Perekonomian Nasional Dilanda Banyak Masalah, China Didorong Bersikap Transparan
Selasa, 04 Juni 2024 - 08:00 WIB
Selama bertahun-tahun mengalami pertumbuhan dua digit, Partai Komunis China (CCP) memastikan subsidi berlapis-lapis untuk manufakturnya. Subsidi tersebut tidak mudah dikenali karena sistem CCP yang tidak transparan.
Namun, dunia demokrasi harus membayar harga untuk ketiadaan transparansi dari China. China melakukan praktik dumping dengan membuang barang dengan harga di bawah harga pasar untuk mematikan manufaktur lokal.
Perusahaan dari seluruh dunia dibujuk memindahkan basis produksi ke China. Kebijakan tersebut membantu Beijing menjadi “pabrik dunia” dan menguasai 70 persen perdagangan global. China menggunakan cara ini sebagai keuntungan geostrategis selama pandemi Covid-19.
Eropa selamat dari serangan itu karena pembatasan yang diberlakukan serikat buruh mereka terhadap transfer teknologi dan alih daya manufaktur. Namun, AS membayar harga yang mahal.
Pada 2010, pusat manufaktur mobil di Detroit runtuh dan lebih dari 80 persen mobil diimpor dari China. Industri AS terus menciptakan kekayaan dan lapangan kerja bagi China, dan rezim totaliter Beijing menggunakan uang itu untuk mengejar tujuan neo-kolonialis.
Uang digelontorkan ke negara-negara yang lebih kecil, jauh melebihi kapasitas pembayaran mereka, sebagai bagian dari diplomasi perangkap utang.
Ketika negara-negara itu terlilit utang, China mengeklaim sebagian wilayah asing sebagai wilayah mereka sendiri dan mendiktekan kebijakan di negara-negara itu untuk merampok mineral dan aset strategis mereka serta membanjirinya dengan barang-barang China.
Hal ini telah terjadi di sebagian besar wilayah Afrika dan Asia. Sri Lanka runtuh di bawah beban pinjaman China. Maladewa tidak stabil.
Namun, dunia demokrasi harus membayar harga untuk ketiadaan transparansi dari China. China melakukan praktik dumping dengan membuang barang dengan harga di bawah harga pasar untuk mematikan manufaktur lokal.
Perusahaan dari seluruh dunia dibujuk memindahkan basis produksi ke China. Kebijakan tersebut membantu Beijing menjadi “pabrik dunia” dan menguasai 70 persen perdagangan global. China menggunakan cara ini sebagai keuntungan geostrategis selama pandemi Covid-19.
Perangkap Utang dan Covid-19
Eropa selamat dari serangan itu karena pembatasan yang diberlakukan serikat buruh mereka terhadap transfer teknologi dan alih daya manufaktur. Namun, AS membayar harga yang mahal.
Pada 2010, pusat manufaktur mobil di Detroit runtuh dan lebih dari 80 persen mobil diimpor dari China. Industri AS terus menciptakan kekayaan dan lapangan kerja bagi China, dan rezim totaliter Beijing menggunakan uang itu untuk mengejar tujuan neo-kolonialis.
Uang digelontorkan ke negara-negara yang lebih kecil, jauh melebihi kapasitas pembayaran mereka, sebagai bagian dari diplomasi perangkap utang.
Ketika negara-negara itu terlilit utang, China mengeklaim sebagian wilayah asing sebagai wilayah mereka sendiri dan mendiktekan kebijakan di negara-negara itu untuk merampok mineral dan aset strategis mereka serta membanjirinya dengan barang-barang China.
Hal ini telah terjadi di sebagian besar wilayah Afrika dan Asia. Sri Lanka runtuh di bawah beban pinjaman China. Maladewa tidak stabil.
Lihat Juga :
tulis komentar anda