Putra Ismail Haniyeh Ungkap Warisan Ayahnya: Hati yang Menolong Semua Orang
Jum'at, 16 Agustus 2024 - 18:01 WIB
Aktivisme politik Ismail Haniyeh, menurut putranya, dimulai di Universitas Islam tempat dia menempuh pendidikan dan menjadi ketua dewan mahasiswa pada tahun 1985.
Dia sangat terlibat dalam Intifada pertama dan kedua pada tahun 1987 dan 1994. Dalam kapasitasnya sebagai salah satu pemimpin pemuda dan Blok Islam, pendudukan Israel menangkapnya untuk pertama kalinya pada tahun 1987, hanya sepuluh hari setelah pecahnya Intifada.
Dia kembali ditahan secara administratif pada tahun 1989 bersama dengan sebagian besar dewan mahasiswa dan pemimpin blok aksi nasional dan Islam serta beberapa pemimpin Hamas dan Fatah dan lainnya.
Terkait hal ini, Abdul Salam Haniyeh mengatakan ayahnya mengadopsi dalam hidupnya “pendekatan persatuan, tanah air, kerukunan, dan persaudaraan.”
Pada tahun 2004, Ismail Haniyeh menjadi kepala biro politik Hamas dan pada tahun 2006 dia diangkat menjadi perdana menteri di Jalur Gaza setelah pemilu.
Menurut putranya, Haniyeh tidak pernah kehilangan hubungannya dengan kamp atau orang-orang di sana setelah menjadi perdana menteri.
"Dia sama sekali menolak meninggalkan kamp dan itu menjadi perwujudan dari inti masalah Palestina, yaitu masalah pengungsi," papar dia.
“Jabatan politik dan kesibukan Ismail Haniyeh tidak pernah menghalanginya untuk dekat dengan rakyatnya,” ujar dia.
Sang anak menjelaskan, ayahnya sering duduk di depan rumahnya di kamp pengungsi Al-Shati di Gaza dan bermain sepak bola dengan para pemuda atau duduk di rumahnya bersama para tetua untuk mengobrol.
Dia sangat terlibat dalam Intifada pertama dan kedua pada tahun 1987 dan 1994. Dalam kapasitasnya sebagai salah satu pemimpin pemuda dan Blok Islam, pendudukan Israel menangkapnya untuk pertama kalinya pada tahun 1987, hanya sepuluh hari setelah pecahnya Intifada.
Dia kembali ditahan secara administratif pada tahun 1989 bersama dengan sebagian besar dewan mahasiswa dan pemimpin blok aksi nasional dan Islam serta beberapa pemimpin Hamas dan Fatah dan lainnya.
Terkait hal ini, Abdul Salam Haniyeh mengatakan ayahnya mengadopsi dalam hidupnya “pendekatan persatuan, tanah air, kerukunan, dan persaudaraan.”
Pada tahun 2004, Ismail Haniyeh menjadi kepala biro politik Hamas dan pada tahun 2006 dia diangkat menjadi perdana menteri di Jalur Gaza setelah pemilu.
Menurut putranya, Haniyeh tidak pernah kehilangan hubungannya dengan kamp atau orang-orang di sana setelah menjadi perdana menteri.
"Dia sama sekali menolak meninggalkan kamp dan itu menjadi perwujudan dari inti masalah Palestina, yaitu masalah pengungsi," papar dia.
Manusia Rakyat
“Jabatan politik dan kesibukan Ismail Haniyeh tidak pernah menghalanginya untuk dekat dengan rakyatnya,” ujar dia.
Sang anak menjelaskan, ayahnya sering duduk di depan rumahnya di kamp pengungsi Al-Shati di Gaza dan bermain sepak bola dengan para pemuda atau duduk di rumahnya bersama para tetua untuk mengobrol.
tulis komentar anda