Menatap Masa Depan Lebanon di Tengah Ketidakpastian
Rabu, 12 Agustus 2020 - 11:12 WIB
BEIRUT - Perdana Menteri (PM) Lebanon Hassan Diab mengundurkan diri dari jabatannya, kemarin. Kemunduran itu tidak terlepas dari tingginya tekanan masyatakat kepada pemerintah seusai ledakan hebat di Pelabuhan Beirut.
"Hari ini (Senin waktu lokal), kami akan turut bersama rakyat untuk menyeret mereka yang bertanggung jawab di balik ledakan di Beirut," ujar Diab, dikutip Reuters. "Korupsi telah mengakar hingga ke pejabat kecil daerah dan saya sadar korupsi merusak negara dan merugikan rakyat."
Kemunduran Diab membuat situasi politik Lebanon kian rumit. Sebab, Diab merupakan salah satu tokoh besar organisasi keagamaan setempat dan menjadi orang yang menekan perundingan peminjaman dana dari Dana Moneter Internasional (IMF). (Baca: Pemerintahan Lebanon Bubar di Tengah Kemarahan Publik)
Presiden Lebanon Michel Aoun menerima kemunduran Diab dengan lapang dada. Namun, dia meminta Diab menjadi pelaksana tugas PM sebelum pemerintahan baru terbentuk. Diab diangkat menjadi PM sejak Januari lalu setelah mendapatkan dukungan kuat dari kelompok Hezbollah dan sekutunya.
Sampai kemarin, sebagian rakyat Lebanon masih menggelar unjuk rasa untuk ketiga harinya di Beirut. Mereka sempat terlibat bentrok dengan polisi setelah beberapa pengunjuk rasa melemparkan batu kepada petugas. Polisi pun menembakkan gas air mata sebagai bentuk perlawanan.
Sebagian besar rakyat Lebanon menilai ledakan du Beirut merupakan buah dari korupsi dan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negara. Mereka mendesak agar pemerintah sekarang lengser dan digantikan pemimpin baru yang dapat dipercaya rakyat. Selain itu, sistemnya perlu diubah.
"Pasalnya, percuma memiliki pemimpin baru kalau sistemnya masih sama. Kami perlu menggelar pemilihan umum," ujar Joe Haddad, warga lokal. Sesuai peraturan pemerintah saat ini, posisi Diab juga dapat langsung diganti setelah Aoun memperoleh persetujuan dari Parlemen. (Baca juga: Jadi Lumbung Cukai, Kemenperin: Industri Rokok Perlu Diselamatkan)
Namun, menilik kondisi sekarang, pergantian kabinet kemungkinan memerlukan waktu panjang. Sebab, sama seperti saat Diab diangkat menjadi PM, tidak ada seorang pun yang mau menduduki kursi jabatan itu. Sebab, sebagian besar kandidat takut menjadi bulan-bulanan massa mengingat situasinya sedang buruk.
Kursi kepemimpinan Lebanon sejak perang sipil 1975-1990 banyak diduduki komandan perang dan militer. Sebagian besar dari mereka tidak terkalahkan mengingat adanya sistem bagi-bagi "jatah" kekuasaan dan aturan pemilu yang mendukung keberlangsungan karier politik mereka.
Sebagian rakyat Lebanon menentang keras sistem politik tersebut dan beberapa kali melakukan perlawanan dengan mengangkat senjata, termasuk pembunuhan Perdana Menteri Rafik Hariri sekitar 15 tahun yang lalu. Belakangan ini, masyarakat juga melakukan unjuk rasa selama krisis ekonomi dan krisis pangan.
Fawaz Gerges, profesor politik Timur Tengah dari London School of Economics, mengatakan kepentingan para politisi Lebanon sudah mengakar di dalam sistem pemerintahan Lebanon. "Saya sendiri pesimis elite politik di dalam institusi Lebanon akan berubah," kata Fawaz, dikutip Reuters.
Namun, beberapa orang mengaku optimis Lebanon akan dapat berubah. Sebab, ledakan di Beirut menguak kelalaian pemerintah dan semakin membuka mata masyarakat. Keputusan yang berlawanan dengan masyarakat akan menyebabkan kekuasaan pemerintah runtuh dengan sendirinya. (Baca juga: Tersingkir dari Komisaris BUMN, Relawan Jokowi seperti Kehilangan Induk)
Bahkan, saat ini, masyarakat Lebanon menumpahkan kemarahannya di berbagai media. Sebagian besar dari mereka menyalahkan pemerintah yang dianggap lalai menyimpan 2.750 ton amonium nitrat selama enam tahun tanpa dilindungi sistem keamanan yang memadai. Mereka bahkan meminta pemimpin mereka digantung mati.
Sebagai negara yang memiliki sejarah panjang dengan Prancis, Presiden Prancis Emmanuel Macron telah mengunjungi lokasi ledakan di Beirur, Lebanon. Di sana, dia bertemu dengan masyatakat lokal yang meminta agar Prancis dapat membebaskan mereka dari pemerintah saat ini.
