Presiden Venezuela Nicolas Maduro: WhatsApp Pergilah ke Neraka!
Rabu, 07 Agustus 2024 - 08:45 WIB
CARACAS - Presiden Venezuela Nicolas Maduro secara terbuka menghapus WhatsApp dari ponselnya dan meminta para pendukungnya mengikuti jejaknya.
Dia mengklaim platform tersebut digunakan untuk melemahkan negara Amerika Selatan tersebut.
Dalam pernyataan yang disiarkan jaringan TV Telesur di Caracas pada hari Selasa (6/8/2024), Maduro mengatakan aplikasi pengiriman pesan milik Meta tersebut sedang dieksploitasi oleh "kaum fasis" untuk memicu kekerasan.
"Semua dari kita yang saat ini berkomunikasi melalui WhatsApp akan berkomunikasi melalui WeChat dan Telegram mulai sekarang, dan kami akan senang. Karena WhatsApp tidak akan berada di tangan para pengedar narkoba Kolombia untuk menyerang Venezuela. WhatsApp tidak akan berada di tangan para pengkhianat, tidak juga Kekaisaran Amerika Utara... Itu adalah imperialisme teknologi," tegas Maduro.
Dia selanjutnya menunjukkan layar telepon pintarnya yang memperlihatkan proses pencopotan pemasangan aplikasi tersebut, dan berkata, “Saya bebas dari WhatsApp, saya merasa damai...”
Sebelumnya pada hari itu, selama rapat umum pendukungnya di Caracas, Maduro mendesak warga menghapus akun WhatsApp mereka dan beralih ke Telegram dan WeChat.
“Ini harus dilakukan. WhatsApp, keluarlah dari Venezuela! Karena di sanalah para penjahat mengancam para pemuda dan pemimpin rakyat,” tegas Maduro dalam pidato yang disiarkan televisi.
“Dari telepon-telepon di Kolombia, Miami, Peru, dan Cile, para pengecut ini bersembunyi di balik anonimitas (sang pengirim pesan) … Namun saya katakan kepada kaum fasis pengecut: kalian akan bersembunyi, tetapi para pemuda yang patriotik dan revolusioner ada di jalan-jalan, dan kami tidak akan pernah bersembunyi,” ungkap pemimpin Venezuela itu, sambil menambahkan “WhatsApp, pergilah ke neraka!”
Pada Minggu, Maduro juga mengatakan TikTok dan Instagram digunakan untuk mempromosikan “kebencian” dan berjanji untuk mengatur penggunaannya.
Serangan pemimpin Amerika Selatan itu terhadap platform media sosial menyusul protes baru-baru ini yang meletus di Venezuela menyusul pengumuman hasil pemilihan presiden yang menyatakannya sebagai pemenang.
Maduro mengecam demonstrasi itu sebagai upaya "kudeta terhadap Venezuela."
Menteri Pertahanan Vladimir Padrino Lopez juga menuduh oposisi yang didukung Barat berupaya melakukan "kudeta media" dan mengecam protes itu.
Dewan Pemilihan Nasional Venezuela (CNE) pada 28 Juli mendeklarasikan Maduro sebagai pemenang pemilihan presiden negara itu.
Pada hari Jumat, otoritas Venezuela meratifikasi kemenangan Maduro setelah penghitungan suara akhir mengungkapkan bahwa dia telah memenangkan 52% suara, dibandingkan dengan 43% untuk pesaing utamanya Edmundo Gonzalez.
Maduro sebelumnya berselisih dengan Elon Musk, menuduh pemerintah AS dan pengusaha kelahiran Afrika Selatan itu berupaya mengatur kudeta di negaranya.
Maduro akan menjalani masa jabatan enam tahun ketiga berturut-turut, setelah pertama kali menjabat pada tahun 2013 setelah kematian Presiden Hugo Chavez.
