Perekonomian Nasional Dilanda Banyak Masalah, China Didorong Bersikap Transparan

Selasa, 04 Juni 2024 - 08:00 WIB
Pemerintah Presiden China Xi Jinping diminta bersikap transparan ketika perekonomian nasionalnya dilanda banyak masalah. Foto/REUTERS
BEIJING - Dunia sudah mengetahui bahwa ekonomi China tengah dilanda serangkaian masalah. Meledaknya gelembung properti telah menggerogoti tabungan masyarakat umum, memengaruhi kepercayaan konsumen, merampas sumber pendapatan pemerintah kota, dan membebani bank dengan utang macet senilai triliunan dolar.

Mengutip dari The Hong Kong Post, Selasa (4/6/2024), seperempat dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) China kini menjadi rentan. Ditambah lagi dengan peralihan investasi asing pasca-Covid, baik Investasi Asing Langsung (FDI) dalam industri maupun investasi pasar dari China, ke pasar berkembang lainnya.

Perdagangan ekspor China juga mengalami perlambatan. Hasil akhirnya terlihat dari keruntuhan pasar saham China yang berkelanjutan, yang menghapus kekayaan investor senilai USD7 triliun sejak 2021.





Selain itu, Amerika Serikat (AS) mengenakan tarif baru yang sangat tinggi pada Mei lalu untuk kendaraan listrik (EV), baterai canggih, sel surya, baja, aluminium, dan peralatan medis China.

Kantor berita Al Jazeera melaporkan bahwa tarif akan meningkat dari 25 persen menjadi 100 persen untuk EV tahun ini, sehingga total bea masuk menjadi 102,5 persen.

Baterai EV lithium-ion dan komponen baterai lainnya akan mengalami kenaikan bea masuk dari 7,5 persen menjadi 25 persen.

Sel fotovoltaik China, yang digunakan dalam pembuatan panel surya, akan lebih mahal di AS karena bea masuk dinaikkan dari 25 persen menjadi 50 persen. Bea masuk atas beberapa mineral penting akan ditingkatkan dari nol menjadi 25 persen.

Baik Presiden Joe Biden maupun pesaingnya dari Partai Republik, Donald Trump, sepakat bahwa China telah menyalahgunakan rezim perdagangan liberal yang dipandu Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Selama bertahun-tahun mengalami pertumbuhan dua digit, Partai Komunis China (CCP) memastikan subsidi berlapis-lapis untuk manufakturnya. Subsidi tersebut tidak mudah dikenali karena sistem CCP yang tidak transparan.

Namun, dunia demokrasi harus membayar harga untuk ketiadaan transparansi dari China. China melakukan praktik dumping dengan membuang barang dengan harga di bawah harga pasar untuk mematikan manufaktur lokal.



Perusahaan dari seluruh dunia dibujuk memindahkan basis produksi ke China. Kebijakan tersebut membantu Beijing menjadi “pabrik dunia” dan menguasai 70 persen perdagangan global. China menggunakan cara ini sebagai keuntungan geostrategis selama pandemi Covid-19.

Perangkap Utang dan Covid-19



Eropa selamat dari serangan itu karena pembatasan yang diberlakukan serikat buruh mereka terhadap transfer teknologi dan alih daya manufaktur. Namun, AS membayar harga yang mahal.

Pada 2010, pusat manufaktur mobil di Detroit runtuh dan lebih dari 80 persen mobil diimpor dari China. Industri AS terus menciptakan kekayaan dan lapangan kerja bagi China, dan rezim totaliter Beijing menggunakan uang itu untuk mengejar tujuan neo-kolonialis.

Uang digelontorkan ke negara-negara yang lebih kecil, jauh melebihi kapasitas pembayaran mereka, sebagai bagian dari diplomasi perangkap utang.

Ketika negara-negara itu terlilit utang, China mengeklaim sebagian wilayah asing sebagai wilayah mereka sendiri dan mendiktekan kebijakan di negara-negara itu untuk merampok mineral dan aset strategis mereka serta membanjirinya dengan barang-barang China.

Hal ini telah terjadi di sebagian besar wilayah Afrika dan Asia. Sri Lanka runtuh di bawah beban pinjaman China. Maladewa tidak stabil.

Donald Trump memahami hal ini terlebih dahulu, dan mengambil langkah-langkah perbaikan selama masa jabatannya sebagai presiden pada periode 2017-2021. Sebagai bagian dari kebijakan “America First”, Trump memberlakukan tembok tarif pada impor China yang dimulai pada 2017.

"China memakan makan siang AS," kata Trump saat masih menjadi presiden. Dia juga menyalahkan China karena mendorong dunia ke dampak bencana pandemi Covid-19.

Virus Covid-19 berasal dari Wuhan di China, dan Beijing dituduh tidak memberi tahu dunia tepat waktu. Kemudian ketika China melakukan karantina wilayah atas kemauannya sendiri—dan bahkan menolak pasokan bahan baku farmasi penting—yang berdampak pada pasokan global; dunia menyadari bahwa membiarkan satu negara mengendalikan nasib mereka adalah kesalahan yang terlalu besar.

Transparansi Ekonomi



Perusahaan-perusahaan besar AS, Jepang, dan Korea Selatan mulai mengalihkan produksi dari China. India kini telah menjadi salah satu pilihan utama.

Biden awalnya bersikap lunak terhadap China, tetapi dia juga sekarang menyadari bahayanya. Menurut Biden, subsidi yang diberikan Partai Komunis China memastikan perusahaan-perusahaan China tidak harus mendapatkan keuntungan, sehingga memberi mereka keuntungan yang tidak adil dalam perdagangan global.

"Pekerja Amerika dapat bekerja lebih keras dan bersaing dengan siapa pun asalkan persaingannya adil," tegas Biden.

"Namun, selama ini, persaingan itu tidak adil. Selama bertahun-tahun, pemerintah China telah menggelontorkan uang negara ke perusahaan-perusahaan China. Itu bukan persaingan, itu kecurangan," sambungnya.

Perwakilan Dagang AS, Katherine Tai, pernah mengatakan bahwa China mencuri kekayaan intelektual AS.

Tidak diragukan lagi, akan ada dampak biaya pada konsumen Amerika dari perubahan kebijakan terhadap China di era Biden. Namun, hal itu akan bertindak sebagai tekanan balik terhadap Beijing untuk mewujudkan transparansi dalam perilakunya.

Merupakan ide yang salah untuk membiarkan rezim totaliter China menikmati kebebasan tanpa pengawasan dan keseimbangan yang memadai.
(mas)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More