Filipina Perluas Kehadiran Militer AS di Tengah Keagresifan China
Selasa, 02 Januari 2024 - 10:01 WIB
Baru-baru ini, militer AS telah memperoleh akses ke dua lokasi tambahan di dekat Taiwan dan satu lokasi yang menghadap Laut China Selatan. Jumlah totalnya kini mencakup sembilan lokasi strategis di seluruh Filipina.
Latar belakang sejarah hubungan AS-Filipina menambah kompleksitas perkembangan terkini. Sebagian wilayah Filipina diperintah AS dari tahun 1898 hingga 1946, sebelum negara tersebut memperoleh kemerdekaan. Pada 1951, kedua negara menyetujui perjanjian pertahanan bersama, yang membentuk aliansi perjanjian pertahanan AS tertua di Asia.
AS mempertahankan kehadiran militer permanen di Filipina hingga awal tahun 1990-an ketika pangkalan terakhirnya dipindahkan, sejalan dengan oposisi dalam negeri dan kekhawatiran atas kedaulatan Filipina.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Filipina telah mengkalibrasi ulang pendiriannya, dan secara bertahap menyambut kembali kunjungan pasukan AS melalui perjanjian bilateral, termasuk EDCA. Pergeseran ini semakin intensif di bawah kepemimpinan Presiden Ferdinand Marcos Jr, yang mulai menjabat pada tahun 2022, mengarahkan negara tersebut ke arah yang lebih dekat dengan Amerika Serikat.
Pentingnya strategis kolaborasi ini menjadi jelas di tengah meningkatnya ketegangan regional. Menanggapi meningkatnya ketegasan dan gangguan yang dilakukan China terhadap kapal-kapal Filipina di Laut China Selatan, Filipina mengambil langkah-langkah untuk memperkuat kemampuan pertahanannya. Kekhawatiran mengenai potensi konflik di Taiwan, ditambah dengan retorika China yang agresif, telah meningkatkan kewaspadaan Manila.
Lokasi EDCA, terutama yang berada di wilayah utara, dipandang penting tidak hanya untuk modernisasi militer, tetapi juga pencegah tujuan ekspansionis China. Dengan bergilirnya pasukan Amerika di Filipina, negara ini menjadi hambatan besar bagi aspirasi China, terutama ketika Beijing berupaya memperluas pengaruhnya melampaui rangkaian pulau pertama, yang meliputi Taiwan dan Filipina.
Jonathan Malaya, Asisten Direktur Jenderal Dewan Keamanan Nasional Filipina, menggarisbawahi pentingnya kehadiran militer kuat di tengah sengketa wilayah dengan China. Potensi pasukan AS untuk bertindak sebagai alat pencegah semakin penting, terutama ketika China meningkatkan ambisi regionalnya.
Pertengkaran baru-baru ini antara Filipina dan Duta Besar China Huang Xilian menambah kerumitan lain. Saat mengkritik perjanjian EDCA, Huang mengeluarkan ancaman terselubung, menghubungkan sikap Filipina terhadap kemerdekaan Taiwan dengan nasib ribuan pekerja Filipina di luar negeri yang berada di Taiwan. Perselisihan diplomatik ini menggarisbawahi beragamnya tantangan geopolitik yang dihadapi Filipina.
Namun, tidak semua pemangku kepentingan memandang positif kehadiran militer AS. Manuel Mamba, Gubernur Provinsi Cagayan, tempat dua lokasi EDCA berada, mengemukakan kesamaan sejarah. Dia mengungkapkan keprihatinannya mengenai pasukan asing di wilayah Filipina, yang mirip dengan serangan terhadap Pearl Harbor setelah kehadiran pasukan AS di wilayah tersebut.
Latar belakang sejarah hubungan AS-Filipina menambah kompleksitas perkembangan terkini. Sebagian wilayah Filipina diperintah AS dari tahun 1898 hingga 1946, sebelum negara tersebut memperoleh kemerdekaan. Pada 1951, kedua negara menyetujui perjanjian pertahanan bersama, yang membentuk aliansi perjanjian pertahanan AS tertua di Asia.
AS mempertahankan kehadiran militer permanen di Filipina hingga awal tahun 1990-an ketika pangkalan terakhirnya dipindahkan, sejalan dengan oposisi dalam negeri dan kekhawatiran atas kedaulatan Filipina.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Filipina telah mengkalibrasi ulang pendiriannya, dan secara bertahap menyambut kembali kunjungan pasukan AS melalui perjanjian bilateral, termasuk EDCA. Pergeseran ini semakin intensif di bawah kepemimpinan Presiden Ferdinand Marcos Jr, yang mulai menjabat pada tahun 2022, mengarahkan negara tersebut ke arah yang lebih dekat dengan Amerika Serikat.
Pentingnya strategis kolaborasi ini menjadi jelas di tengah meningkatnya ketegangan regional. Menanggapi meningkatnya ketegasan dan gangguan yang dilakukan China terhadap kapal-kapal Filipina di Laut China Selatan, Filipina mengambil langkah-langkah untuk memperkuat kemampuan pertahanannya. Kekhawatiran mengenai potensi konflik di Taiwan, ditambah dengan retorika China yang agresif, telah meningkatkan kewaspadaan Manila.
Lokasi EDCA, terutama yang berada di wilayah utara, dipandang penting tidak hanya untuk modernisasi militer, tetapi juga pencegah tujuan ekspansionis China. Dengan bergilirnya pasukan Amerika di Filipina, negara ini menjadi hambatan besar bagi aspirasi China, terutama ketika Beijing berupaya memperluas pengaruhnya melampaui rangkaian pulau pertama, yang meliputi Taiwan dan Filipina.
Jonathan Malaya, Asisten Direktur Jenderal Dewan Keamanan Nasional Filipina, menggarisbawahi pentingnya kehadiran militer kuat di tengah sengketa wilayah dengan China. Potensi pasukan AS untuk bertindak sebagai alat pencegah semakin penting, terutama ketika China meningkatkan ambisi regionalnya.
Integritas Wilayah Filipina
Pertengkaran baru-baru ini antara Filipina dan Duta Besar China Huang Xilian menambah kerumitan lain. Saat mengkritik perjanjian EDCA, Huang mengeluarkan ancaman terselubung, menghubungkan sikap Filipina terhadap kemerdekaan Taiwan dengan nasib ribuan pekerja Filipina di luar negeri yang berada di Taiwan. Perselisihan diplomatik ini menggarisbawahi beragamnya tantangan geopolitik yang dihadapi Filipina.
Namun, tidak semua pemangku kepentingan memandang positif kehadiran militer AS. Manuel Mamba, Gubernur Provinsi Cagayan, tempat dua lokasi EDCA berada, mengemukakan kesamaan sejarah. Dia mengungkapkan keprihatinannya mengenai pasukan asing di wilayah Filipina, yang mirip dengan serangan terhadap Pearl Harbor setelah kehadiran pasukan AS di wilayah tersebut.
tulis komentar anda