Seruan Reformasi Kerajaan Thailand Terus Bergulir
Jum'at, 21 Agustus 2020 - 10:25 WIB
Sekretaris Jenderal Free People Movement, Tattep Ruangprapaikitseree, mengaku menerima banyak ancaman hukum, tapi dia tidak gentar. "Kami merasa struktur ekonomi dan politik di negeri ini rusak. Karena itu, kami turun ke jalan," katanya. (Baca juga: Wamena Papua Kembali Mencekam, 10 rumah Dibakar dan 4 Warga Terluka)
Prayuth yang berkuasa melalui kudeta pada 2014 dan menjadi PM pada tahun lalu, mengaku tidak nyaman dengan komentar para pengunjuk rasa. Dia juga kembali menegaskan Raja Thailand tidak menginginkan adanya prosekusi di bawah aturan lese-majeste.
Pakar senior dari International Crisis Group, Matthew Wheeler, mengatakan gerakan protes di Thailand sudah melintasi garis merah. Namun, Pemerintah Thailand dinilai sedang dilema. Sebab, jika pengunjuk rasa dibubarkan secara paksa dan terjadi kerusuhan, masyarakat akan kian marah.
"Kekerasan terhadap aktivis sudah banyak terjadi. Jika Pemerintah Thailand menunjukkan taringnya di depan publik, mereka sama saja memperkuat para aktivis," ujar Wheeler dilansir Reuters. "Gelombang protes saat ini juga merupakan akibat akumulasi ketidakadilan dalam enam tahun terakhir," ujarnya. (Baca juga: Gesek ATM Mulai Gak Laku, Nasabah Lebih Milih Digital Banking)
Aksi unjuk rasa di Thailand sebenarnya sudah terjadi sejak awal tahun ini. Namun, akibat adanya wabah virus korona, aksi tersebut ditunda, meski hanya beberapa saat. Sejak saat itu, kemarahan publik membludak menyusul tingginya ketidaksetaraan dan kurangnya bantuan terhadap kelompok rentan.
Pada Juni lalu, sebagian besar aktivis kembali marah setelah aktivis demokrasi Wanchalearm Satsaksi diculik di Kamboja. Kelompok HAM menyatakan Satsaksi merupakan orang kesembilan yang hilang di negara orang pada tahun ini. Tapi, Pemerintah Thailand menepis terlibat dalam operasi tersebut.
"Saya kira kami sudah mencapai titik frustrasi. Banyak sekali masalah yang muncul sejak kudeta pada 2014, mulai dari kesemrawutan manajemen, penyelewengan hukum, dan ketidakadilan sosial," kata Jutatip Sirikhan, Presiden Student Union of Thailand. "Kami tak melihat lagi masa depan di negeri ini," katanya. (Lihat videonya: Jejak Tradisi Malam 1 Suro dan Suronan di Pesantren)
Ekonomi Thailand berlangsung stagnan, bahkan sebelum pandemi Covid-19. Berdasarkan perkiraan para ahli, ekonomi Thailand akan mengalami kontraksi sebesar 8,1% pada tahun ini. "Karena itu, anak-anak muda protes ke jalan-jalan. Masa depan mereka sedang dipertaruhkan," kata Thitinan Pongsudhirak dari Chulalongkorn University.
Prayuth mengaku akan mendengar tuntutan pendemo, terutama yang berkaitan dengan konstitusi. Para aktivis berharap tidak akan ada lagi tindakan semena-mena, intimidasi, dan pemaksaan kehendak. (Muh Shamil)
Prayuth yang berkuasa melalui kudeta pada 2014 dan menjadi PM pada tahun lalu, mengaku tidak nyaman dengan komentar para pengunjuk rasa. Dia juga kembali menegaskan Raja Thailand tidak menginginkan adanya prosekusi di bawah aturan lese-majeste.
Pakar senior dari International Crisis Group, Matthew Wheeler, mengatakan gerakan protes di Thailand sudah melintasi garis merah. Namun, Pemerintah Thailand dinilai sedang dilema. Sebab, jika pengunjuk rasa dibubarkan secara paksa dan terjadi kerusuhan, masyarakat akan kian marah.
"Kekerasan terhadap aktivis sudah banyak terjadi. Jika Pemerintah Thailand menunjukkan taringnya di depan publik, mereka sama saja memperkuat para aktivis," ujar Wheeler dilansir Reuters. "Gelombang protes saat ini juga merupakan akibat akumulasi ketidakadilan dalam enam tahun terakhir," ujarnya. (Baca juga: Gesek ATM Mulai Gak Laku, Nasabah Lebih Milih Digital Banking)
Aksi unjuk rasa di Thailand sebenarnya sudah terjadi sejak awal tahun ini. Namun, akibat adanya wabah virus korona, aksi tersebut ditunda, meski hanya beberapa saat. Sejak saat itu, kemarahan publik membludak menyusul tingginya ketidaksetaraan dan kurangnya bantuan terhadap kelompok rentan.
Pada Juni lalu, sebagian besar aktivis kembali marah setelah aktivis demokrasi Wanchalearm Satsaksi diculik di Kamboja. Kelompok HAM menyatakan Satsaksi merupakan orang kesembilan yang hilang di negara orang pada tahun ini. Tapi, Pemerintah Thailand menepis terlibat dalam operasi tersebut.
"Saya kira kami sudah mencapai titik frustrasi. Banyak sekali masalah yang muncul sejak kudeta pada 2014, mulai dari kesemrawutan manajemen, penyelewengan hukum, dan ketidakadilan sosial," kata Jutatip Sirikhan, Presiden Student Union of Thailand. "Kami tak melihat lagi masa depan di negeri ini," katanya. (Lihat videonya: Jejak Tradisi Malam 1 Suro dan Suronan di Pesantren)
Ekonomi Thailand berlangsung stagnan, bahkan sebelum pandemi Covid-19. Berdasarkan perkiraan para ahli, ekonomi Thailand akan mengalami kontraksi sebesar 8,1% pada tahun ini. "Karena itu, anak-anak muda protes ke jalan-jalan. Masa depan mereka sedang dipertaruhkan," kata Thitinan Pongsudhirak dari Chulalongkorn University.
Prayuth mengaku akan mendengar tuntutan pendemo, terutama yang berkaitan dengan konstitusi. Para aktivis berharap tidak akan ada lagi tindakan semena-mena, intimidasi, dan pemaksaan kehendak. (Muh Shamil)
tulis komentar anda