3 Negara Dilanda Demo pada Pertengahan 2024, Salah Satunya Telan 300 Nyawa
Jum'at, 09 Agustus 2024 - 15:03 WIB
JAKARTA - Negara di dunia yang menerapkan sistem demokrasi sudah pasti tidak akan luput dari aksi protes atau demonstrasi. Aksi ini adalah bentuk penyampaian aspirasi masyarakat untuk pemerintah.
Demonstrasi sering digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap suatu keputusan atau kebijakan pemerintah, perusahaan, atau institusi lainnya. Juga bisa digunakan untuk mendukung suatu gerakan atau perubahan sosial.
Meski begitu, aksi demonstrasi ini harus dilakukan dengan cara yang tidak melanggar hukum dan tidak mengganggu ketertiban umum. Penggunaan kekerasan atau tindakan anarkis dalam demonstrasi dapat menyebabkan tindakan hukum terhadap para demonstran.
Dalam beberapa bulan terakhir, ada sejumlah negara yang dilanda demonstrasi besar-besaran untuk mengkritik pemerintah. Sayangnya demo yang terjadi beberapa negara di dunia ini berakhir ricuh.
3 Negara yang Dilanda Demo Besar pada Pertengahan 2024
Pada Juni lalu, para demonstran telah turun ke jalan untuk melakukan protes besar-besaran. Protes tersebut, yang telah menyebar ke seluruh negeri, merupakan bagian dari gerakan yang dijuluki “7 Hari Kemarahan”, yang menyerukan “penutupan total” Kenya.
Para demonstran ini bahkan berencana untuk “menduduki” Parlemen di Ibu Kota Kenya; Nairobi. Gerakan ini lantas mendapat perhatian signifikan melalui media sosial, di mana penyelenggara menyerukan seluruh warga Kenya untuk berpartisipasi dalam mogok nasional.
Sekretaris Kabinet Dalam Negeri Kiture Kindiki berbicara kepada media di Nairobi, mendesak para pengunjuk rasa untuk tetap bersikap damai dan memperingatkan terhadap penghancuran properti.
Meski begitu, Presiden Masyarakat Hukum Kenya, Faith Odhiambo, menggambarkan insiden itu sebagai penculikan dan menuduh petugas intelijen melakukan pelanggaran.
Tujuan dari para demonstran ini adalah menentang usulan kenaikan pajak dalam RUU Keuangan 2024. Dalam demonstrasi ini dikabarkan telah ada laporan tentang hilangnya pengunjuk rasa di tengah demonstrasi nasional.
Pada awal Agustus ini, terjadi demonstrasi besar-besaran di Nigeria yang disebabkan oleh krisis ekonomi dan tuduhan pemerintah yang buruk seperti korupsi.
Aktivis Nigeria, Banwo Olagokun mengungkapkan jika demo dilakukan untuk memprotes tingginya inflasi di negara tersebut. Para pengunjuk rasa ini berkumpul di stadion nasional Nigeria.
Nigeria telah mengalami inflasi terburuk dalam tiga dekade, yakni 34,19 %. Upah minimum bulanan yang ditetapkan juga tidak berubah sejak tahun 2019 lalu.
Hal tersebut membuat rakyat tidak mampu membeli kebutuhan hidup sederhana seperti makan, minum, dan obat-obatan.
Namun aksi unjuk rasa ini tidaklah berjalan kondusif, membuat sekitar 50 wartawan dan 700 pengunjuk rasa ditangkap. Bahkan ketika menggelar aksinya, para pengunjuk rasa ini sempat di sembur oleh gas air mata.
Demonstrasi di Bangladesh pecah pada bulan Juli lalu, di mana aksi dipimpin oleh mahasiswa yang memprotes kebijakan kuota pegawai negeri sipil (PNS) untuk anak-anak setiap orang yang berjasa dalam memerdekakan negara itu dari Pakistan pada tahun 1971.
Pemberlakukan sistem kuota terbaru mencadangkan 30% jabatan di pemerintahan untuk anak-anak dari mereka yang berjuang untuk memerdekaan Bangladesh pada tahun 1971. Sementara itu, ada jatah 10% untuk perempuan, dan 10% untuk penduduk di distrik tertentu.
Kerusuhan ini lantas dikaitkan dengan stagnannya pertumbuhan lapangan kerja di sektor swasta dan tingginya angka pengangguran kaum muda.
Negara di Asia Selatan itu juga menghadapi kesulitan ekonomi dan mendapatkan dana talangan sebesar USD4,7 miliar (Rp76 triliun) dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada Januari tahun lalu setelah kesulitan membayar impor energi, yang mengurangi cadangan dolar dan meningkatkan inflasi.
