Aliansi Abraham vs Poros Perlawanan dalam Seteru Maut Israel-Iran

Minggu, 04 Agustus 2024 - 13:46 WIB
Aliansi Abraham vs Poros Perlawanan dalam seteru maut Israel-Iran. Foto/EPA-EFE/ABIR SULTAN
JAKARTA - Dalam pidatonya di Kongres Amerika Serikat (AS) bulan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyerukan pembentukan koalisi regional mirip NATO di Timur Tengah, yang disebut Aliansi Abraham (Abraham Alliance).

Aliansi yang diusulkan ini, perluasan dari Perjanjian Abraham, bertujuan untuk menyatukan negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel untuk melawan pengaruh Iran, khususnya jaringan pasukan proksinya yang secara kolektif dikenal sebagai Poros Perlawanan (Axis Of Resistance).





Aliansi Abraham



Aliansi Abraham, yang pembentukan diserukan Netanyahu, mengacu pada Perjanjian Abraham—dimulai pada September 2020—yang menormalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab, termasuk Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Maroko, dan Sudan.

Visi Netanyahu untuk Aliansi Abraham dibangun berdasarkan perjanjian tersebut, dengan mengupayakan koalisi yang dapat mencakup mitra diplomatik Israel saat ini dan di masa mendatang. Aliansi ini bertujuan untuk melawan apa yang digambarkan Netanyahu sebagai Iran.

Permohonan Netanyahu kepada Kongres menggemakan paralel historis, mengacu pada permohonan Winston Churchill kepada AS di masa perang: "Berikan kami alatnya, dan kami akan menyelesaikan pekerjaan."

Dia mengatakan bantuan militer AS kepada Israel sangat penting untuk stabilitas dan keamanan regional.

Ketika dampak politik dari pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh di Teheran meningkat, Amerika Serikat telah berjanji untuk meningkatkan kehadiran militernya di Timur Tengah, dengan mengerahkan kelompok penyerang kapal induk yang dipimpin oleh USS Abraham Lincoln, kapal-kapal perang tambahan yang mampu menahan rudal balistik, dan skuadron tempur baru.

Israel berkoordinasi erat dengan AS dan Inggris, mempersiapkan diri dari potensi serangan balasan Iran. Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant telah mengadakan diskusi dengan koleganya dari AS Lloyd Austin dan Menteri Pertahanan Inggris John Healey.

Potensi perang antara Israel dan Iran akan mengadu beberapa kekuatan militer.

Poros Perlawanan



Sejak Revolusi Islam 1979, Iran secara sistematis telah memperluas pengaruhnya di Timur Tengah melalui jaringan kelompok proksi, yang secara kolektif dikenal sebagai Poros Perlawanan.

Jaringan ini mencakup Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, berbagai milisi di Irak, dan kelompok militan di Suriah dan Gaza. Proksi ini melayani kepentingan strategis Iran, yang memungkinkannya untuk memberikan pengaruh dan menantang musuh di seluruh wilayah Timur Tengah.

Hizbullah Lebanon



Hizbullah, yang didirikan pada awal 1980-an dengan dukungan Iran, merupakan proksi penting pertama Iran di Timur Tengah. Didanai dan dipersenjatai oleh Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran, Hizbullah memiliki ideologi Islam Syiah yang sama dengan Teheran dan merekrut terutama dari populasi Muslim Syiah Lebanon.

Awalnya dibentuk untuk memerangi pasukan Israel di Lebanon, Hizbullah telah berkembang menjadi kekuatan militer dan politik yang tangguh, yang memiliki persenjataan sedikitnya 130.000 roket dan rudal.

Hamas dan Jihad Islam Palestina di Gaza



Di wilayah Palestina, Iran telah menjalin hubungan dengan kelompok militan seperti Hamas dan Jihad Islam Palestina (PIJ). Kelompok-kelompok ini telah terlibat dalam konflik jangka panjang dengan Israel, dan menerima dukungan finansial dan militer dari Iran.

Rezim Assad di Suriah



Aliansi Iran dengan rezim Bashar al-Assad di Suriah sangat penting sejak dimulainya perang saudara Suriah pada tahun 2011.

Teheran telah memberikan dukungan militer yang substansial, termasuk sekitar 80.000 personel tempur, untuk memperkuat pasukan Assad.

Selain itu, Iran telah mengorganisasi dan mendukung berbagai milisi Syiah, seperti Brigade Zaynabiyoun (terdiri dari milisi Pakistan) dan Divisi Fatemiyoun (terdiri dari milisi Hazara Afghanistan), untuk mendukung pemerintah Suriah.

Houthi di Yaman



Gerakan Houthi di Yaman, yang didukung oleh Iran, telah muncul sebagai pemain kunci dalam konflik regional.

Awalnya dibentuk pada tahun 1990-an dan memperoleh kekuatan setelah tahun 2014, Houthi telah menerima dukungan militer dan finansial dari IRGC.

Milisi Syiah di Irak



Setelah invasi AS ke Irak pada tahun 2003, Iran memperluas pengaruhnya dengan mendirikan dan mendukung berbagai milisi Syiah.

Kelompok-kelompok yang terkenal termasuk Kataib Hizbullah, Asaib Ahl al-Haq, dan Organisasi Badr.

Milisi-milisi tersebut sering menargetkan pasukan AS dan menjaga hubungan dekat dengan Teheran.
(mas)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More