Madrasah Pertama untuk Transgender Muslim Dibuka di Bangladesh
Sabtu, 07 November 2020 - 13:57 WIB
DHAKA - Bangladesh membuka sekolah Islam (madrasah) pertamanya untuk transgender Muslim pada hari Jumat. Ulama setempat menyebutnya sebagai langkah pertama untuk mengintegrasikan minoritas yang terdiskriminasi ke dalam masyarakat.
Madrasah yang dibuka tersebut adalah salah satu dari serangkaian gerakan baru-baru ini di Bangladesh untuk membuat hidup lebih mudah bagi 1,5 juta orang transgender di negara mayoritas Muslim itu.
Komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual da transgender) menghadapi diskriminasi yang meluas di negara Asia Selatan tersebut, di mana undang-undang era kolonial yang masih berlaku yang menghukum perilaku seks sesama jenis dengan hukuman penjara, meskipun penegakannya jarang. (Baca: Panik dengan Hasil Pilpres AS, Donald Trump Jr Serukan Perang Total )
Tapi sekitar 50 pelajar transgender membaca ayat-ayat Al-Qur'an untuk menandai pembukaan Dawatul Islam Tritio Linger Madrasa atau Sekolah Gender Ketiga Islam, di pinggiran ibu kota pada hari Jumat.
"Saya sangat gembira," kata Shakila Akhter, seorang pelajar berusia 33 tahun, kepada AFP, yang dilansir Sabtu (7/11/2020). "Kami berterima kasih kepada para ulama atas langkah indah ini."
Akhter terlahir sebagai perempuan dan selalu ingin menjadi dokter atau pengacara, namun ambisi tersebut digagalkan ketika ia meninggalkan rumah saat masih anak-anak untuk bergabung dengan komunitas transgender.
"Kami Muslim, namun kami tidak bisa pergi ke masjid," kata Akhter. "Kami bahkan tidak bisa bergaul dengan anggota masyarakat lainnya."
Sekelompok ulama yang dipimpin oleh Abdur Rahman Azad mengubah lantai atas gedung tiga lantai menjadi sekolah dengan dana dari badan amal setempat. (Baca juga: Pangeran Arab Saudi: Jika Jadi Presiden, Biden seperti Trump Pro-Israel )
Tim Azad sudah menawarkan pelajaran Al-Qur'an kepada tujuh kelompok transgender di Dhaka dan mengatakan madrasah tumbuh dari kebutuhan akan basis permanen bagi komunitas.
Hingga 150 pelajar—hampir semua orang dewasa—akan mendapatkan pelajaran yang serupa dengan madrasah tradisional, di mana Al-Qur'an diajarkan bersama dengan filsafat Islam, Bahasa Bengali, Bahasa Inggris, matematika dan ilmu sosial.
Azad mengatakan kaum transgender, yang dikenal sebagai Hijra di Bangladesh, sudah terlalu menderita.
"Sudah terlalu lama mereka menjalani hidup yang sengsara. Mereka tidak bisa bersekolah, madrasah atau masjid. Mereka menjadi korban diskriminasi. Kita, masyarakat dan negara yang harus disalahkan atas hal ini," ujarnya.
"Kami ingin mengakhiri diskriminasi ini. Allah tidak membeda-bedakan manusia. Islam memperlakukan semua orang sebagai manusia. Hijra harus menikmati semua hak seperti manusia lainnya."
Pada 2015, ekstrimis membunuh seorang aktivis gay terkemuka dan editor majalah LGBT, sementara kaum homoseksual terkemuka lainnya telah melarikan diri dari negara itu.
Namun langkah maju telah dibuat untuk komunitas. Pemerintah Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina sejak 2013 mengizinkan transgender diidentifikasi sebagai gender terpisah.
Tahun lalu, mereka diizinkan mendaftar untuk memilih sebagai jenis kelamin ketiga, dan jumlah mereka akan dihitung dalam sensus yang akan dilakukan tahun depan di negara berpenduduk 168 juta itu.
Madrasah yang dibuka tersebut adalah salah satu dari serangkaian gerakan baru-baru ini di Bangladesh untuk membuat hidup lebih mudah bagi 1,5 juta orang transgender di negara mayoritas Muslim itu.
Komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual da transgender) menghadapi diskriminasi yang meluas di negara Asia Selatan tersebut, di mana undang-undang era kolonial yang masih berlaku yang menghukum perilaku seks sesama jenis dengan hukuman penjara, meskipun penegakannya jarang. (Baca: Panik dengan Hasil Pilpres AS, Donald Trump Jr Serukan Perang Total )
Tapi sekitar 50 pelajar transgender membaca ayat-ayat Al-Qur'an untuk menandai pembukaan Dawatul Islam Tritio Linger Madrasa atau Sekolah Gender Ketiga Islam, di pinggiran ibu kota pada hari Jumat.
"Saya sangat gembira," kata Shakila Akhter, seorang pelajar berusia 33 tahun, kepada AFP, yang dilansir Sabtu (7/11/2020). "Kami berterima kasih kepada para ulama atas langkah indah ini."
Akhter terlahir sebagai perempuan dan selalu ingin menjadi dokter atau pengacara, namun ambisi tersebut digagalkan ketika ia meninggalkan rumah saat masih anak-anak untuk bergabung dengan komunitas transgender.
"Kami Muslim, namun kami tidak bisa pergi ke masjid," kata Akhter. "Kami bahkan tidak bisa bergaul dengan anggota masyarakat lainnya."
Sekelompok ulama yang dipimpin oleh Abdur Rahman Azad mengubah lantai atas gedung tiga lantai menjadi sekolah dengan dana dari badan amal setempat. (Baca juga: Pangeran Arab Saudi: Jika Jadi Presiden, Biden seperti Trump Pro-Israel )
Tim Azad sudah menawarkan pelajaran Al-Qur'an kepada tujuh kelompok transgender di Dhaka dan mengatakan madrasah tumbuh dari kebutuhan akan basis permanen bagi komunitas.
Hingga 150 pelajar—hampir semua orang dewasa—akan mendapatkan pelajaran yang serupa dengan madrasah tradisional, di mana Al-Qur'an diajarkan bersama dengan filsafat Islam, Bahasa Bengali, Bahasa Inggris, matematika dan ilmu sosial.
Azad mengatakan kaum transgender, yang dikenal sebagai Hijra di Bangladesh, sudah terlalu menderita.
"Sudah terlalu lama mereka menjalani hidup yang sengsara. Mereka tidak bisa bersekolah, madrasah atau masjid. Mereka menjadi korban diskriminasi. Kita, masyarakat dan negara yang harus disalahkan atas hal ini," ujarnya.
"Kami ingin mengakhiri diskriminasi ini. Allah tidak membeda-bedakan manusia. Islam memperlakukan semua orang sebagai manusia. Hijra harus menikmati semua hak seperti manusia lainnya."
Pada 2015, ekstrimis membunuh seorang aktivis gay terkemuka dan editor majalah LGBT, sementara kaum homoseksual terkemuka lainnya telah melarikan diri dari negara itu.
Namun langkah maju telah dibuat untuk komunitas. Pemerintah Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina sejak 2013 mengizinkan transgender diidentifikasi sebagai gender terpisah.
Tahun lalu, mereka diizinkan mendaftar untuk memilih sebagai jenis kelamin ketiga, dan jumlah mereka akan dihitung dalam sensus yang akan dilakukan tahun depan di negara berpenduduk 168 juta itu.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(min)
tulis komentar anda