Telah tercatat sedikitnya 300 orang telah tewas dan sekitar 10.000 orang yang ditangkap atas tuduhan mengganggu keamanan dalam demonstrasi ini.
Demonstrasi sering digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap suatu keputusan atau kebijakan pemerintah, perusahaan, atau institusi lainnya. Juga bisa digunakan untuk mendukung suatu gerakan atau perubahan sosial.
Meski begitu, aksi demonstrasi ini harus dilakukan dengan cara yang tidak melanggar hukum dan tidak mengganggu ketertiban umum. Penggunaan kekerasan atau tindakan anarkis dalam demonstrasi dapat menyebabkan tindakan hukum terhadap para demonstran.
Dalam beberapa bulan terakhir, ada sejumlah negara yang dilanda demonstrasi besar-besaran untuk mengkritik pemerintah. Sayangnya demo yang terjadi beberapa negara di dunia ini berakhir ricuh.
3 Negara yang Dilanda Demo Besar pada Pertengahan 2024
1. Kenya
Pada Juni lalu, para demonstran telah turun ke jalan untuk melakukan protes besar-besaran. Protes tersebut, yang telah menyebar ke seluruh negeri, merupakan bagian dari gerakan yang dijuluki “7 Hari Kemarahan”, yang menyerukan “penutupan total” Kenya.
Para demonstran ini bahkan berencana untuk “menduduki” Parlemen di Ibu Kota Kenya; Nairobi. Gerakan ini lantas mendapat perhatian signifikan melalui media sosial, di mana penyelenggara menyerukan seluruh warga Kenya untuk berpartisipasi dalam mogok nasional.
Sekretaris Kabinet Dalam Negeri Kiture Kindiki berbicara kepada media di Nairobi, mendesak para pengunjuk rasa untuk tetap bersikap damai dan memperingatkan terhadap penghancuran properti.
Meski begitu, Presiden Masyarakat Hukum Kenya, Faith Odhiambo, menggambarkan insiden itu sebagai penculikan dan menuduh petugas intelijen melakukan pelanggaran.
Tujuan dari para demonstran ini adalah menentang usulan kenaikan pajak dalam RUU Keuangan 2024. Dalam demonstrasi ini dikabarkan telah ada laporan tentang hilangnya pengunjuk rasa di tengah demonstrasi nasional.
2. Nigeria
Pada awal Agustus ini, terjadi demonstrasi besar-besaran di Nigeria yang disebabkan oleh krisis ekonomi dan tuduhan pemerintah yang buruk seperti korupsi.
Aktivis Nigeria, Banwo Olagokun mengungkapkan jika demo dilakukan untuk memprotes tingginya inflasi di negara tersebut. Para pengunjuk rasa ini berkumpul di stadion nasional Nigeria.
Nigeria telah mengalami inflasi terburuk dalam tiga dekade, yakni 34,19 %. Upah minimum bulanan yang ditetapkan juga tidak berubah sejak tahun 2019 lalu.
Hal tersebut membuat rakyat tidak mampu membeli kebutuhan hidup sederhana seperti makan, minum, dan obat-obatan.
Namun aksi unjuk rasa ini tidaklah berjalan kondusif, membuat sekitar 50 wartawan dan 700 pengunjuk rasa ditangkap. Bahkan ketika menggelar aksinya, para pengunjuk rasa ini sempat di sembur oleh gas air mata.
3. Bangladesh
Demonstrasi di Bangladesh pecah pada bulan Juli lalu, di mana aksi dipimpin oleh mahasiswa yang memprotes kebijakan kuota pegawai negeri sipil (PNS) untuk anak-anak setiap orang yang berjasa dalam memerdekakan negara itu dari Pakistan pada tahun 1971.
Pemberlakukan sistem kuota terbaru mencadangkan 30% jabatan di pemerintahan untuk anak-anak dari mereka yang berjuang untuk memerdekaan Bangladesh pada tahun 1971. Sementara itu, ada jatah 10% untuk perempuan, dan 10% untuk penduduk di distrik tertentu.
Kerusuhan ini lantas dikaitkan dengan stagnannya pertumbuhan lapangan kerja di sektor swasta dan tingginya angka pengangguran kaum muda.
Negara di Asia Selatan itu juga menghadapi kesulitan ekonomi dan mendapatkan dana talangan sebesar USD4,7 miliar (Rp76 triliun) dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada Januari tahun lalu setelah kesulitan membayar impor energi, yang mengurangi cadangan dolar dan meningkatkan inflasi.
Telah tercatat sedikitnya 300 orang telah tewas dan sekitar 10.000 orang yang ditangkap atas tuduhan mengganggu keamanan dalam demonstrasi ini.
(mas)
Lihat Juga :
tulis komentar anda