NATO Serukan Dunia Singkirkan Bom Nuklir, tapi Tidak untuk Anggotanya

Kamis, 12 November 2020 - 00:01 WIB
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg serukan komunitas internasional menyikirkan senjata nuklir. Foto/REUTERS/Francois Lenoir
BUCHAREST - NATO menyerukan komunitas internasional untuk menyingkirkan senjata atau bom nuklir. Ironisnya, NATO justru meminta negara-negara anggotanya untuk menyimpan senjata nuklir mereka dengan alasan Rusia , China dan Korea Utara belum menyingkirkannya.

"Dunia harus segera mengejar pelucutan senjata nuklir," kata Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, seraya menyebut nuklir sebagai pilar perdamaian internasional dan berpendapat bahwa ini bukan saatnya bagi aliansi tersebut untuk melepaskan persenjataannya. (Baca: Putin Ingin Pertahanan Nuklir Rusia seperti Senapan Kalashnikov )

"Komunitas internasional perlu meningkatkan upayanya yang bertujuan untuk menyingkirkan senjata nuklir di dunia," kata Stoltenberg pada konferensi Senjata Pemusnah Massal (WMD) tahunan NATO di Rumania, seperti dikutip Russia Today, Rabu (11/11/2020).



“Tujuan akhir kami adalah dunia yang bebas dari senjata nuklir”, katanya, seraya menyebut Perjanjian Non-Proliferasi PBB sebagai dasar terbaik untuk sebuah jalan ke depan. Perjanjian itu, yang mulai berlaku pada tahun 1970, dirancang untuk mencegah penyebaran teknologi senjata nuklir melalui pengalihannya dari kekuatan nuklir ke negara non-nuklir serta untuk menetapkan tujuan pelucutan senjata nuklir sepenuhnya.

Namun, Stoltenberg percaya bahwa membiarkan NATO memberi contoh dalam upaya mulia ini dan menjadi yang pertama meninggalkan persenjataan nuklirnya atas nama perdamaian adalah ide yang buruk. (Baca juga: Putin: Rusia Akan Terus Tingkatkan Senjata Nuklir karena Ada Ancaman )

Dia menyatakan bahwa senjata nuklir memang memainkan peran penting dalam menjaga keamanan internasional. Menurutnya, setiap pelucutan senjata nuklir harus terjadi hanya dalam apa yang disebutnya dengan cara yang seimbang, timbal balik dan dapat diverifikasi.

“Menghentikan pencegahan kami tanpa jaminan bahwa orang lain akan melakukan hal yang sama adalah pilihan yang berbahaya,” katanya. “Dunia di mana Rusia, China, Korea Utara, dan lainnya memiliki senjata nuklir, tetapi NATO tidak, bukanlah dunia yang lebih aman.”

Tetap saja, dia membanggakan kesuksesan NATO dalam perjalanan menuju dunia bebas nuklir. “Bersama-sama, kami telah mengurangi jumlah senjata nuklir di Eropa lebih dari 90 persen selama 30 tahun terakhir,” katanya.

Namun, pencapaian itu bukanlah hasil dari beberapa pertimbangan internal di NATO tetapi dari serangkaian perjanjian antara AS dan Uni Soviet dan, kemudian, Rusia.

Daftar perjanjian ini termasuk Perjanjian Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) 1987 yang melarang kedua negara memiliki dan mengembangkan rudal jarak pendek dan jarak menengah berhulu ledak nuklir.

Satu lagi adalah Perjanjian New START 1991 yang membatasi jumlah hulu ledak nuklir yang bisa dimiliki masing-masing pihak hingga 6.000 unit dan jumlah kendaraan pengirim hulu ledak nuklir, seperti rudal balistik atau pembom berat dan kapal selam, menjadi 1.600 unit.

Perjanjian New START 2010 selanjutnya membatasi jumlah hulu ledak nuklir menjadi 1.550 dan 800 kendaraan pengirim, dengan hanya 700 di antaranya yang dikerahkan, untuk masing-masing pihak.

Sekarang, Stoltenberg menyerukan kepada Moskow dan Washington untuk "terus memimpin kendali senjata" dan secara khusus memperpanjang perjanjian New START, yang akan berakhir pada Februari 2021.

Sekjen NATO, bagaimanapun, tidak menyinggung anggotanya, yakni AS, yang enggan melakukan hal itu hingga sekarang. Pada pertengahan Oktober, Washington menolak usulan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk memperpanjang perjanjian New START selama satu tahun tanpa prasyarat dan untuk mengerjakan rincian perpanjangan yang diperpanjang nanti.

Stoltenberg juga tidak menyebutkan bahwa AS-lah yang secara sepihak meninggalkan Perjanjian INF pada tahun 2019, menempatkan Eropa di ambang menjadi teater bagi perlombaan senjata nuklir yang potensial. Dia juga tidak mengatakan bahwa Washington melakukan uji coba rudal yang sebelumnya dilarang oleh Perjanjian INF kurang dari sebulan setelah AS menarik diri dari perjanjian tersebut.

Sebaliknya, dia mengikuti narasi AS dalam menyatakan bahwa China-lah yang memiliki "tanggung jawab" untuk terlibat dalam negosiasi pengendalian senjata—sesuatu yang telah lama dituntut oleh Washington.
(min)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More