Normalisasi Hubungan Sudan-Israel Picu Kontroversi

Senin, 26 Oktober 2020 - 10:35 WIB
Upaya politik sepihak yang dilakukan elite Sudan menormalisasi hubungan dengan Israel memicu kontroversi dan polemik di negara tersebut. Foto/Al Jazeera
KHARTOUM - Upaya politik sepihak yang dilakukan elite Sudan menormalisasi hubungan dengan Israel memicu kontroversi dan polemik di negara tersebut. Sebagian kelompok dan warga Sudan menolak kesepakatan normalisasi hubungan yang diumumkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, dan para pemimpin transisi Sudan.

Kesepakatan itu menjadikan Sudan sebagai negara Arab ketiga yang memutuskan menjalin hubungan dengan Israel pada tahun ini. Isu Israel merupakan hal sensitif di Sudan yang dikenal sebagai negara kritikus keras terhadap Israel. (Baca: Inilah Penyebab Hati Tidak Merasakan manisnya Iman)

Itu memicu ketegangan antara pemimpin sipil dan militer menjelang transisi pemerintahan setelah Presiden Omar al-Bashir digulingkan menyusul demonstrasi berkelanjutan selama beberapa bulan pada April 2019. Proses tersebut bisa saja memicu kembalinya konflik militer karena ketegangan kepemimpinan sipil dan militer. Tidak jelas juga kapan kesepakatan normalisasi Sudan-Israel akan segera direalisasikan.



Pemerintahan transisi Sudan menyatakan hubungan dengan Israel seharusnya dipisahkan dari penghapusan Sudan sebagai negara pendukung terorisme oleh AS. Sudan juga menghadapi krisis ekonomi yang membutuhkan bantuan hutang, keamanan pangan dan pembangunan ekonomi menunjukkan dengan kesepakatan dengan Israel maka terdapat pertukaran bantuan. Selain itu, Sudan juga tidak akan diblokade ekonomi dari negara anggota Liga Arab.

Pengkritik kesepakatan normalisasi hubungan tersebut berasal dari National Consensus Forces Alliance, kelompok krisi dan komponen penting aliansi Kebebasan dan Perubahan yang berjuang melawan Bashir. “Kekuatan transisi melanggar dokumen konstitusi yang mewujudkan normalisasi dengan entitas Zionis dan mengabaikan komitmen Tiga Tidak Sudan,” demikian keterangan mereka, dilansir Al Jazeera. Tiga Tidak itu merupakan komitmen yang dibuat di Khartoum oleh negara-negara Arab pada 1967 tentang “tidak ada pengakuan terhadap Israel, tidak ada perdamaian dengan Israel dan tidak ada negosiasi dengan Israel.”

Partai Kongres Populer, faksi Islam yang mendukung Bashir, juga mengecam langkah normalisasi tersebut. Pemimpin oposisi Sadiq al-Mahdi juga mengancam akan mencabut dukungan kepada Partai Umma dari pemerintah jika normalisasi terus berjalan. (Baca juga: Kemenag Bekali Guru RA Keterampilan Psikososial di Masa Pandemi)

Banyak warga Sudan juga menarima normalisasi dengan alasan kepentingan ekonomi Sudan. Namun, banyak juga menyatakan keberatan. “Sudan harus mendukung Palestina, ini masalah prinsip dan agama,” kata Ahmed Al-Nour, guru berusia 36 tahun.

Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyatakan Palestina menolak mengutuk kesepakatan normalisasi hubungan Sudan dan Israel yang dimediasi AS. "Tidak ada seorang pun berhak berbicara atas nama rakyat Palestina dan atas nama Palestina," kata Abbas.

Hal senada juga diungkapkan Wasel Abu Youssef, anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Dia mengatakan keputusan normalisasi dengan Israel sebagai "tikaman dari belakang yang baru" bagi rakyat Palestina. Hamas, penguasa kawasan Gaza, mengatakan tindakan menjalin hubungan dengan Israel adalah "dosa politik". (Baca juga: Ratusan Ribu Bayi Meninggal Akibat Polusi Udara)

Kementerian Luar Negeri Iran menggambarkan keputusan Sudan-Israel sebagai keputusan palsu. Mereka juga menuding Khartoum harus membayar “tebusan” setelah Washington menghapus status pendukung terorisme. “Dengan membayar uang tebusan, menutup mata terhadap kejahatan terhadap Palestina, kamu (Sudan) dihapus dari daftar pendukung terorisme,” demikian keterangan Kementerian Luar Negeri Iran.

Sementara PM Benjamin Netanyahu mengungkapkan, delegasi Israel akan terbang ke Sudan untuk kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik. “Delegasi Israel akan pergi ke Sudan pada beberapa hari mendatang untuk menyelesaikan kesepakatan,” kata Netanyahu dilansir Reuters. Netanyahu mengatakan perjanjian itu merupakan "terobosan dramatis untuk perdamaian" serta permulaan "era yang baru".

Keputusan Sudan mendapat sambutan Kementerian Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA). Abu Dhabi menyebut hal itu adalah sebuah langkah penting untuk meningkatkan keamanan dan kesejahteraan di kawasan. (Lihat videonya: Skateboard Dapat Melatih Keberanian Anak-anak Sejak Dini)

Sebelum Sudan, Uni Emirat Arab dan Bahrain secara resmi melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Trump menyebutkan "setidaknya lima lagi" negara Arab yang ingin menyepakati perdamaian dengan Israel. Hingga bulan lalu hanya ada dua negara Arab—Mesir dan Yordania—yang secara resmi mengakui Israel. Kedua negara yang berbatasan langsung dengan Israel tersebut menandatangani perjanjian damai masing-masing pada 1979 dan 1994 melalui mediasi AS. Mauritania, anggota Liga Arab di Afrika, mengakui Israel pada 1999, namun memutusnya 10 tahun kemudian. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More