Rudal dan Drone Dicuri dari Pangkalan AS di Irak dan Suriah
Senin, 27 November 2023 - 21:15 WIB
BAGHDAD - Investigasi militer yang diluncurkan awal tahun ini mengungkap pangkalan Amerika Serikat (AS) di Irak dan Suriah telah menjadi sasaran pencurian dengan “berbagai senjata dan peralatan sensitif” yang hilang.
Laporan The Intercept pada Minggu (26/11/2023), mengutip dokumen eksklusif mencatat kehadiran militer AS di kedua negara tidak mampu mengamankan peralatannya, apalagi personel.
Hal ini terjadi di tengah meningkatnya serangan rudal dan drone terhadap pangkalan AS di Irak dan Suriah dari faksi perlawanan Irak yang didukung Iran.
Serangan milisi Irak itu sebagai balasan terhadap perang genosida Israel yang didukung AS terhadap Gaza yang diluncurkan bulan lalu.
Sejak saat itu, AS telah meningkatkan serangannya sebagai tanggapan, termasuk “serangan presisi” terhadap “fasilitas pelatihan dan rumah persembunyian” di Suriah, yang diduga digunakan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran.
Laporan tersebut mencatat meskipun pangkalan-pangkalan AS di Irak dan Suriah beroperasi untuk melakukan “misi kontra-ISIS,” pangkalan-pangkalan tersebut juga berfungsi “terutama sebagai penghalang terhadap Iran.”
Awal tahun ini, outlet tersebut mengungkapkan peralatan artileri AS, “sistem senjata” dan amunisi khusus senilai ratusan ribu dolar telah dicuri, dan beberapa di antaranya berakhir di tangan organisasi teroris, termasuk Daesh (ISIS).
Dokumen terbaru tentang pencurian di Irak, tidak pernah dipublikasikan oleh militer AS dan ditemukan dalam file investigasi kriminal yang diperoleh melalui Freedom of Information Act.
Penemuan ini juga merupakan bukti terbaru bahwa pos-pos militer AS di wilayah tersebut dan di belahan dunia lain “menjadi sasaran yang menggoda bagi para penjahat.”
“Kita cenderung tidak berpikir cukup kritis mengenai dampak riak dari jejak militer AS yang begitu luas,” ungkap Stephanie Savell, salah satu direktur Costs of War Project di Brown University, seperti dikutip The Intercept.
“Apa yang disebut perang melawan teror belum berakhir, ini hanya satu perubahan. Dan kita dapat memahami pencurian senjata ini hanya sebagai salah satu dari banyak dampak politik dari kampanye yang sedang berlangsung,” ungkap dia.
Awal pekan ini, Wakil Sekretaris Pers Pentagon, Sabrina Singh mengatakan pasukan AS di Irak dan Suriah telah diserang sebanyak 66 kali sejak 17 Oktober, dan personel AS menderita sekitar 62 orang terluka. Dari total serangan, 34 terjadi di Suriah dan 32 di Irak.
Laporan The Intercept pada Minggu (26/11/2023), mengutip dokumen eksklusif mencatat kehadiran militer AS di kedua negara tidak mampu mengamankan peralatannya, apalagi personel.
Hal ini terjadi di tengah meningkatnya serangan rudal dan drone terhadap pangkalan AS di Irak dan Suriah dari faksi perlawanan Irak yang didukung Iran.
Serangan milisi Irak itu sebagai balasan terhadap perang genosida Israel yang didukung AS terhadap Gaza yang diluncurkan bulan lalu.
Sejak saat itu, AS telah meningkatkan serangannya sebagai tanggapan, termasuk “serangan presisi” terhadap “fasilitas pelatihan dan rumah persembunyian” di Suriah, yang diduga digunakan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran.
Laporan tersebut mencatat meskipun pangkalan-pangkalan AS di Irak dan Suriah beroperasi untuk melakukan “misi kontra-ISIS,” pangkalan-pangkalan tersebut juga berfungsi “terutama sebagai penghalang terhadap Iran.”
Awal tahun ini, outlet tersebut mengungkapkan peralatan artileri AS, “sistem senjata” dan amunisi khusus senilai ratusan ribu dolar telah dicuri, dan beberapa di antaranya berakhir di tangan organisasi teroris, termasuk Daesh (ISIS).
Baca Juga
Dokumen terbaru tentang pencurian di Irak, tidak pernah dipublikasikan oleh militer AS dan ditemukan dalam file investigasi kriminal yang diperoleh melalui Freedom of Information Act.
Penemuan ini juga merupakan bukti terbaru bahwa pos-pos militer AS di wilayah tersebut dan di belahan dunia lain “menjadi sasaran yang menggoda bagi para penjahat.”
“Kita cenderung tidak berpikir cukup kritis mengenai dampak riak dari jejak militer AS yang begitu luas,” ungkap Stephanie Savell, salah satu direktur Costs of War Project di Brown University, seperti dikutip The Intercept.
“Apa yang disebut perang melawan teror belum berakhir, ini hanya satu perubahan. Dan kita dapat memahami pencurian senjata ini hanya sebagai salah satu dari banyak dampak politik dari kampanye yang sedang berlangsung,” ungkap dia.
Awal pekan ini, Wakil Sekretaris Pers Pentagon, Sabrina Singh mengatakan pasukan AS di Irak dan Suriah telah diserang sebanyak 66 kali sejak 17 Oktober, dan personel AS menderita sekitar 62 orang terluka. Dari total serangan, 34 terjadi di Suriah dan 32 di Irak.
(sya)
tulis komentar anda