Militer AS Tercanggih di Dunia, tapi Tak Siap Hadapi Perang dengan Senjata Murahan

Minggu, 25 Februari 2024 - 12:37 WIB
Pasukan darat Amerika juga terpaksa menghadapi kenyataan baru di medan perang, terutama ketika serangan pesawat tak berawak di pangkalan Tower 22 Amerika di Yordania yang menewaskan tiga tentara Amerika dan melukai 41 lainnya bulan lalu.

Bahkan sebelum serangan itu, Wakil Menteri Pertahanan untuk Akuisisi dan Keberlanjutan William LaPlant telah memperingatkan perlunya Amerika memperoleh lebih banyak kemampuan anti-drone.

“Ini adalah masalah yang mendesak,” kata LaPlante pada konferensi pertahanan bulan Desember, dan menyebut situasi ini sebagai “krisis".

Menurut laporan dari publikasi online Task & Purpose, Angkatan Darat AS kini bergegas untuk membeli lebih banyak pertahanan anti-drone melalui kontrak senilai USD75 juta dengan Raytheon untuk 600 Coyote 2C, yang menurut laporan tersebut adalah “amunisi anti-drone yang berkeliaran".

Angkatan Darat menggunakan otoritas akuisisi cepatnya untuk pembelian tersebut, sehingga memungkinkan cabang tersebut dengan cepat memberikan pertahanan penting kepada pasukan di seluruh dunia.

“Coyote adalah komponen kunci dari sistem kontra-UAS,” kata Angkatan Darat dalam rilisnya.

“Ini adalah pencegat yang diluncurkan di darat, dipandu radar, dengan varian kinetik dan non-kinetik, yang terintegrasi ke dalam sistem pesawat tak berawak kecil yang terintegrasi di lokasi tetap dan sistem pesawat tak berawak kecil yang bergerak lambat dan terintegrasi."

Menurut Velicovich, menjamurnya teknologi drone berarti masalah ini tidak akan hilang dalam waktu dekat.

“Dulu jika Anda membeli drone, biayanya jutaan dolar...hanya negara yang mampu membelinya, hanya negara yang bisa memahami teknologinya,” kata Velicovich. “Sekarang, hal itu tidak lagi terjadi.”

Brent Sadler, peneliti senior di Heritage Foundation, mengatakan kepada Fox News Digital bahwa ancaman teknologi rendah terhadap militer AS bukanlah hal baru, mengingat serangan tahun 2000 terhadap kapal perang USS Cole di Aden, Yaman, yang dilakukan dengan kepal pengebom bunuh diri yang murah.

Namun Sadler juga mencatat bahaya memasangkan teknologi murah seperti drone dengan rudal berteknologi tinggi, dengan alasan bahwa AS masih harus lebih mempersiapkan diri menghadapi perubahan lanskap.

“Realitas peperangan laut yang ditunjukkan dalam beberapa tahun terakhir memperjelas bahwa Angkatan Laut AS perlu mengejar ketertinggalan dari China dan Rusia dalam mengembangkan rudal jelajah hipersonik dan mematikan, sembari mengembangkan opsi berbiaya rendah juga,” kata Sadler.

“Daftar teratas adalah drone yang dapat mengerumuni dan membanjiri sensor pembela untuk melakukan serangan atau membuat target yang memiliki pertahanan cukup terganggu sehingga memungkinkan senjata kelas atas mencapai sasarannya," paparnya.

Sementara itu, Velicovich mengatakan AS harus mulai memahami bagaimana perang terjadi di seluruh dunia dan beradaptasi, dengan menunjuk pada kekuatan tempur yang tampaknya lebih rendah namun telah menunjukkan taktik baru dan efektif dalam konflik saat ini.

“Negara-negara atau kelompok teroris atau organisasi berbeda membela atau berperang dengan uang yang sangat sedikit,” kata Velicovich.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More