Moskow Sebut 50 Negara Bersatu Mengeroyok Rusia
Selasa, 03 September 2024 - 14:29 WIB
MOSKOW - Rusia mengeklaim sedang dikeroyok oleh 50 negara yang bersatu di bawah panji-panji Nazi di Ukraina.
Klaim itu disampaikan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, yang menuduh Barat selalu ingin memecah belah negaranya.
Lavrov menyampaikan hal pernyataan tersebut selama pertemuan dengan para mahasiswa dan pengajar di Moscow State Institute of International Relations pada hari Senin, hari pertama tahun ajaran baru di Rusia.
Menurutnya, Barat selalu khawatir bahwa Rusia terlalu kuat dan terlalu independen."Ingin melakukan sesuatu tentang hal itu, sebaiknya memecahnya,” kata Lavrov.
"Sebuah kisah yang sangat indikatif terulang kembali karena hari ini, 50 negara telah bersatu melawan Rusia di bawah panji-panji Nazi, mengingat esensi rezim [pemimpin Ukraina Volodymyr] Zelensky,” lanjut dia, mengacu pada bantuan militer yang diberikan oleh Amerika Serikat dan sekutunya ke Kyiv di tengah konflik dengan Rusia.
Diplomat top Kremlin itu mencatat bahwa pasukan Ukraina telah beberapa kali direkam mengenakan lencana Nazi atau membawa spanduk yang mirip dengan yang digunakan oleh pasukan Adolf Hitler selama Perang Dunia II.
"Denaziifikasi" Ukraina diidentifikasi oleh Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai salah satu tujuan utama operasi militer Moskow terhadap Kyiv ketika diluncurkan pada akhir Februari 2022.
Lavrov menegaskan bahwa Moskow tidak akan bermain sesuai aturan Barat."Tidak akan menanamkan dirinya dalam berbagai skema yang dibuat tanpa partisipasi kami dan tanpa mempertimbangkan kepentingan Rusia," ujarnya.
Namun, dia mengatakan Presiden Putin telah menjelaskan bahwa Moskow tetap terbuka untuk melakukan kontak dengan negara-negara Barat kolektif. "Dengan pemahaman, tentu saja, bahwa mereka akan meninggalkan kebijakan permusuhan mereka yang terbuka terhadap negara kami," paparnya, seperti dikutip dari Russia Today, Selasa (3/9/2024).
"Jika AS dan sekutunya tidak mengubah cara mereka, kami akan terus menanggapi dengan tegas setiap langkah yang tidak bersahabat," imbuh Lavrov.
Di tempat lain pada hari Senin, Putin mengatakan konflik antara Moskow dan Kyiv telah pecah karena strategi destruktif Barat mengenai Ukraina.
"Selama beberapa dekade, Amerika dan sekutu mereka berusaha mengendalikan Ukraina sepenuhnya. Mereka mendanai organisasi nasionalis dan anti-Rusia di sana; mereka terus berupaya meyakinkan Ukraina bahwa Rusia adalah musuh abadinya dan ancaman utama bagi keberadaannya," kata pemimpin Kremlin tersebut.
Menurut Putin, Washington dan "satelitnya" mengatur kudeta Maidan 2014 di Kyiv, yang didorong oleh kelompok neo-Nazi radikal yang terus menentukan kebijakan Ukraina hingga hari ini.
Klaim itu disampaikan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, yang menuduh Barat selalu ingin memecah belah negaranya.
Lavrov menyampaikan hal pernyataan tersebut selama pertemuan dengan para mahasiswa dan pengajar di Moscow State Institute of International Relations pada hari Senin, hari pertama tahun ajaran baru di Rusia.
Menurutnya, Barat selalu khawatir bahwa Rusia terlalu kuat dan terlalu independen."Ingin melakukan sesuatu tentang hal itu, sebaiknya memecahnya,” kata Lavrov.
"Sebuah kisah yang sangat indikatif terulang kembali karena hari ini, 50 negara telah bersatu melawan Rusia di bawah panji-panji Nazi, mengingat esensi rezim [pemimpin Ukraina Volodymyr] Zelensky,” lanjut dia, mengacu pada bantuan militer yang diberikan oleh Amerika Serikat dan sekutunya ke Kyiv di tengah konflik dengan Rusia.
Diplomat top Kremlin itu mencatat bahwa pasukan Ukraina telah beberapa kali direkam mengenakan lencana Nazi atau membawa spanduk yang mirip dengan yang digunakan oleh pasukan Adolf Hitler selama Perang Dunia II.
"Denaziifikasi" Ukraina diidentifikasi oleh Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai salah satu tujuan utama operasi militer Moskow terhadap Kyiv ketika diluncurkan pada akhir Februari 2022.
Lavrov menegaskan bahwa Moskow tidak akan bermain sesuai aturan Barat."Tidak akan menanamkan dirinya dalam berbagai skema yang dibuat tanpa partisipasi kami dan tanpa mempertimbangkan kepentingan Rusia," ujarnya.
Namun, dia mengatakan Presiden Putin telah menjelaskan bahwa Moskow tetap terbuka untuk melakukan kontak dengan negara-negara Barat kolektif. "Dengan pemahaman, tentu saja, bahwa mereka akan meninggalkan kebijakan permusuhan mereka yang terbuka terhadap negara kami," paparnya, seperti dikutip dari Russia Today, Selasa (3/9/2024).
"Jika AS dan sekutunya tidak mengubah cara mereka, kami akan terus menanggapi dengan tegas setiap langkah yang tidak bersahabat," imbuh Lavrov.
Di tempat lain pada hari Senin, Putin mengatakan konflik antara Moskow dan Kyiv telah pecah karena strategi destruktif Barat mengenai Ukraina.
"Selama beberapa dekade, Amerika dan sekutu mereka berusaha mengendalikan Ukraina sepenuhnya. Mereka mendanai organisasi nasionalis dan anti-Rusia di sana; mereka terus berupaya meyakinkan Ukraina bahwa Rusia adalah musuh abadinya dan ancaman utama bagi keberadaannya," kata pemimpin Kremlin tersebut.
Menurut Putin, Washington dan "satelitnya" mengatur kudeta Maidan 2014 di Kyiv, yang didorong oleh kelompok neo-Nazi radikal yang terus menentukan kebijakan Ukraina hingga hari ini.
(mas)
tulis komentar anda