Tingkatkan Angka Kelahiran Jadi Solusi Atasi Pandemi di Singapura
Rabu, 07 Oktober 2020 - 10:15 WIB
JAKARTA - Pandemi corona (Covid-19) mengakibatkan banyak warga meninggal dunia. Itu mendorong banyak negara mendorong warganya untuk memiliki anak sebagai solusi jangka panjang jika pandemi akan terus berlanjut. Insentif bagi orang tua yang melahirkan anak pun diberikan.
Pemerintah Singapura akan membagikan insentif sebesar SGD10.000 (Rp108 juta) kepada orang tua yang melahirkan bayi baru untuk mendorong peningkatan angka kelahiran. Kebijakan ini dikeluarkan menyusul meningkatnya angka kematian dan ketakutan akibat virus corona Covid-19 yang mewabah ke Singapura sejak pertengahan tahun ini. (Baca: Menghormati dan Memuliakan Tetangga)
Pemerintah Singapura berharap program ini akan memotivasi warga lokal untuk tetap memiliki bayi selama pandemi. Saat ini, warga Singapura banyak yang khawatir dan memutuskan untuk menunda kehamilan akibat prospek kerja dan kondisi keuangan yang buruk. Sejauh ini, Pemerintah Singapura tidak menjabarkan rinciannya.
Singapura merupakan salah satu negara dengan angka kelahiran terendah di dunia dan selalu berupaya meningkatkannya selama bertahun-tahun. Namun, program tersebut tidak berhasil. Fenomena itu berlawanan dengan Indonesia dan Filipina yang justru mengalami peningkatan angka kehamilan selama lockdown akibat Covid-19.
“Kami menerima banyak laporan bahwa Covid-19 menyebabkan orang tua berencana menunda kehamilan,” ujar Wakil Perdana Menteri (PM) Singapura Heng Swee Keat. Heng patut khawatir. Pasalnya, angka kelahiran di Singapura sekitar 1,14 anak per perempuan pada 2018, terendah dalam satu dekade terakhir. Itu merupakan pertanda buruk.
Sementara itu, Finlandia memang memiliki banyak program tunjangan keluarga yang kuat—antara lain 'paket kado untuk bayi baru lahir' bagi keluarga yang sedang menunggu kelahiran anak, tunjangan anak bulanan sekitar 100 euro atau sekitar Rp1 juta per anak, serta cuti bersama orang tua yang berlangsung hingga sembilan bulan dengan 70% gaji dibayarkan. Ketidakpastian ekonomi dan iklim menjadi beberapa alasan di balik menurunnya tingkat kelahiran di Eropa. (Baca juga: UU Ciptaker Buat Dunia Pendidikan Makin Komersil)
Meski menghabiskan lebih banyak uang publik untuk tunjangan keluarga daripada rata-rata Uni Eropa, Ritva Nätkin, seorang dosen ilmu sosial di Universitas Tampere, percaya bahwa kebijakan keluarga di Finlandia tertinggal dari negara-negara Nordik lainnya, seperti Swedia dengan cuti orang tua yang lebih lama.
Dia mengutip ketentuan keuangan seperti tunjangan anak dan tunjangan perawatan anak di rumah yang kehilangan nilainya karena tidak bertambah atau dipotong serta ketidakpastian ekonomi dan iklim sebagai alasan di balik menurunnya tingkat kelahiran. "Lebih penting lagi, itu telah menarik keluarga untuk tinggal di desa, alih-alih pindah," katanya.
Kemudian, Estonia telah berhasil meningkatkan angka kelahirannya selama satu setengah dekade terakhir. Kemajuan setidaknya dapat sampai batas tertentu dikaitkan dengan keputusan pemerintah untuk berinvestasi dalam kebijakan keluarga, sebagian besar dalam bentuk peningkatan dukungan keuangan untuk keluarga besar.
Pemerintah Singapura akan membagikan insentif sebesar SGD10.000 (Rp108 juta) kepada orang tua yang melahirkan bayi baru untuk mendorong peningkatan angka kelahiran. Kebijakan ini dikeluarkan menyusul meningkatnya angka kematian dan ketakutan akibat virus corona Covid-19 yang mewabah ke Singapura sejak pertengahan tahun ini. (Baca: Menghormati dan Memuliakan Tetangga)
Pemerintah Singapura berharap program ini akan memotivasi warga lokal untuk tetap memiliki bayi selama pandemi. Saat ini, warga Singapura banyak yang khawatir dan memutuskan untuk menunda kehamilan akibat prospek kerja dan kondisi keuangan yang buruk. Sejauh ini, Pemerintah Singapura tidak menjabarkan rinciannya.
Singapura merupakan salah satu negara dengan angka kelahiran terendah di dunia dan selalu berupaya meningkatkannya selama bertahun-tahun. Namun, program tersebut tidak berhasil. Fenomena itu berlawanan dengan Indonesia dan Filipina yang justru mengalami peningkatan angka kehamilan selama lockdown akibat Covid-19.
“Kami menerima banyak laporan bahwa Covid-19 menyebabkan orang tua berencana menunda kehamilan,” ujar Wakil Perdana Menteri (PM) Singapura Heng Swee Keat. Heng patut khawatir. Pasalnya, angka kelahiran di Singapura sekitar 1,14 anak per perempuan pada 2018, terendah dalam satu dekade terakhir. Itu merupakan pertanda buruk.
Sementara itu, Finlandia memang memiliki banyak program tunjangan keluarga yang kuat—antara lain 'paket kado untuk bayi baru lahir' bagi keluarga yang sedang menunggu kelahiran anak, tunjangan anak bulanan sekitar 100 euro atau sekitar Rp1 juta per anak, serta cuti bersama orang tua yang berlangsung hingga sembilan bulan dengan 70% gaji dibayarkan. Ketidakpastian ekonomi dan iklim menjadi beberapa alasan di balik menurunnya tingkat kelahiran di Eropa. (Baca juga: UU Ciptaker Buat Dunia Pendidikan Makin Komersil)
Meski menghabiskan lebih banyak uang publik untuk tunjangan keluarga daripada rata-rata Uni Eropa, Ritva Nätkin, seorang dosen ilmu sosial di Universitas Tampere, percaya bahwa kebijakan keluarga di Finlandia tertinggal dari negara-negara Nordik lainnya, seperti Swedia dengan cuti orang tua yang lebih lama.
Dia mengutip ketentuan keuangan seperti tunjangan anak dan tunjangan perawatan anak di rumah yang kehilangan nilainya karena tidak bertambah atau dipotong serta ketidakpastian ekonomi dan iklim sebagai alasan di balik menurunnya tingkat kelahiran. "Lebih penting lagi, itu telah menarik keluarga untuk tinggal di desa, alih-alih pindah," katanya.
Kemudian, Estonia telah berhasil meningkatkan angka kelahirannya selama satu setengah dekade terakhir. Kemajuan setidaknya dapat sampai batas tertentu dikaitkan dengan keputusan pemerintah untuk berinvestasi dalam kebijakan keluarga, sebagian besar dalam bentuk peningkatan dukungan keuangan untuk keluarga besar.
tulis komentar anda