"Saya ke sini untuk memberikan bantuan makanan dan obat-obatan. Kami akan memastikan bantuan ini sampai ke tangan orang-orang yang terdampak ledakan," kata Macron. "Namun, kami tak menyangkal Lebanon perlu membangun sistem politik baru untuk memajukan Lebanon dan melakukan reformasi di berbagai sektor," tambahnya. (Lihat videonya: Meneguk Sejarah Panjang Indonesia dalam Secangkir Kopi)
Skala kehancuran yang menimpa Lebanon mempertaruhkan karier politik PM Hassan Diab. Dia kini membentuk komite penyelidikan untuk mencari tahu penyebab ledakan. (Muh Shamil)
"Hari ini (Senin waktu lokal), kami akan turut bersama rakyat untuk menyeret mereka yang bertanggung jawab di balik ledakan di Beirut," ujar Diab, dikutip Reuters. "Korupsi telah mengakar hingga ke pejabat kecil daerah dan saya sadar korupsi merusak negara dan merugikan rakyat."
Kemunduran Diab membuat situasi politik Lebanon kian rumit. Sebab, Diab merupakan salah satu tokoh besar organisasi keagamaan setempat dan menjadi orang yang menekan perundingan peminjaman dana dari Dana Moneter Internasional (IMF). (Baca: Pemerintahan Lebanon Bubar di Tengah Kemarahan Publik)
Presiden Lebanon Michel Aoun menerima kemunduran Diab dengan lapang dada. Namun, dia meminta Diab menjadi pelaksana tugas PM sebelum pemerintahan baru terbentuk. Diab diangkat menjadi PM sejak Januari lalu setelah mendapatkan dukungan kuat dari kelompok Hezbollah dan sekutunya.
Sampai kemarin, sebagian rakyat Lebanon masih menggelar unjuk rasa untuk ketiga harinya di Beirut. Mereka sempat terlibat bentrok dengan polisi setelah beberapa pengunjuk rasa melemparkan batu kepada petugas. Polisi pun menembakkan gas air mata sebagai bentuk perlawanan.
Sebagian besar rakyat Lebanon menilai ledakan du Beirut merupakan buah dari korupsi dan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negara. Mereka mendesak agar pemerintah sekarang lengser dan digantikan pemimpin baru yang dapat dipercaya rakyat. Selain itu, sistemnya perlu diubah.
"Pasalnya, percuma memiliki pemimpin baru kalau sistemnya masih sama. Kami perlu menggelar pemilihan umum," ujar Joe Haddad, warga lokal. Sesuai peraturan pemerintah saat ini, posisi Diab juga dapat langsung diganti setelah Aoun memperoleh persetujuan dari Parlemen. (Baca juga: Jadi Lumbung Cukai, Kemenperin: Industri Rokok Perlu Diselamatkan)
Namun, menilik kondisi sekarang, pergantian kabinet kemungkinan memerlukan waktu panjang. Sebab, sama seperti saat Diab diangkat menjadi PM, tidak ada seorang pun yang mau menduduki kursi jabatan itu. Sebab, sebagian besar kandidat takut menjadi bulan-bulanan massa mengingat situasinya sedang buruk.
Kursi kepemimpinan Lebanon sejak perang sipil 1975-1990 banyak diduduki komandan perang dan militer. Sebagian besar dari mereka tidak terkalahkan mengingat adanya sistem bagi-bagi "jatah" kekuasaan dan aturan pemilu yang mendukung keberlangsungan karier politik mereka.
Sebagian rakyat Lebanon menentang keras sistem politik tersebut dan beberapa kali melakukan perlawanan dengan mengangkat senjata, termasuk pembunuhan Perdana Menteri Rafik Hariri sekitar 15 tahun yang lalu. Belakangan ini, masyarakat juga melakukan unjuk rasa selama krisis ekonomi dan krisis pangan.
Fawaz Gerges, profesor politik Timur Tengah dari London School of Economics, mengatakan kepentingan para politisi Lebanon sudah mengakar di dalam sistem pemerintahan Lebanon. "Saya sendiri pesimis elite politik di dalam institusi Lebanon akan berubah," kata Fawaz, dikutip Reuters.
Namun, beberapa orang mengaku optimis Lebanon akan dapat berubah. Sebab, ledakan di Beirut menguak kelalaian pemerintah dan semakin membuka mata masyarakat. Keputusan yang berlawanan dengan masyarakat akan menyebabkan kekuasaan pemerintah runtuh dengan sendirinya. (Baca juga: Tersingkir dari Komisaris BUMN, Relawan Jokowi seperti Kehilangan Induk)
Bahkan, saat ini, masyarakat Lebanon menumpahkan kemarahannya di berbagai media. Sebagian besar dari mereka menyalahkan pemerintah yang dianggap lalai menyimpan 2.750 ton amonium nitrat selama enam tahun tanpa dilindungi sistem keamanan yang memadai. Mereka bahkan meminta pemimpin mereka digantung mati.
Sebagai negara yang memiliki sejarah panjang dengan Prancis, Presiden Prancis Emmanuel Macron telah mengunjungi lokasi ledakan di Beirur, Lebanon. Di sana, dia bertemu dengan masyatakat lokal yang meminta agar Prancis dapat membebaskan mereka dari pemerintah saat ini.
"Saya ke sini untuk memberikan bantuan makanan dan obat-obatan. Kami akan memastikan bantuan ini sampai ke tangan orang-orang yang terdampak ledakan," kata Macron. "Namun, kami tak menyangkal Lebanon perlu membangun sistem politik baru untuk memajukan Lebanon dan melakukan reformasi di berbagai sektor," tambahnya. (Lihat videonya: Meneguk Sejarah Panjang Indonesia dalam Secangkir Kopi)
Skala kehancuran yang menimpa Lebanon mempertaruhkan karier politik PM Hassan Diab. Dia kini membentuk komite penyelidikan untuk mencari tahu penyebab ledakan. (Muh Shamil)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda