AS Selidiki Klaim China Bantu Saudi Kembangkan Senjata Nuklir
Jum'at, 07 Agustus 2020 - 06:21 WIB
Kedua kesepakatan itu menyusul pakta 2012 yang diumumkan antara Riyadh dan Beijing untuk bekerja sama dalam penggunaan energi nuklir secara damai.
Para analis mengatakan bahwa Arab Saudi mulai melakukan perubahan ke arah kerja sama nuklir dengan China, daripada sekutu tradisionalnya AS, karena kerajaan itu telah kehilangan kepercayaan pada kemampuan Washington untuk melawan Iran.
"Mereka percaya bahwa sebagai hasil dari JCPOA, mereka tidak dapat mengandalkan siapa pun yang mengekang Iran, dan mereka harus menghalangi Iran sendiri," Rolf Mowatt-Larssen, direktur intelijen dan kontraintelijen di Departemen Energi, kepada New York Times yang dinukil Middle East Eye, Jumat (7/8/2020).
Arab Saudi juga belum menandatangani pembatasan AS yang sama yang dimiliki negara lain, dan Riyadh saat ini memiliki perjanjian perlindungan terbatas dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) serta tidak berkewajiban untuk mengungkapkan situsnya kepada pengawas nuklir.
Pada awal tahun ini, lebih dari 150 negara, termasuk Iran dan AS, telah menandatangani protokol tambahan IAEA - jenis pengawasan paling canggih dari badan tersebut - yang melindungi dari penyebaran senjata nuklir.
Baik Arab Saudi maupun Israel belum menandatangani perjanjian pengawasan terbaru ini.
Robert Kelley, mantan inspektur badan tersebut, mengatakan kepada New York Times bahwa Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tidak senang tentang ketidakjelasan Riyadh terhadap "program mereka yang ada dan kemana arahnya".
Meskipun dia tidak berpikir bahwa pabrik pusat Saudi itu tidak biasa, dia yakin Riyadh dan Beijing mungkin bekerja sama dalam kegiatan rahasia lainnya.
"Saya yakin sepenuhnya bahwa Arab Saudi dan China secara aktif bekerja sama dalam rencana penambangan uranium dan produksi kue kuning," katanya menggunakan istilah lain dari nuklir.
Pekan lalu, anggota DPR dari Partai Demokrat, Adam Schiff memasukkan ketentuan dalam RUU otorisasi anggaran intelijen yang mensyaratkan pemerintahan Trump untuk menyerahkan laporan tentang upaya Saudi untuk mengembangkan program nuklir.
Para analis mengatakan bahwa Arab Saudi mulai melakukan perubahan ke arah kerja sama nuklir dengan China, daripada sekutu tradisionalnya AS, karena kerajaan itu telah kehilangan kepercayaan pada kemampuan Washington untuk melawan Iran.
"Mereka percaya bahwa sebagai hasil dari JCPOA, mereka tidak dapat mengandalkan siapa pun yang mengekang Iran, dan mereka harus menghalangi Iran sendiri," Rolf Mowatt-Larssen, direktur intelijen dan kontraintelijen di Departemen Energi, kepada New York Times yang dinukil Middle East Eye, Jumat (7/8/2020).
Arab Saudi juga belum menandatangani pembatasan AS yang sama yang dimiliki negara lain, dan Riyadh saat ini memiliki perjanjian perlindungan terbatas dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) serta tidak berkewajiban untuk mengungkapkan situsnya kepada pengawas nuklir.
Pada awal tahun ini, lebih dari 150 negara, termasuk Iran dan AS, telah menandatangani protokol tambahan IAEA - jenis pengawasan paling canggih dari badan tersebut - yang melindungi dari penyebaran senjata nuklir.
Baik Arab Saudi maupun Israel belum menandatangani perjanjian pengawasan terbaru ini.
Robert Kelley, mantan inspektur badan tersebut, mengatakan kepada New York Times bahwa Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tidak senang tentang ketidakjelasan Riyadh terhadap "program mereka yang ada dan kemana arahnya".
Meskipun dia tidak berpikir bahwa pabrik pusat Saudi itu tidak biasa, dia yakin Riyadh dan Beijing mungkin bekerja sama dalam kegiatan rahasia lainnya.
"Saya yakin sepenuhnya bahwa Arab Saudi dan China secara aktif bekerja sama dalam rencana penambangan uranium dan produksi kue kuning," katanya menggunakan istilah lain dari nuklir.
Pekan lalu, anggota DPR dari Partai Demokrat, Adam Schiff memasukkan ketentuan dalam RUU otorisasi anggaran intelijen yang mensyaratkan pemerintahan Trump untuk menyerahkan laporan tentang upaya Saudi untuk mengembangkan program nuklir.
tulis komentar anda