Kisah Menyayat Hati, Keluarga Palestina Ogah Tinggalkan Rumah yang Hancur Dibom Israel
Selasa, 28 November 2023 - 09:55 WIB
"Pendudukan (Israel) datang dari banyak negara. Mereka semua adalah tentara bayaran dan tidak memiliki tanah air. Tidak ada kemungkinan bagi kami untuk meninggalkan tanah kami, meskipun terjadi kehancuran," imbuh Khaled.
“Pendudukan menghancurkan rumah kami, dan saya berharap perang akan berakhir. Semua mainan saya hilang,” kata Youssef, anak kecil di rumah tersebut.
Siham, sang istri, berkata: “Kami tinggal di sebagian kecil sisa ruangan rumah. Kami memasak makanan di atas api.”
"Tidak ada air atau rumah untuk tinggal, dan musim dingin akan segera tiba. Kami tidak tahu bagaimana beradaptasi dan hidup," keluh Siham.
“Gencatan senjata kemanusiaan tidak cukup untuk meringankan penderitaan masyarakat. Kami berharap perdamaian dan stabilitas akan kembali dalam kehidupan kami,” paparnya.
Pada hari Jumat, jeda kemanusiaan ditetapkan selama empat hari antara Israel dan Hamas mulai berlaku pada pukul 07.00 pagi waktu setempat.
Perjanjian jeda kemanusiaan tersebut mencakup pembebasan total 50 sandera Israel dari Gaza dengan imbalan pembebasan 150 warga Palestina dari penjara Israel. Itu disertai dengan masuknya ratusan truk bermuatan bantuan kemanusiaan, bantuan medis, dan bahan bakar ke seluruh wilayah Jalur Gaza.
Perang di Gaza pecah sejak 7 Oktober setelah Hamas meluncurkan serangan besar ke Israel selatan, yang diberi nama Operasi Badai al-Qassam. Menurut pemerintah Israel, sekitar 1.200 orang tewas dan 240 lainnya disandera.
Israel kemudian membombardir Gaza nyaris tanpa henti dan ditambah dengan operasi darat. Hampir 15.000 warga Palestina tewas akibat pengeboman dan tembakan artileri Israel, termasuk 6.150 anak-anak dan lebih dari 4.000 wanita.
Sementara itu, sebuah lembaga yang bekerja untuk anak, Save the Children, melaporkan bahwa anak-anak Palestina di Gaza terus-menerus hidup dalam ketakutan akan nyawa mereka karena meningkatnya ketegangan.
“Pendudukan menghancurkan rumah kami, dan saya berharap perang akan berakhir. Semua mainan saya hilang,” kata Youssef, anak kecil di rumah tersebut.
Siham, sang istri, berkata: “Kami tinggal di sebagian kecil sisa ruangan rumah. Kami memasak makanan di atas api.”
"Tidak ada air atau rumah untuk tinggal, dan musim dingin akan segera tiba. Kami tidak tahu bagaimana beradaptasi dan hidup," keluh Siham.
“Gencatan senjata kemanusiaan tidak cukup untuk meringankan penderitaan masyarakat. Kami berharap perdamaian dan stabilitas akan kembali dalam kehidupan kami,” paparnya.
Pada hari Jumat, jeda kemanusiaan ditetapkan selama empat hari antara Israel dan Hamas mulai berlaku pada pukul 07.00 pagi waktu setempat.
Perjanjian jeda kemanusiaan tersebut mencakup pembebasan total 50 sandera Israel dari Gaza dengan imbalan pembebasan 150 warga Palestina dari penjara Israel. Itu disertai dengan masuknya ratusan truk bermuatan bantuan kemanusiaan, bantuan medis, dan bahan bakar ke seluruh wilayah Jalur Gaza.
Perang di Gaza pecah sejak 7 Oktober setelah Hamas meluncurkan serangan besar ke Israel selatan, yang diberi nama Operasi Badai al-Qassam. Menurut pemerintah Israel, sekitar 1.200 orang tewas dan 240 lainnya disandera.
Israel kemudian membombardir Gaza nyaris tanpa henti dan ditambah dengan operasi darat. Hampir 15.000 warga Palestina tewas akibat pengeboman dan tembakan artileri Israel, termasuk 6.150 anak-anak dan lebih dari 4.000 wanita.
Sementara itu, sebuah lembaga yang bekerja untuk anak, Save the Children, melaporkan bahwa anak-anak Palestina di Gaza terus-menerus hidup dalam ketakutan akan nyawa mereka karena meningkatnya ketegangan.
tulis komentar anda