Upaya Sinifikasi China Berlanjut, Agama dan Identitas Tibet Terancam Hilang

Senin, 16 Desember 2024 - 09:25 WIB
China diduga palsukan relik gigi Buddha dalam upaya sinifikasi di Tibet. Foto/X @Mainlandpostt
JAKARTA - Tindakan China di Tibet telah menjadi sumber kontroversi dan kekhawatiran signifikan. Pemerintah China dituduh secara sistematis merusak budaya, agama, dan identitas Tibet.

Itu termasuk kebijakan yang ditujukan untuk mensinifikasikan agama Buddha Tibet, membatasi praktik keagamaan, dan mempromosikan bahasa China ketimbang bahasa Tibet.

Mengutip dari Directus.gr, Senin (16/12/2024), Pemerintahan Tibet Pusat (CTA) telah menyoroti masalah-masalah ini, dengan mencatat adanya pembatasan ketat terhadap kebebasan dasar dan kebijakan agresif sinifikasi, khususnya yang menargetkan anak-anak dan lembaga pendidikan Tibet.

Tindakan-tindakan itu dipandang sebagai upaya menghapus warisan budaya Tibet dan mengasimilasi orang Tibet ke dalam identitas China yang lebih luas.





China telah secara aktif terlibat dalam promosi relik Buddha, baik di dalam negeri maupun di kancah global. Ini termasuk menyelenggarakan pameran, mengirimkan relik dalam tur ke negara-negara Asia, dan membina hubungan dengan para pemimpin Buddha.

Upaya-upaya tersebut merupakan bagian dari strategi China yang lebih luas untuk menggunakan ikatan Buddha guna menjalin hubungan sosial dan budaya yang lebih erat.

Namun, yang menjadi masalah dari pameran ini adalah tuduhan dan kontroversi seputar keaslian relik tertentu, termasuk klaim bahwa China telah memamerkan relik palsu.

Misalnya, pada 4 Desember 2024, relik Buddha dipinjamkan oleh China ke sebuah kuil di Ibu Kota Thailand, Bangkok, untuk merayakan setengah abad hubungan diplomatik antara Thailand dan China.

Relik gigi tersebut, yang dianggap suci oleh umat Buddha, diterbangkan lebih awal pada hari itu dari Kuil Lingguang di Beijing, yang biasanya menyimpan relik itu.

Peminjaman gigi sebagai tanda persahabatan telah menjadi bentuk diplomasi lunak yang efektif oleh China, meski klaim yang saling bertentangan dari berbagai negara tentang kepemilikan gigi Buddha menimbulkan pertanyaan tentang asal usulnya.

Komunitas Tibet dan pendukung warisan budaya telah menuduh bahwa beberapa artefak yang dipamerkan sebagai "relik budaya" itu tidak asli dan telah direkonstruksi atau dikomersialkan, sehingga merusak warisan sejati Tibet.

Panchen Lama



Ada kekhawatiran internasional atas laporan tentang Panchen Lama ke-11 yang ditunjuk China, Gyaincain Norbu, yang berupaya mengunjungi Lumbini, Nepal, pada 16 Mei 2022 untuk bertepatan dengan perayaan Buddha Purnima di tempat kelahiran Buddha Gautama. Panchen Lama merujuk pada otoritas tertinggi kedua setelah Dalai Lama dalam agama Buddha Tibet.



Kunjungan Gyaincain Norbu dipandang oleh banyak orang sebagai upaya mendapatkan legitimasi dan pengakuan di antara para pengikut Buddha, terutama selama perayaan Buddha Purnima. Yang lebih penting, orang Tibet dan pendukung Dalai Lama tidak mengakui Gyaincain Norbu sebagai Panchen Lama yang sah.

Situasi tersebut menarik perhatian dari berbagai pengamat internasional dan telah dipandang sebagai langkah politik China untuk menegaskan pengaruhnya atas agama Buddha Tibet.

China menunjuk Gyaincain Norbu sebagai Panchen Lama ke-11 pada 1995 setelah kematian Panchen Lama ke-10. Langkah ini sangat kontroversial dan didorong motif politik.

Proses tradisional untuk mengidentifikasi Panchen Lama melibatkan Dalai Lama dan para pemimpin spiritual Tibet, tetapi China ingin menegaskan otoritas dan kendalinya atas proses seleksi tersebut.

Pemerintah China diduga telah menculik anak laki-laki yang diakui oleh Dalai Lama, Gedhun Choekyi Nyima, dan keluarganya, dan sejak itu dia tidak pernah terlihat lagi. Dengan menunjuk Gyaincain Norbu, China bertujuan untuk melegitimasi kekuasaannya atas Tibet dan melemahkan pengaruh Dalai Lama.

Karya Seni Palsu



Sejak Istana Potala yang ikonik dan bangunan-bangunan penting lainnya diakui sebagai Warisan Dunia UNESCO pada 1994, 2000, dan 2001, yang disebut oleh UNESCO sebagai “Ansambel Bersejarah Istana Potala”, puluhan bangunan bersejarah telah dihancurkan di ibu kota kuno Tibet dan lanskap kota diubah oleh urbanisasi yang cepat dan pembangunan infrastruktur sesuai dengan tujuan strategis dan ekonomi China.

