Media Asing: Akankah UU Pilkada Indonesia Direvisi demi Putra Jokowi?

Kamis, 22 Agustus 2024 - 14:46 WIB
Media asing ikut menyoroti upaya revisi UU Pilkada oleh DPR yang memicu protes publik. Foto/Arif Julianto/Sindonews.com
JAKARTA - Reuters, media asal Inggris, ikut menyoroti polemik Parlemen vs Mahkamah Konstitusi (MK) perihal upaya revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sedang ramai di Indonesia.

Laporan media asing itu secara khusus menyinggung dugaan motif upaya revisi UU itu untuk membuka jalan bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pengarep, maju sebagai calon kepala daerah.

"Indonesia’s parliament vs court: Will elections law be revised to allow Widodo’s son to contest? (Parlemen Indonesia vs pengadilan: Akankah undang-undang pemilu direvisi untuk mengizinkan putra Widodo ikut serta dalam pemilihan?" demikian judul laporan Reuters.





Hari ini (22/8/2024), Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia telah menunda pengesahan revisi UU tersebut. Upaya revisi itu memicu protes, dianggap sebagai langkah memperkuat pengaruh politik Presiden Jokowi yang akan lengser.

Parlemen telah berencana untuk meratifikasi revisi UU yang akan membatalkan putusan MK awal minggu ini.

Perubahan legislatif tersebut, menurut analisis Reuters, akan menghalangi kritikus pemerintah yang vokal dalam perebutan jabatan gubernur Jakarta yang berpengaruh, dan juga membuka jalan bagi putra bungsu Jokowi untuk mencalonkan diri dalam Pilkada di Jawa pada November mendatang.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan sidang paripurna ditunda karena jumlah anggota DPR yang hadir tidak mencapai kuorum.

Tidak jelas berapa lama sidang paripurna akan ditunda, atau apakah sidang akan tetap dilaksanakan hari ini.

Namun, seteru kekuasaan antara DPR dan lembaga peradilan terjadi di tengah perkembangan politik yang dramatis selama seminggu di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini, dan di akhir masa jabatan kedua presiden.

Jokowi meremehkan kekhawatiran tersebut, dengan mengatakan kemarin bahwa putusan MK dan musyawarah Parlemen merupakan bagian dari "checks and balances" standar pemerintah.

Namun, para pakar hukum dan analis politik menggambarkan peristiwa tersebut sebagai krisis konstitusional.

Analis pemilu Titi Anggraini mencirikan manuver tersebut sebagai "pemberontakan konstitusional" yang berpotensi menimbulkan keresahan.

Manuver politik tersebut telah memicu gelombang kritik daring, dengan poster "Garuda Biru" yang menampilkan tulisan "Peringatan Darurat" dibagikan secara luas di media sosial.

Ratusan demonstran berpakaian hitam berkumpul di luar gedung DPR di Jakarta pada hari Kamis, dengan protes yang lebih kecil di luar pengadilan, dan juga di beberapa kota, termasuk Surabaya dan Yogyakarta.

Pihak berwenang mengatakan 3.000 polisi telah dikerahkan di Jakarta.

"Ini Adalah Perebutan Kekuasaan"



Pada hari Selasa, MK mencabut persyaratan ambang batas minimum untuk mencalonkan kandidat dalam Pilkada dan mempertahankan batas usia minimum 30 tahun untuk kandidat.

Putusan itu secara efektif memblokir pencalonan putra presiden yang berusia 29 tahun, Kaseang Pangarep, dari pencalonan wakil gubernur di Jawa Tengah, dan akan memungkinkan Anies Baswedan, favorit saat ini, untuk mencalonkan diri di Jakarta.

Namun dalam waktu 24 jam, DPR telah mengajukan revisi darurat untuk membatalkan perubahan tersebut, yang diharapkan akan diratifikasi hari ini, kata legislator Luluk Hamidah.

Semua partai kecuali satu, Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P), telah menyetujui revisi undang-undang tersebut.

“Demokrasi Indonesia sekali lagi berada di persimpangan jalan yang krusial,” tulis Anies di platform media sosial X, mendesak para legislator untuk mengingat bahwa nasibnya berada di tangan mereka.

DPR sekarang didominasi oleh koalisi besar yang berpihak pada Jokowi dan presiden terpilih Prabowo Subianto.

Prabowo, yang menang telak dalam pemilihan presiden (Pilpres) Februari lalu, akan dilantik pada 20 Oktober, dengan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakil presidennya.

Laporan Reuters, lebih lanjut, mengatakan Jokowi menghadapi kritik yang meningkat atas cara-cara yang semakin berani yang dilakukan pemerintahnya untuk mengonsolidasikan kekuasaan, dan atas pembentukan dinasti politiknya sendiri.

“Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat,” kata Bivitri Susanti, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.

“Tidak mungkin badan legislatif melanggar putusan pengadilan. Ini perebutan kekuasaan," katanya lagi.

Pertama kali terpilih pada tahun 2014, Jokowi saat itu dipuji sebagai pahlawan demokrasi, sebagian besar karena dia dianggap tidak terikat oleh oligarki dan elite militer yang mengakar di negara ini.

Presiden dipuji karena catatan ekonominya yang solid tetapi semakin dikritik karena kemunduran demokrasi di lembaga-lembaga negara selama satu dekade masa jabatannya.
(mas)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More