Teroris Christchurch Pembantai 51 Muslim Akan Tatap Korban yang Selamat
Jum'at, 21 Agustus 2020 - 14:33 WIB
"Pengadilan memiliki tugas, terutama dalam konteks pelanggaran terhadap UU Pemberantasan Terorisme, untuk memastikan UU itu tidak digunakan sebagai platform...(dan) mencegahnya digunakan sebagai kendaraan untuk kerusakan lebih lanjut," katanya.
Setelah pembantaian massal itu, Ardern bersumpah untuk mencegah ketenaran si penembak dengan tidak pernah sudi menyebutkan namanya.
Pembatasan pengadilan menyoroti sensitivitas seputar penembakan massal terburuk dalam sejarah Selandia Baru modern, yang mendorong pemerintah untuk memperketat undang-undang senjata dan meningkatkan upaya untuk mengekang ekstremisme online.
Tarrant, mantan instruktur gym dari kota Grafton, Australia, tiba di Selandia Baru pada 2017.
Dia seorang penyendiri dan obsesif internet yang sering mengunjungi ruang obrolan online ekstremis. Dia tinggal sendirian di Dunedin sambil mengumpulkan senjata dan merencanakan pembunuhannya, yang pada akhirnya memilih kota Christchurch sebagai targetnya.
Berbekal senjata semi-otomatis, dia menyerang masjid Al Noor terlebih dahulu, sebelum pindah ke Linwood Islamic Center. Dia menyiarkan langsung pembantaian itu sambil melarikan diri.
Semua korbannya adalah Muslim dan termasuk anak-anak, perempun dan orang tua.
Selandia Baru tidak memiliki hukuman mati, tetapi Tarrant menghadapi kemungkinan menghabiskan sisa hidupnya di balik jeruji besi.
Tuduhan terorisme dan pembunuhan membawa terdakwa ke hukuman penjara seumur hidup. Penjara seumur hidup di Selandia Baru menetapkan jangka waktu non-pembebasan bersyarat minimum 17 tahun, tetapi hakim berwenang memenjarakan terdakwa tanpa kemungkinan pembebasan.
Jika Mander menggunakan wewenangnya itu, maka Tarrant akan menjadi orang pertama di Selandia Baru yang dihukum penjara seumur hidupnya.
Setelah pembantaian massal itu, Ardern bersumpah untuk mencegah ketenaran si penembak dengan tidak pernah sudi menyebutkan namanya.
Pembatasan pengadilan menyoroti sensitivitas seputar penembakan massal terburuk dalam sejarah Selandia Baru modern, yang mendorong pemerintah untuk memperketat undang-undang senjata dan meningkatkan upaya untuk mengekang ekstremisme online.
Tarrant, mantan instruktur gym dari kota Grafton, Australia, tiba di Selandia Baru pada 2017.
Dia seorang penyendiri dan obsesif internet yang sering mengunjungi ruang obrolan online ekstremis. Dia tinggal sendirian di Dunedin sambil mengumpulkan senjata dan merencanakan pembunuhannya, yang pada akhirnya memilih kota Christchurch sebagai targetnya.
Berbekal senjata semi-otomatis, dia menyerang masjid Al Noor terlebih dahulu, sebelum pindah ke Linwood Islamic Center. Dia menyiarkan langsung pembantaian itu sambil melarikan diri.
Semua korbannya adalah Muslim dan termasuk anak-anak, perempun dan orang tua.
Selandia Baru tidak memiliki hukuman mati, tetapi Tarrant menghadapi kemungkinan menghabiskan sisa hidupnya di balik jeruji besi.
Tuduhan terorisme dan pembunuhan membawa terdakwa ke hukuman penjara seumur hidup. Penjara seumur hidup di Selandia Baru menetapkan jangka waktu non-pembebasan bersyarat minimum 17 tahun, tetapi hakim berwenang memenjarakan terdakwa tanpa kemungkinan pembebasan.
Jika Mander menggunakan wewenangnya itu, maka Tarrant akan menjadi orang pertama di Selandia Baru yang dihukum penjara seumur hidupnya.
tulis komentar anda