harian People’s Daily, media yang menjadi corong Partai Komunis China , menyebutkan eksplorasi laut dalam itu sangat penting untuk memahami peta strategis internasional. (Baca juga: Covid-19 Bisa Sebabkan Gigi Penderita Tanggal)
“Sebagai contoh, Jepang telah menemukan sumber daya alam langka di Samudra Pasifik di mana itu memiliki cadangan 1.000 kali lebih banyak dibandingkan di tanah,” demikian tulis People’s Daily.
Mereka menyebutkan, lautan menjadi tatanan baru dunia. “Jika kita mengeksplorasi dunia ini, pihak lain akan mengeksplorasinya,” ungkap media tersebut.
China memang kerap berburu rare earth (tanah jarang) yang disebut sebagai hal paling esensial untuk produk berteknologi tinggi seperti sistem radar dan misil. Beijing memang berusaha mengusai dan mendominasi tanah jarang tersebut. Pada Juli lalu, Pemerintah China meningkatkan kuota untuk meningkatkan penambahan rare earth sebanyak 140.000 ton.
Melansir China Daily, pengusaha China juga berinvestasi di perusahaan rare earth di Greenland seiring dengan peningkatan ekonomi di kawasan Artik tersebut. Tapi, kompetisi untuk perebutan rare earth juga terjadi di seluruh dunia. (Baca juga: Moeldoko Ungkap Sulitnya Menumpas Kelompok MIT Pimpinan Ali Kalora)
Pada 2018, para peneliti Jepang menjadi pengubah permainan setelah menemukan pulau kecil bernama Minamitori di Samudra Pasifik. Di pulau tersebut mengandung jutaan ton rare earth yang sangat bernilai di dekat lumpur laut dalam. Pada tahun yang sama, Reuters melaporkan, India menyiapkan USD1 miliar untuk pencarian sumber daya di bawah laut untuk menemukan rare earth atau mineral yang bisa diekstrak.
Melansir Forbes, China memang kini makin mendominasi dalam penambangan mineral dan tambang tanah jarang. Untuk produksi tanah jarang, China sudah menguasai hampir 90%. "Risiko itu mulai terkuak sejak Presiden China Xi Jinping pada tahun lalu," kata Pini Althaus, CEO USA Rare Earth.
Saat itu, Xi berkunjung ke fasilitas rare earth yang dimiliki China dan melarang ekspor produk tersebut ke Amerika Serikat (AS). "Padahal, militer AS bergantung kepada rare earth yang diolah China untuk pesawat tempur dan Tomahawk," ujarnya. (Baca juga: Penawaran Surat Utang Negara Capai Rp94,3 Triliun)
Dalam pandangan pakar Asia dari Universitas Miami, AS, June Teufel Dreyer, China merupakan ancaman serius bagi AS dan Uni Eropa dalam penguasaan rare earth. "China telah memonopoli produksi rare earth sehingga ada motivasi untuk memaksimalkan keuntungan," ucapnya.
Berambisi Kuasai Antariksa
Bukan hanya mencari rare earth di bumi, China juga menjelajahi bulan untuk mencari sumber daya berharga di sana. Sebelumnya hanya Amerika Serikat (AS) dan Rusia yang mampu mendaratkan wahana di bulan. Hingga kemudian, Chang’e 4 milik Beijing berhasil mendarat di sisi jauh bulan pada tahun lalu. Israel justru mengalami kegagalan pendaratan wahana Beresheet pada April 2019. (Lihat videonya: Mari Sukseskan Pilkada Serentak 2020)
Misi pengiriman wahana antariksa Chang'e 5 melakukan pendaratan di bulan pada 29 November lalu. Pendaratan itu dilakukan di Mons Rumker. Misi utama Chang'e 5 yang diluncurkan pada 23 November lalu adalah melakukan penjelajahan untuk membawa sampel kembali ke bumi. Nantinya, misi tersebut akan kembali ke bumi pada pertengahan Desember mendatang. (Andika H Mustaqim)
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
(ysw)
tulis komentar anda