Israel dan AS akan Paksa Warga Palestina Jalani Pemeriksaan Biometrik di Gaza
Rabu, 23 Oktober 2024 - 08:30 WIB
TEL AVIV - Israel dan Amerika Serikat (AS) dilaporkan sedang mempertimbangkan rencana bersama untuk mengerahkan perusahaan keamanan swasta Amerika-Israel untuk mengelola Gaza dengan melakukan pemeriksaan biometrik kepada warga Palestina dengan ancaman menahan bantuan kemanusiaan.
Menurut laporan media, berdasarkan laporan awal oleh jurnalis Israel, Shlomi Eldar, pada Senin pekan ini, AS dan Israel berencana menjalankan program percontohan, dimulai dengan desa Al-Atatra di Gaza barat laut, yang melibatkan 1.000 tentara bayaran swasta yang akan menciptakan "komunitas berpagar" di dalam Jalur Gaza tempat mereka akan mengendalikan penduduk dan pergerakan mereka melalui penggunaan biometrik.
Rencana tersebut dilaporkan akan membuat Pasukan Penjajah Israel mengusir pejuang Perlawanan Palestina dan anggota Hamas dari daerah tersebut, dengan tentara bayaran kemudian mendirikan tembok pemisah di sekitar lingkungan tersebut 48 jam kemudian, yang memaksa hanya penduduknya untuk masuk dan keluar melalui penggunaan identifikasi biometrik.
Kepatuhan terhadap sistem paksa juga akan sepenuhnya menentukan penyediaan bantuan kemanusiaan, dengan siapa pun yang menolak menerima metode biometrik dilaporkan akan diputus dari penerimaan bantuan vital tersebut.
Rencana tersebut dilaporkan akan mengalokasikan USD90 juta bagi penduduk daerah tersebut untuk membangun kembali rumah mereka, dengan seorang "syekh lokal" yang ditunjuk untuk posisi "kepala dewan" di zona tertentu.
Perusahaan keamanan swasta yang berada di garis depan rencana yang dilaporkan adalah Global Development Company (GDC), yang mencap dirinya sebagai "Uber untuk zona perang".
Dimiliki oleh pengusaha Israel-Amerika, Mordechai Kahana, operator perusahaan tersebut termasuk mantan perwira militer Israel berpangkat tinggi dan mantan militer Amerika serta operator intelijen.
Dalam siaran pers pada hari Senin, GDC menyatakan mereka telah "mengembangkan strategi untuk memberikan bantuan kemanusiaan secara aman kepada warga sipil di Gaza. Keamanan untuk konvoi kemanusiaan akan disediakan oleh perusahaan keamanan AS yang bertindak sebagai subkontraktor”, yang diklaim GDC memiliki “pengalaman luas dalam beroperasi di luar negeri dengan standar integritas tertinggi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan kepekaan budaya.”
Mengungkapkan bahwa firma dan subkontraktornya “telah melakukan diskusi ekstensif dengan pemerintah Israel termasuk Kementerian Pertahanan, Pasukan Pertahanan Israel, dan Kantor Perdana Menteri mengenai modalitas untuk inisiatif ini”, disebutkan tujuan dari proposal tersebut “adalah untuk memungkinkan organisasi kemanusiaan memberikan sejumlah besar bantuan kemanusiaan kepada warga Gaza yang membutuhkan tanpa ancaman Hamas, atau pihak lain mengalihkan atau mencuri bantuan tersebut dan menjualnya untuk mendapatkan keuntungan di pasar gelap.”
Menurut laporan media, berdasarkan laporan awal oleh jurnalis Israel, Shlomi Eldar, pada Senin pekan ini, AS dan Israel berencana menjalankan program percontohan, dimulai dengan desa Al-Atatra di Gaza barat laut, yang melibatkan 1.000 tentara bayaran swasta yang akan menciptakan "komunitas berpagar" di dalam Jalur Gaza tempat mereka akan mengendalikan penduduk dan pergerakan mereka melalui penggunaan biometrik.
Rencana tersebut dilaporkan akan membuat Pasukan Penjajah Israel mengusir pejuang Perlawanan Palestina dan anggota Hamas dari daerah tersebut, dengan tentara bayaran kemudian mendirikan tembok pemisah di sekitar lingkungan tersebut 48 jam kemudian, yang memaksa hanya penduduknya untuk masuk dan keluar melalui penggunaan identifikasi biometrik.
Kepatuhan terhadap sistem paksa juga akan sepenuhnya menentukan penyediaan bantuan kemanusiaan, dengan siapa pun yang menolak menerima metode biometrik dilaporkan akan diputus dari penerimaan bantuan vital tersebut.
Rencana tersebut dilaporkan akan mengalokasikan USD90 juta bagi penduduk daerah tersebut untuk membangun kembali rumah mereka, dengan seorang "syekh lokal" yang ditunjuk untuk posisi "kepala dewan" di zona tertentu.
Perusahaan keamanan swasta yang berada di garis depan rencana yang dilaporkan adalah Global Development Company (GDC), yang mencap dirinya sebagai "Uber untuk zona perang".
Dimiliki oleh pengusaha Israel-Amerika, Mordechai Kahana, operator perusahaan tersebut termasuk mantan perwira militer Israel berpangkat tinggi dan mantan militer Amerika serta operator intelijen.
Dalam siaran pers pada hari Senin, GDC menyatakan mereka telah "mengembangkan strategi untuk memberikan bantuan kemanusiaan secara aman kepada warga sipil di Gaza. Keamanan untuk konvoi kemanusiaan akan disediakan oleh perusahaan keamanan AS yang bertindak sebagai subkontraktor”, yang diklaim GDC memiliki “pengalaman luas dalam beroperasi di luar negeri dengan standar integritas tertinggi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan kepekaan budaya.”
Mengungkapkan bahwa firma dan subkontraktornya “telah melakukan diskusi ekstensif dengan pemerintah Israel termasuk Kementerian Pertahanan, Pasukan Pertahanan Israel, dan Kantor Perdana Menteri mengenai modalitas untuk inisiatif ini”, disebutkan tujuan dari proposal tersebut “adalah untuk memungkinkan organisasi kemanusiaan memberikan sejumlah besar bantuan kemanusiaan kepada warga Gaza yang membutuhkan tanpa ancaman Hamas, atau pihak lain mengalihkan atau mencuri bantuan tersebut dan menjualnya untuk mendapatkan keuntungan di pasar gelap.”
tulis komentar anda