Sebagian besar negara Amerika Latin, khususnya anggota Grup Lima, menolak mengakui pemilihannya kembali pada tahun 2018, bersama dengan AS dan Uni Eropa.
Dia mengklaim platform tersebut digunakan untuk melemahkan negara Amerika Selatan tersebut.
Dalam pernyataan yang disiarkan jaringan TV Telesur di Caracas pada hari Selasa (6/8/2024), Maduro mengatakan aplikasi pengiriman pesan milik Meta tersebut sedang dieksploitasi oleh "kaum fasis" untuk memicu kekerasan.
"Semua dari kita yang saat ini berkomunikasi melalui WhatsApp akan berkomunikasi melalui WeChat dan Telegram mulai sekarang, dan kami akan senang. Karena WhatsApp tidak akan berada di tangan para pengedar narkoba Kolombia untuk menyerang Venezuela. WhatsApp tidak akan berada di tangan para pengkhianat, tidak juga Kekaisaran Amerika Utara... Itu adalah imperialisme teknologi," tegas Maduro.
Dia selanjutnya menunjukkan layar telepon pintarnya yang memperlihatkan proses pencopotan pemasangan aplikasi tersebut, dan berkata, “Saya bebas dari WhatsApp, saya merasa damai...”
Sebelumnya pada hari itu, selama rapat umum pendukungnya di Caracas, Maduro mendesak warga menghapus akun WhatsApp mereka dan beralih ke Telegram dan WeChat.
“Ini harus dilakukan. WhatsApp, keluarlah dari Venezuela! Karena di sanalah para penjahat mengancam para pemuda dan pemimpin rakyat,” tegas Maduro dalam pidato yang disiarkan televisi.
“Dari telepon-telepon di Kolombia, Miami, Peru, dan Cile, para pengecut ini bersembunyi di balik anonimitas (sang pengirim pesan) … Namun saya katakan kepada kaum fasis pengecut: kalian akan bersembunyi, tetapi para pemuda yang patriotik dan revolusioner ada di jalan-jalan, dan kami tidak akan pernah bersembunyi,” ungkap pemimpin Venezuela itu, sambil menambahkan “WhatsApp, pergilah ke neraka!”
Pada Minggu, Maduro juga mengatakan TikTok dan Instagram digunakan untuk mempromosikan “kebencian” dan berjanji untuk mengatur penggunaannya.
Serangan pemimpin Amerika Selatan itu terhadap platform media sosial menyusul protes baru-baru ini yang meletus di Venezuela menyusul pengumuman hasil pemilihan presiden yang menyatakannya sebagai pemenang.
Maduro mengecam demonstrasi itu sebagai upaya "kudeta terhadap Venezuela."
Menteri Pertahanan Vladimir Padrino Lopez juga menuduh oposisi yang didukung Barat berupaya melakukan "kudeta media" dan mengecam protes itu.
Dewan Pemilihan Nasional Venezuela (CNE) pada 28 Juli mendeklarasikan Maduro sebagai pemenang pemilihan presiden negara itu.
Pada hari Jumat, otoritas Venezuela meratifikasi kemenangan Maduro setelah penghitungan suara akhir mengungkapkan bahwa dia telah memenangkan 52% suara, dibandingkan dengan 43% untuk pesaing utamanya Edmundo Gonzalez.
Maduro sebelumnya berselisih dengan Elon Musk, menuduh pemerintah AS dan pengusaha kelahiran Afrika Selatan itu berupaya mengatur kudeta di negaranya.
Maduro akan menjalani masa jabatan enam tahun ketiga berturut-turut, setelah pertama kali menjabat pada tahun 2013 setelah kematian Presiden Hugo Chavez.
Sebagian besar negara Amerika Latin, khususnya anggota Grup Lima, menolak mengakui pemilihannya kembali pada tahun 2018, bersama dengan AS dan Uni Eropa.
Baca Juga
(sya)
tulis komentar anda