Menurut Bhuchung Tsering, Wakil Presiden Kampanye Internasional untuk Tibet: “Lhasa—yang namanya berarti ‘Tempat Para Dewa’—adalah pusat Buddhisme Tibet, kota ziarah, tempat kosmopolitan peradaban, bahasa, dan budaya Tibet. Dalam tragedi konservasi, bangunan-bangunan kuno telah dihancurkan dan ‘direkonstruksi’ sebagai palsu—yang dicirikan oleh China sebagai ‘replika asli’—dan merupakan lambang komersialisasi budaya Tibet.”

Pada tahun 2019, sebuah museum di kota Chongqing, China barat daya, dituduh memamerkan artefak palsu. Museum tersebut menyimpan lebih dari 400 karya seni kuno, termasuk patung Buddha, ukiran batu giok, dan peralatan perunggu.

Namun, ditemukan bahwa museum tersebut belum dinilai oleh para ahli seni. Sejarawan yang mengunjungi museum tersebut melihat adanya perbedaan sejarah pada beberapa karya seni Tibet.

Ini bukan pertama kalinya museum China menghadapi tuduhan memamerkan barang palsu. Sebuah lembaga seni China terkemuka di Beijing terperosok dalam kontroversi karena memutuskan untuk memamerkan reproduksi lukisan seniman terkenal Leonardo da Vinci, sementara seniman Jepang Yayoi Kusama dan Takashi Murakami mengancam akan menuntut para peserta pameran China karena memajang karya seni palsu atas nama mereka.

Lebih jauh, China diketahui menggunakan penemuan arkeologi di wilayah seperti Tibet dan Turkestan Timur (Xinjiang) untuk menciptakan narasi palsu, dengan menyatakan bahwa hal itu merupakan bukti bahwa mereka telah menjadi bagian dari wilayah tersebut sejak zaman kuno, yang membuat para ahli yang diakui di bidangnya merasa khawatir. Pada September 2024, China mengaku telah menemukan lebih dari 300 situs peninggalan budaya di Daerah Otonomi Tibet (TAR).

Beijing sangat waspada terhadap umat Buddha, dan telah memenjarakan sejumlah biksu dan biarawati Tibet atas berbagai alasan. Dalam upayanya mengendalikan agama di wilayah Himalaya yang bergolak, China telah mengumumkan bahwa semua artefak keagamaan di tempat-tempat ibadah di Tibet adalah milik negara China.

Sinifikasi Tibet



China telah memerintah Tibet dengan tangan besi sejak pasukan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) mendudukinya di tahun 1950. Warga Tibet yang berani memprotes atau menuntut kebebasan yang lebih besar sering dipenjara dan diduga mengalami penyiksaan.

Aturan pemerintah China juga menetapkan bahwa semua tanda penjelasan di situs budaya seperti makam, gua, dan lukisan gua harus dalam bahasa Tibet dan Mandarin.

Akhir-akhir ini, media China mulai menyebut Tibet sebagai “Xizang”, beberapa hari setelah Beijing menerbitkan buku putih pada Desember 2023 yang berjudul "Kebijakan CPC tentang Tata Kelola Xizang di Era Baru: Pendekatan dan Prestasi”, yang menguraikan perkembangan di Tibet sejak Presiden Xi Jinping berkuasa pada tahun 2012. Perubahan nama tersebut mencerminkan penekanan Beijing pada kedaulatan Tibet dan upayanya menjalankan "kekuatan diskursus”.

“Sinifikasi Buddhisme Tibet" melibatkan penenggelaman praktik dan kepercayaan Buddha sejati dengan unsur-unsur budaya dan bahasa China. Pemerintah China telah secara sistematis merusak agama Buddha Tibet melalui berbagai tindakan.

Tindakan tersebut termasuk memberlakukan peraturan yang bermotif politik terhadap agama Buddha Tibet, seperti peraturan tentang reinkarnasi para Lama, dan menegakkan kebijakan yang bertujuan untuk mensinifikasi budaya Tibet.

Akhirnya, harus dipahami bahwa tujuan utama dari kehadiran artefak dan benda suci Buddha Tibet adalah sebagai “pendukung praktik” keagamaan mereka. Gambar-gambar suci mewakili perwujudan para Buddha, dewa, dan guru, dan setelah disucikan oleh para Lama, memiliki kekuatan untuk memberikan berkah.

Umat Buddha Tibet menganggap gambar-gambar suci sebagai “pendukung” atau “wadah” (tib. rten) para dewa, dan karena alasan itulah menjadi “objek pemujaan Buddha yang paling dihormati”.

Dengan memamerkan relik dan mendukung Panchen Lama ke-11, China tidak dapat mengeklaim warisan agama Buddha, kecuali jika benar-benar menghormati agama tersebut dan memberikan kebebasan kepada umat Buddha untuk menjalankannya sesuai keinginan mereka.

Jika hal tersebut tidak terjadi, maka hanya akan menjadi upaya palsu dari China untuk mengeklaim Tibet dan agama Buddha.
(mas)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More