Siapa Riken Yamamoto? Arsitek Jepang yang Menang Pritzker 2024
Rabu, 06 Maret 2024 - 22:22 WIB
TOKYO - Penerimaan Riken Yamamoto atas Penghargaan Arsitektur Pritzker yang bergengsi pada tahun 2024 disambut dengan kejutan yang menyenangkan. Dicirikan oleh komitmen mendalam terhadap keterlibatan masyarakat dan kesadaran yang tinggi terhadap dinamika lokal, arsitek Jepang ke-9 yang menerima penghargaan ini memiliki portofolio arsitektur yang menunjukkan kekuatan transformatif arsitektur dalam masyarakat.
Mulai dari memenuhi kebutuhan anak-anak hingga kebutuhan orang lanjut usia, karya Yamamoto menggarisbawahi dampak besar arsitektur terhadap kehidupan individu di semua kelompok umur.
Pendidikannya dibentuk oleh interaksi antara ranah publik dan privat, saat ia tinggal di sebuah rumah yang dirancang sebagai machiya tradisional Jepang.
Bagian depan rumah didedikasikan untuk apotek ibunya, sedangkan bagian belakang berfungsi sebagai tempat tinggal mereka, sehingga menanamkan dalam dirinya apresiasi awal terhadap integrasi ruang komunal dan pribadi.
Dia terpesona oleh Pagoda Lima Tingkat yang melambangkan lima Unsur Buddhis berupa tanah, air, api, udara dan ruang angkasa. “Saat itu sangat gelap, tetapi saya dapat melihat menara kayu tersebut diterangi oleh cahaya bulan dan apa yang saya temukan saat itu adalah pengalaman pertama saya dengan arsitektur.”
Saat mengunjungi pameran sebagai mahasiswa pascasarjana, ia dikejutkan oleh tidak adanya arsitektur yang patut diperhatikan; Paviliun Amerika—sebuah bangunan lapang tanpa simbolisme, menampilkan sebuah batu yang konon berasal dari bulan. Perjumpaan nyata dengan arsitektur yang hanya sekedar "udara dan batu kecil" meninggalkan kesan pada Yamamoto, membentuk pemahaman awalnya tentang simbolisme dan ekspresi arsitektur.
Didorong oleh ketertarikannya pada tema ini, ia memanfaatkan kesempatan untuk memulai perjalanan internasional selama tahun-tahun penting dalam karirnya, dipandu oleh mentornya, Hiroshi Hara. Bersama-sama, pada tahun 1972, mereka memulai perjalanan transformatif menelusuri garis pantai Mediterania. Perjalanan mereka membawa mereka melewati Perancis, Spanyol, Maroko, Aljazair, Tunisia, Italia, Yunani, dan Türkiye, membenamkan diri dalam kekayaan budaya dan nuansa masyarakat. Dua tahun kemudian, penjelajahan mereka berlanjut, kali ini dari jalanan Los Angeles yang ramai hingga lanskap dinamis di Meksiko, Guatemala, Kosta Rika, Kolombia, dan terakhir, Peru.
Setiap destinasi menawarkan wawasan unik mengenai interaksi antara ranah publik dan privat, yang berpuncak pada realisasi mendalam bagi Yamamoto: bahwa konsep "ambang batas" yang menggambarkan ruang-ruang ini bersifat universal, melampaui batas-batas geografis dan konteks budaya. Seperti yang ia nyatakan dengan fasih, “Saya menyadari bahwa sistem arsitektur di masa lalu adalah agar kita dapat menemukan budaya kita... Penampilan desa-desa berbeda, namun dunia mereka sangat mirip.”
Bertransisi ke dunia akademis, ia menjabat sebagai Profesor di Departemen Arsitektur Universitas Kogakuin. dari tahun 2002 hingga 2007. Selain itu, ia mengajar di Sekolah Pascasarjana Arsitektur Universitas Nasional Yokohama dan Sekolah Pascasarjana Teknik di Universitas Nihon. Dari tahun 2018 hingga 2022, beliau menjabat sebagai Presiden di Universitas Seni & Desain Nagoya Zokei dan sejak tahun 2022 beliau mengajar di Universitas Seni Tokyo sebagai Profesor Tamu.
Sebagai tindakan pencegahan, ia mengusulkan sebuah "model kawasan komunitas", yang membayangkan struktur yang mengintegrasikan unit hunian dengan beragam fasilitas penting, mendorong kehidupan antargenerasi dan memfasilitasi berbagai gaya hidup komunal.
