Pemimpin Korut Kim Jong-un Tegaskan Penyatuan Korea Mustahil
Senin, 01 Januari 2024 - 13:30 WIB
PYONGYANG - Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un menegaskan tidak mungkin mencapai reunifikasi antara Pyongyang dan Seoul karena prinsip Korea Selatan (Korsel) bertentangan dengan prinsip negaranya.
Saat menyampaikan pidato pada pertemuan Partai Pekerja yang berkuasa, Kim mengatakan hubungan kedua negara telah menjadi “saling bermusuhan” dan tidak lagi “sehubungan dengan satu sama lain atau homogen,” menurut laporan Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) pada Minggu (31/12/2023).
Kim menyatakan, “Pendekatan Pyongyang terhadap reunifikasi nasional berdasarkan satu bangsa dan satu negara dengan dua sistem sangat bertentangan dengan penyatuan melalui penyerapan dan penyatuan di bawah demokrasi liberal yang dilakukan Seoul.”
“Korea Selatan saat ini merupakan negara bawahan kolonial yang politiknya benar-benar rusak dan pertahanan serta keamanannya sepenuhnya bergantung pada AS,” menurut kantor berita tersebut, mengutip Kim.
Kim mengatakan Washington telah mengubah Seoul menjadi pangkalan militer dan gudang senjata nuklirnya, dan jumlah latihan militer gabungan antara AS, Korea Selatan, dan Jepang pada tahun 2023 meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Dia mengatakan fakta ini “dengan jelas menunjukkan” AS bermaksud melakukan konfrontasi militer.
Kim berpendapat “perang bisa pecah” di Semenanjung Korea kapan saja karena “tindakan musuh yang sembrono.”
“Jika Washington dan Seoul mencoba melakukan konfrontasi militer dengan Pyongyang, pencegahan perang nuklirnya akan berubah menjadi tindakan yang serius tanpa ragu-ragu,” tegas Kim.
Sikap Kim tersebut menyusul pernyataan Korea Utara pada Rabu bahwa situasi militer di semenanjung Korea telah menjadi “ekstrim” karena tindakan konfrontatif yang “belum pernah terjadi sebelumnya” oleh Amerika Serikat dan sekutu regionalnya.
Pada 2018, Korea Utara dan Selatan menandatangani Perjanjian Militer Komprehensif (CMA), setuju “menghentikan sepenuhnya semua tindakan permusuhan terhadap satu sama lain.”
Namun, bulan lalu, Seoul menghentikan sebagian dari kegiatan tersebut dan melanjutkan pengawasan udara.
Sebagai tanggapan, Pyongyang berjanji memulihkan semua tindakan yang ditangguhkan sejak 2018.
Semenanjung Korea terpecah pada 1953 setelah gencatan senjata ditandatangani, menghentikan permusuhan antara Utara dan Selatan yang telah dimulai tiga tahun sebelumnya. Secara teknis, Pyongyang dan Seoul masih berperang.
Saat menyampaikan pidato pada pertemuan Partai Pekerja yang berkuasa, Kim mengatakan hubungan kedua negara telah menjadi “saling bermusuhan” dan tidak lagi “sehubungan dengan satu sama lain atau homogen,” menurut laporan Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) pada Minggu (31/12/2023).
Kim menyatakan, “Pendekatan Pyongyang terhadap reunifikasi nasional berdasarkan satu bangsa dan satu negara dengan dua sistem sangat bertentangan dengan penyatuan melalui penyerapan dan penyatuan di bawah demokrasi liberal yang dilakukan Seoul.”
“Korea Selatan saat ini merupakan negara bawahan kolonial yang politiknya benar-benar rusak dan pertahanan serta keamanannya sepenuhnya bergantung pada AS,” menurut kantor berita tersebut, mengutip Kim.
Kim mengatakan Washington telah mengubah Seoul menjadi pangkalan militer dan gudang senjata nuklirnya, dan jumlah latihan militer gabungan antara AS, Korea Selatan, dan Jepang pada tahun 2023 meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Dia mengatakan fakta ini “dengan jelas menunjukkan” AS bermaksud melakukan konfrontasi militer.
Kim berpendapat “perang bisa pecah” di Semenanjung Korea kapan saja karena “tindakan musuh yang sembrono.”
“Jika Washington dan Seoul mencoba melakukan konfrontasi militer dengan Pyongyang, pencegahan perang nuklirnya akan berubah menjadi tindakan yang serius tanpa ragu-ragu,” tegas Kim.
Sikap Kim tersebut menyusul pernyataan Korea Utara pada Rabu bahwa situasi militer di semenanjung Korea telah menjadi “ekstrim” karena tindakan konfrontatif yang “belum pernah terjadi sebelumnya” oleh Amerika Serikat dan sekutu regionalnya.
Pada 2018, Korea Utara dan Selatan menandatangani Perjanjian Militer Komprehensif (CMA), setuju “menghentikan sepenuhnya semua tindakan permusuhan terhadap satu sama lain.”
Namun, bulan lalu, Seoul menghentikan sebagian dari kegiatan tersebut dan melanjutkan pengawasan udara.
Sebagai tanggapan, Pyongyang berjanji memulihkan semua tindakan yang ditangguhkan sejak 2018.
Semenanjung Korea terpecah pada 1953 setelah gencatan senjata ditandatangani, menghentikan permusuhan antara Utara dan Selatan yang telah dimulai tiga tahun sebelumnya. Secara teknis, Pyongyang dan Seoul masih berperang.
(sya)
tulis komentar anda