Ketika Pandemi Covid-19 Digunakan untuk Redam Kebebasan Berpendapat
Senin, 04 Mei 2020 - 01:04 WIB
Salah satu aspek dari undang-undang yang seolah-olah disahkan untuk mengatasi keluhan selama pandemi adalah hukuman penjara hingga lima tahun bagi mereka yang menyebarkan kebohongan atau fakta yang terdistorsi selama masa darurat.
"Masalah kesehatan global yang disebabkan oleh Covid-19 memerlukan langkah-langkah efektif untuk melindungi kesehatan dan kehidupan orang. Ini termasuk memerangi disinformasi yang dapat menyebabkan kepanikan dan keresahan sosial," kata Dewan Komisaris Eropa untuk Hak Asasi Manusia, Dunja Mijatovic.
"Sayangnya, beberapa pemerintah menggunakan imperatif ini sebagai alasan untuk menerapkan pembatasan yang tidak proporsional terhadap kebebasan pers. Ini adalah pendekatan kontraproduktif yang harus dihentikan. Khususnya di masa krisis, kita perlu melindungi kebebasan dan hak-hak kita yang berharga," sambungnya.
Anggota parlemen di Filipina bulan lalu mengesahkan undang-undang khusus yang memberi Presiden Rodrigo Duterte kekuatan darurat. Duterte, yang sudah dikritik karena perang brutal terhadap narkoba yang telah menewaskan ribuan orang, telah sangat anti terhadap para kritikus.
Undang-undang baru ini membuat siapapun yang diduga menyebarkan informasi palsu mengenai krisis Covid-19 di media sosial dan platform lainnya sebagai pelanggaran pidana yang dapat dihukum hingga dua bulan penjara dan denda hingga USD 19 ribu. Setidaknya dua wartawan telah dituduh oleh polisi karena menyebarkan informasi palsu tentang krisis.
"Dikhawatirkan Duterte akan menggunakan kewenangannya yang meningkat untuk memadamkan perbedaan pendapat dan menerkam musuh politiknya," kata Aries Arugay, profesor ilmu politik di Universitas Filipina.
"Masalah kesehatan global yang disebabkan oleh Covid-19 memerlukan langkah-langkah efektif untuk melindungi kesehatan dan kehidupan orang. Ini termasuk memerangi disinformasi yang dapat menyebabkan kepanikan dan keresahan sosial," kata Dewan Komisaris Eropa untuk Hak Asasi Manusia, Dunja Mijatovic.
"Sayangnya, beberapa pemerintah menggunakan imperatif ini sebagai alasan untuk menerapkan pembatasan yang tidak proporsional terhadap kebebasan pers. Ini adalah pendekatan kontraproduktif yang harus dihentikan. Khususnya di masa krisis, kita perlu melindungi kebebasan dan hak-hak kita yang berharga," sambungnya.
Anggota parlemen di Filipina bulan lalu mengesahkan undang-undang khusus yang memberi Presiden Rodrigo Duterte kekuatan darurat. Duterte, yang sudah dikritik karena perang brutal terhadap narkoba yang telah menewaskan ribuan orang, telah sangat anti terhadap para kritikus.
Undang-undang baru ini membuat siapapun yang diduga menyebarkan informasi palsu mengenai krisis Covid-19 di media sosial dan platform lainnya sebagai pelanggaran pidana yang dapat dihukum hingga dua bulan penjara dan denda hingga USD 19 ribu. Setidaknya dua wartawan telah dituduh oleh polisi karena menyebarkan informasi palsu tentang krisis.
"Dikhawatirkan Duterte akan menggunakan kewenangannya yang meningkat untuk memadamkan perbedaan pendapat dan menerkam musuh politiknya," kata Aries Arugay, profesor ilmu politik di Universitas Filipina.
(esn)
tulis komentar anda