Pertemuan perdananya dengan arsitektur Amerika terjadi di kota Chicago yang dinamis, di mana ia memberi kuliah kepada para mahasiswa dan membenamkan dirinya dalam tatanan perkotaan khas yang dibentuk setelah Kebakaran Besar. Di dalam dinding Gedung Auditorium Louis Sullivan yang ikonis itulah Yamamoto menemukan sintesis transformatif kemewahan abad ke-19 dan tontonan kontemporer, sebuah momen yang meninggalkan jejak tak terhapuskan pada etos arsitekturalnya.
Pengalaman penting ini terjadi sekitar usia 40 tahun, yang menandakan tonggak penting dalam lintasan profesionalnya. Merefleksikan kunjungan berikutnya ke Neue Nationalgalerie di Berlin oleh Mies van der Rohe, dan membandingkannya dengan kontribusi Mies pada cakrawala Chicago, Yamamoto melihat dikotomi mendalam antara kepekaan organik Sullivan dan kesederhanaan Mies, yang memperkaya pemahamannya tentang manifestasi multifaset modernisme.
Gempa Bumi Besar di Jepang Timur pada tanggal 11 Maret 2011. Sejak terjadinya bencana, beban operasional pengelolaan rumah-rumah tersebut semakin berat. Oleh karena itu, organisasi tersebut memutuskan untuk membentuk payung tunggal NPO HOME-FOR-ALL untuk mendukung setiap proyek.
Mulai dari memenuhi kebutuhan anak-anak hingga kebutuhan orang lanjut usia, karya Yamamoto menggarisbawahi dampak besar arsitektur terhadap kehidupan individu di semua kelompok umur.
Siapa Riken Yamamoto? Arsitek Jepang yang Menang Pritzker 2024
1. Lahir di Beijing
Melansir archdaily, Yamamoto lahir di Beijing pada tahun 1945, Republik Rakyat China, namun akarnya berakar di Yokohama, Jepang, setelah berakhirnya Perang Dunia II.Pendidikannya dibentuk oleh interaksi antara ranah publik dan privat, saat ia tinggal di sebuah rumah yang dirancang sebagai machiya tradisional Jepang.
Bagian depan rumah didedikasikan untuk apotek ibunya, sedangkan bagian belakang berfungsi sebagai tempat tinggal mereka, sehingga menanamkan dalam dirinya apresiasi awal terhadap integrasi ruang komunal dan pribadi.
2. Jadi Arsitek sejak Usia 17 Tahun
Dia mengatakan bahwa pengalaman pertamanya dengan arsitektur terjadi pada usia 17 tahun, ketika dia mengunjungi Kuil Kôfuku-ji, di Nara, Jepang, yang awalnya dibangun pada tahun 730 dan akhirnya dibangun kembali pada tahun 1426.Dia terpesona oleh Pagoda Lima Tingkat yang melambangkan lima Unsur Buddhis berupa tanah, air, api, udara dan ruang angkasa. “Saat itu sangat gelap, tetapi saya dapat melihat menara kayu tersebut diterangi oleh cahaya bulan dan apa yang saya temukan saat itu adalah pengalaman pertama saya dengan arsitektur.”
3. Yakin dengan Simbol dan Ekspresi
Pada usia 25 tahun, di tengah latar Pameran Internasional Osaka tahun 1970, Riken Yamamoto, seorang arsitek pemula, merasakan dampak yang sangat besar.Saat mengunjungi pameran sebagai mahasiswa pascasarjana, ia dikejutkan oleh tidak adanya arsitektur yang patut diperhatikan; Paviliun Amerika—sebuah bangunan lapang tanpa simbolisme, menampilkan sebuah batu yang konon berasal dari bulan. Perjumpaan nyata dengan arsitektur yang hanya sekedar "udara dan batu kecil" meninggalkan kesan pada Yamamoto, membentuk pemahaman awalnya tentang simbolisme dan ekspresi arsitektur.
4. Keliling Dunia untuk Mencari Inspirasi
Yamamoto merefleksikan lanskap arsitektur Jepang pada awal tahun 1970-an, masa yang didominasi oleh popularitas arsitektur modernis dan ketidaktertarikan pada gaya vernakular negara lain.Didorong oleh ketertarikannya pada tema ini, ia memanfaatkan kesempatan untuk memulai perjalanan internasional selama tahun-tahun penting dalam karirnya, dipandu oleh mentornya, Hiroshi Hara. Bersama-sama, pada tahun 1972, mereka memulai perjalanan transformatif menelusuri garis pantai Mediterania. Perjalanan mereka membawa mereka melewati Perancis, Spanyol, Maroko, Aljazair, Tunisia, Italia, Yunani, dan Türkiye, membenamkan diri dalam kekayaan budaya dan nuansa masyarakat. Dua tahun kemudian, penjelajahan mereka berlanjut, kali ini dari jalanan Los Angeles yang ramai hingga lanskap dinamis di Meksiko, Guatemala, Kosta Rika, Kolombia, dan terakhir, Peru.
