Wanita Arab Saudi Ini Dipenjara 11 Tahun karena Pakaian dan Postingan Media Sosial
Kamis, 02 Mei 2024 - 07:33 WIB
RIYADH - Manahel Al-Otaibi (29), seorang wanita Arab Saudi, dijatuhi hukuman 11 tahun penjara karena pilihan pakaiannya dan posting-an media sosial.
Kelompok hak asasi manusia (HAM) Amnesty International telah mendesak Kerajaan Arab Saudi untuk membebaskan Al-Otaibi, yang berprofesi sebagai instruktur kebugaran.
Menurut Amnesty, yang dikutip Reuters, Kamis (2/5/2024), Al-Otaibi dijatuhi hukuman pada bulan Januari dan rincian kasusnya muncul dalam jawaban resmi Arab Saudi atas permintaan dari Kantor HAM PBB.
Amnesty dan Al-Qst yang berbasis di London, sebuah kelompok HAM yang fokus pada HAM di Kerajaan Arab Saudi, mengatakan Al-Otaibi didakwa karena mem-posting tanda pagar (tagar) di media sosial “Hapus perwalian laki-laki” dan video di mana dia mengenakan pakaian yang dianggap "tidak senonoh”—tanpa abaya—saat berbelanja.
Kantor media internasional Arab Saudi tidak menanggapi pertanyaan Reuters tentang informasi yang diberikan oleh Amnesty.
Arab Saudi, dalam jawaban resminya kepada Kantor HAM PBB, membantah bahwa Al-Otaibi dijatuhi hukuman karena posting-an media sosial.
"Dia dihukum karena pelanggaran teroris yang tidak ada hubungannya dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi atau postingan media sosialnya," katanya.
Tanggapan Saudi, yang dilihat oleh Reuters, tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Undang-undang kontra-terorisme Arab Saudi, yang menjadi dasar hukuman bagi Al-Otaibi, telah dikritik oleh PBB sebagai alat yang terlalu luas untuk membungkam perbedaan pendapat.
Kantor HAM PBB tidak segera menanggapi permintaan komentar atau konfirmasi rincian kasus ini dari Reuters.
Amnesty mengatakan saudara perempuan Al-Otaibi, Fawzia, menghadapi tuduhan serupa tetapi melarikan diri dari Arab Saudi setelah dipanggil untuk diinterogasi pada tahun 2022.
“Dengan hukuman ini, pihak berwenang Saudi telah mengungkap kekosongan reformasi hak-hak perempuan yang banyak digembar-gemborkan dalam beberapa tahun terakhir dan menunjukkan komitmen mengerikan mereka untuk membungkam perbedaan pendapat secara damai,” kata Bissan Fakih, juru kampanye Amnesty di Arab Saudi, dalam sebuah pernyataan.
Penguasa de facto Saudi, Putra Mahkota Mohammed Bin Salman, mulai berkuasa pada tahun 2017 dengan menjanjikan reformasi sosial dan ekonomi secara menyeluruh, dan dia melonggarkan beberapa pembatasan dalam undang-undang perwalian laki-laki.
Sejak saat itu, perempuan Arab Saudi sudah bisa mengendarai mobil, mendapatkan paspor dan bepergian sendiri, mencatat kelahiran dan kematian, serta perceraian. Namun, undang-undang masih mempersulit perempuan untuk mendapatkan perceraian dibandingkan laki-laki.
Kerajaan Arab Saudi masih menghadapi pengawasan ketat atas catatan HAM-nya, termasuk undang-undang status pribadi tahun 2022 yang mengatur banyak aspek perwalian laki-laki, yang mencakup hak asuh laki-laki atas anak-anak dan izin bagi perempuan untuk menikah.
Beberapa ketentuan dapat memfasilitasi kekerasan dalam rumah tangga, menurut Amnesty.
Arab Saudi melonggarkan aturan berpakaian bagi perempuan asing pada tahun 2019, namun aktivis hak asasi manusia mengatakan bahwa perempuan Saudi terus menghadapi pembatasan.
Kelompok hak asasi manusia (HAM) Amnesty International telah mendesak Kerajaan Arab Saudi untuk membebaskan Al-Otaibi, yang berprofesi sebagai instruktur kebugaran.
Menurut Amnesty, yang dikutip Reuters, Kamis (2/5/2024), Al-Otaibi dijatuhi hukuman pada bulan Januari dan rincian kasusnya muncul dalam jawaban resmi Arab Saudi atas permintaan dari Kantor HAM PBB.
Amnesty dan Al-Qst yang berbasis di London, sebuah kelompok HAM yang fokus pada HAM di Kerajaan Arab Saudi, mengatakan Al-Otaibi didakwa karena mem-posting tanda pagar (tagar) di media sosial “Hapus perwalian laki-laki” dan video di mana dia mengenakan pakaian yang dianggap "tidak senonoh”—tanpa abaya—saat berbelanja.
Kantor media internasional Arab Saudi tidak menanggapi pertanyaan Reuters tentang informasi yang diberikan oleh Amnesty.
Arab Saudi, dalam jawaban resminya kepada Kantor HAM PBB, membantah bahwa Al-Otaibi dijatuhi hukuman karena posting-an media sosial.
"Dia dihukum karena pelanggaran teroris yang tidak ada hubungannya dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi atau postingan media sosialnya," katanya.
Tanggapan Saudi, yang dilihat oleh Reuters, tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Undang-undang kontra-terorisme Arab Saudi, yang menjadi dasar hukuman bagi Al-Otaibi, telah dikritik oleh PBB sebagai alat yang terlalu luas untuk membungkam perbedaan pendapat.
Kantor HAM PBB tidak segera menanggapi permintaan komentar atau konfirmasi rincian kasus ini dari Reuters.
Amnesty mengatakan saudara perempuan Al-Otaibi, Fawzia, menghadapi tuduhan serupa tetapi melarikan diri dari Arab Saudi setelah dipanggil untuk diinterogasi pada tahun 2022.
“Dengan hukuman ini, pihak berwenang Saudi telah mengungkap kekosongan reformasi hak-hak perempuan yang banyak digembar-gemborkan dalam beberapa tahun terakhir dan menunjukkan komitmen mengerikan mereka untuk membungkam perbedaan pendapat secara damai,” kata Bissan Fakih, juru kampanye Amnesty di Arab Saudi, dalam sebuah pernyataan.
Penguasa de facto Saudi, Putra Mahkota Mohammed Bin Salman, mulai berkuasa pada tahun 2017 dengan menjanjikan reformasi sosial dan ekonomi secara menyeluruh, dan dia melonggarkan beberapa pembatasan dalam undang-undang perwalian laki-laki.
Sejak saat itu, perempuan Arab Saudi sudah bisa mengendarai mobil, mendapatkan paspor dan bepergian sendiri, mencatat kelahiran dan kematian, serta perceraian. Namun, undang-undang masih mempersulit perempuan untuk mendapatkan perceraian dibandingkan laki-laki.
Kerajaan Arab Saudi masih menghadapi pengawasan ketat atas catatan HAM-nya, termasuk undang-undang status pribadi tahun 2022 yang mengatur banyak aspek perwalian laki-laki, yang mencakup hak asuh laki-laki atas anak-anak dan izin bagi perempuan untuk menikah.
Beberapa ketentuan dapat memfasilitasi kekerasan dalam rumah tangga, menurut Amnesty.
Arab Saudi melonggarkan aturan berpakaian bagi perempuan asing pada tahun 2019, namun aktivis hak asasi manusia mengatakan bahwa perempuan Saudi terus menghadapi pembatasan.
(mas)
tulis komentar anda