3 Tahun Berlalu, Pengungsi Rohingya Kian Menderita
Kamis, 27 Agustus 2020 - 10:36 WIB
DHAKA - Tiga tahun telah berlalu, tapi kaum minoritas Rohingya kini kian menderita. Lebih dari satu juta Rohingya masih mengungsi di kamp pengungsi terbesar di dunia di Bangladesh. Di Rakhine, kaum Rohingya pun masih ditekan dan ditindas oleh Pemerintah Myanmar.
Dunia seolah diam dan tidak bergerak mencari solusi atas permasalahan warga Rohingya. Mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Myanmar tidak mengakui mereka sebagia warga negaranya. Di Bangladesh, mereka juga disia-siakan tanpa kejelasan. Mereka harus tinggal di pengungsi tanpa pekerjaan dan tanpa kejelasan tentang kehidupan mendatang. (Baca: ACT Dampingi dan Siapkan Panan untuk Pengungsi Rohingya di Aceh)
Mengungsi dengan kapal ke negara lain, mereka pun mendapatkan perlakuan yang tidak jelas dan tanpa masa depan. Di Malaysia, meskipun warga Rohingya telah melarikan ke Negeri Jiran sejak 30 tahun lalu, status legalitas merek apun tidak jelas. Misalnya, banyak pengungsi di Penang yang bekerja di sektor konstruksi dengan gaji yang minim. Mereka pun tidak bisa kembali ke Myanmar, mereka pun terpaksa bertahan di negeri asing.
Jika Rohingya untuk mendapatkan kesempatan dan masa depan yang lebih baik, komunitas internasional harus meningkatkan diplomasikan dua kali lipat kepada Myanmar. Sayangnya, tidak banyak negara yang sukses menekan Myanmar di mana militer masih sangat kuat.
Peringatan tiga tahun sejak konflik pecah di Rakhine, lebih dari satu juta pengungsi Rohingya di Bangladesh menggelar demonstrasi diam. Itu juga menandai peringatan tiga tahun pengungsi warga Rohingya ke Bangladesh.
Para pengungsi Rohingya harus tinggal di kamp pengungsian terbesar di Bangladesh selatan. Mereka juga tidak memiliki prospek untuk kembali ke Myanmar karena ditolak kewarganegaraan dan hak-hak sipil lainnya. Itu menjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terbesar yang dilakukan Pemerintah Myanmar. (Baca juga: Rusia Masih optimis Rencana Pembelian Sukhoi akan Berlanjut)
Para pengungsi mengungkapkan dikarenakan pandemic virus corona, mereka tidak menggelar aksi massal yang disebut sebagai “Hari Peringatan”. Otoritas Bangladesh menyatakan, 88 kasus korona ditemukan di kamp pengungsi tersebut dan menyebabkan enam orang meningga dunia.
Tiga tahun lalu, pejuang Rohingya menyerang 30 pos polisi dan sebuah pangkalan militer di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, yang menewaskan sedikitnya 12 pasukan keamanan. Militer Myanmar langsung melancarkan serangan balasan membabi-buta yang memaksa 730.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh bergabung dengan 200.000 pengungsi yang sudah bertahan di sana. (Baca juga: Sindiran Tere Liye: Pertamina Tak Pernah Salah, yang Salah Kalian)
Dunia seolah diam dan tidak bergerak mencari solusi atas permasalahan warga Rohingya. Mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Myanmar tidak mengakui mereka sebagia warga negaranya. Di Bangladesh, mereka juga disia-siakan tanpa kejelasan. Mereka harus tinggal di pengungsi tanpa pekerjaan dan tanpa kejelasan tentang kehidupan mendatang. (Baca: ACT Dampingi dan Siapkan Panan untuk Pengungsi Rohingya di Aceh)
Mengungsi dengan kapal ke negara lain, mereka pun mendapatkan perlakuan yang tidak jelas dan tanpa masa depan. Di Malaysia, meskipun warga Rohingya telah melarikan ke Negeri Jiran sejak 30 tahun lalu, status legalitas merek apun tidak jelas. Misalnya, banyak pengungsi di Penang yang bekerja di sektor konstruksi dengan gaji yang minim. Mereka pun tidak bisa kembali ke Myanmar, mereka pun terpaksa bertahan di negeri asing.
Jika Rohingya untuk mendapatkan kesempatan dan masa depan yang lebih baik, komunitas internasional harus meningkatkan diplomasikan dua kali lipat kepada Myanmar. Sayangnya, tidak banyak negara yang sukses menekan Myanmar di mana militer masih sangat kuat.
Peringatan tiga tahun sejak konflik pecah di Rakhine, lebih dari satu juta pengungsi Rohingya di Bangladesh menggelar demonstrasi diam. Itu juga menandai peringatan tiga tahun pengungsi warga Rohingya ke Bangladesh.
Para pengungsi Rohingya harus tinggal di kamp pengungsian terbesar di Bangladesh selatan. Mereka juga tidak memiliki prospek untuk kembali ke Myanmar karena ditolak kewarganegaraan dan hak-hak sipil lainnya. Itu menjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terbesar yang dilakukan Pemerintah Myanmar. (Baca juga: Rusia Masih optimis Rencana Pembelian Sukhoi akan Berlanjut)
Para pengungsi mengungkapkan dikarenakan pandemic virus corona, mereka tidak menggelar aksi massal yang disebut sebagai “Hari Peringatan”. Otoritas Bangladesh menyatakan, 88 kasus korona ditemukan di kamp pengungsi tersebut dan menyebabkan enam orang meningga dunia.
Tiga tahun lalu, pejuang Rohingya menyerang 30 pos polisi dan sebuah pangkalan militer di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, yang menewaskan sedikitnya 12 pasukan keamanan. Militer Myanmar langsung melancarkan serangan balasan membabi-buta yang memaksa 730.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh bergabung dengan 200.000 pengungsi yang sudah bertahan di sana. (Baca juga: Sindiran Tere Liye: Pertamina Tak Pernah Salah, yang Salah Kalian)
Lihat Juga :
tulis komentar anda