Setiap destinasi menawarkan wawasan unik mengenai interaksi antara ranah publik dan privat, yang berpuncak pada realisasi mendalam bagi Yamamoto: bahwa konsep "ambang batas" yang menggambarkan ruang-ruang ini bersifat universal, melampaui batas-batas geografis dan konteks budaya. Seperti yang ia nyatakan dengan fasih, “Saya menyadari bahwa sistem arsitektur di masa lalu adalah agar kita dapat menemukan budaya kita... Penampilan desa-desa berbeda, namun dunia mereka sangat mirip.”
5. DIkenal sebagai Profesor
Arsitek Jepang memiliki latar belakang akademis yang kaya. Perjalanannya dimulai dengan meraih gelar sarjana dari Universitas Nihon pada tahun 1968, disusul dengan gelar master dari Universitas Seni, Fakultas Arsitektur di Tokyo pada tahun 1971.Bertransisi ke dunia akademis, ia menjabat sebagai Profesor di Departemen Arsitektur Universitas Kogakuin. dari tahun 2002 hingga 2007. Selain itu, ia mengajar di Sekolah Pascasarjana Arsitektur Universitas Nasional Yokohama dan Sekolah Pascasarjana Teknik di Universitas Nihon. Dari tahun 2018 hingga 2022, beliau menjabat sebagai Presiden di Universitas Seni & Desain Nagoya Zokei dan sejak tahun 2022 beliau mengajar di Universitas Seni Tokyo sebagai Profesor Tamu.
6. Fokus dan Komunal dan Kolektif
Yamamoto menonjol di antara para arsitek Jepang yang menentang prevalensi rumah keluarga tunggal, dan malah menganjurkan desain perumahan yang memprioritaskan elemen komunal dan kolektif. Dalam pandangannya, homogenisasi unit perumahan telah berkontribusi pada homogenisasi keluarga yang tinggal di dalamnya, menjadikan perumahan sebagai alat untuk penyesuaian dan pengondisian sosial.Sebagai tindakan pencegahan, ia mengusulkan sebuah "model kawasan komunitas", yang membayangkan struktur yang mengintegrasikan unit hunian dengan beragam fasilitas penting, mendorong kehidupan antargenerasi dan memfasilitasi berbagai gaya hidup komunal.
7. Tertarik dengan Arsitektur Vernakular
Melansir archdaily, dalam perjalanan globalnya yang luas, Riken Yamamoto mendapati dirinya sangat tertarik pada arsitektur vernakular, yang kemudian berkembang menjadi ketertarikan mendalam pada desain modernis.Pertemuan perdananya dengan arsitektur Amerika terjadi di kota Chicago yang dinamis, di mana ia memberi kuliah kepada para mahasiswa dan membenamkan dirinya dalam tatanan perkotaan khas yang dibentuk setelah Kebakaran Besar. Di dalam dinding Gedung Auditorium Louis Sullivan yang ikonis itulah Yamamoto menemukan sintesis transformatif kemewahan abad ke-19 dan tontonan kontemporer, sebuah momen yang meninggalkan jejak tak terhapuskan pada etos arsitekturalnya.
Pengalaman penting ini terjadi sekitar usia 40 tahun, yang menandakan tonggak penting dalam lintasan profesionalnya. Merefleksikan kunjungan berikutnya ke Neue Nationalgalerie di Berlin oleh Mies van der Rohe, dan membandingkannya dengan kontribusi Mies pada cakrawala Chicago, Yamamoto melihat dikotomi mendalam antara kepekaan organik Sullivan dan kesederhanaan Mies, yang memperkaya pemahamannya tentang manifestasi multifaset modernisme.
8. Memiliki Misi Sosial yang Tinggi
Pada tahun 2011 ia juga mendirikan HOME-FOR-ALL, sebuah organisasi relawan, bersama Toyo Ito dan Kazuyo Sejima bekerja sama dengan arsitek muda untuk membantu membuat perbedaan dan membangun rumah komunitas di daerah bencana bagi mereka yang kehilangan rumah atau pekerjaan di lokasi bencana.Gempa Bumi Besar di Jepang Timur pada tanggal 11 Maret 2011. Sejak terjadinya bencana, beban operasional pengelolaan rumah-rumah tersebut semakin berat. Oleh karena itu, organisasi tersebut memutuskan untuk membentuk payung tunggal NPO HOME-FOR-ALL untuk mendukung setiap proyek.
(ahm)
tulis komentar anda