China Incar Kursi Hakim Internasional Sengketa Maritim, AS Menentangnya

Selasa, 04 Agustus 2020 - 14:33 WIB
Kawasan Laut China Selatan yang jadi sengketa China dan negara-negara Asia Tenggara. Foto/REUTERS
WASHINGTON - Beijing telah menominasikan seorang calon dari China untuk posisi hakim di pengadilan internasional yang menyelesaikan sengketa maritim. Namun, Amerika Serikat (AS) berusaha untuk menentangnya dengan alasan Beijing telah melanggar hukum laut internasional di Laut China Selatan yang disengketakan.

"Memilih seorang pejabat RRC untuk badan ini seperti menyewa seorang pelaku pembakaran untuk membantu menjalankan Departemen Pemadam Kebakaran," kata David Stilwell, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik, dalam forum online yang digelar Center for Strategic and International Studies (CSIS).

RRC adalah singkatan Republik Rakyat China, nama resmi negara tersebut. (Baca: AS: Klaim China atas Laut China Selatan Melanggar Hukum! )



“Kami mendesak semua negara yang terlibat dalam pemilihan (hakim) Tribunal Internasional yang akan datang untuk secara hati-hati menilai kredensial kandidat RRC dan mempertimbangkan apakah hakim RRC di pengadilan akan membantu atau menghalangi hukum maritim internasional. Dengan catatan Beijing, jawabannya harus jelas," ujarnya, seperti dikutip CNBC, Selasa (4/8/2020).

Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut dijadwalkan mengadakan pemilihan pada bulan Agustus atau September untuk memilih tujuh hakim untuk masa jabatan sembilan tahun.

Sebanyak 168 negara penandatangan Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UNCLOS akan memberikan suara mereka dalam pemilihan.

UNCLOS adalah perjanjian internasional yang menguraikan hak-hak dan tanggung jawab negara-negara di ruang laut dunia. Ini membentuk dasar bagaimana pengadilan internasional, seperti Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut, dan menyelesaikan sengketa maritim.

Pada tahun 2016, sidang di Pengadilan Arbitrase Permanen menolak klaim China atas hampir 90 persen Laut China Selatan sebagai klaim yang tidak berdasar sesuai dengan prinsip UNCLOS. China, yang merundingkan dan meratifikasi konvensi itu, menolak untuk menerima atau mengakui putusan itu.

Kali berikutnya kapal Penjaga Pantai China bermanuver di sekitar rig minyak yang dikelola Vietnam. Armada kapal penangkap ikan China juga muncul di perairan Natuna milik Indonesia. Rentetan kejadian itu akan menjami "amunisi" Amerika Serikat untuk berbicara lebih keras guna mengecam tindakan ilegal China tersebut.

China sendiri tidak gentar dengan retorika AS. Menurut Kementerian Luar Negeri China, Washington tidak diizinkan untuk memberikan suara dalam pemilihan pengadilan internasional mendatang karena belum meratifikasi konvensi. Poin ini dikemukakan juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, yang membantah argumen Stilwell.

"Sejauh ini, Amerika Serikat belum meratifikasi UNCLOS, tetapi selalu bertindak sebagai pembela," kata Hua pada konferensi pers reguler oleh kementeriannya Juli lalu setelah dia diminta untuk berkomentar. (Baca: China Balas Pompeo: Laut China Selatan Bukan Hawaii-nya AS )

"Hakim Pengadilan melakukan tugas mereka dalam kapasitas pribadi mereka," katanya, membela kandidat hakim dari negaranya sebagai orang yang "fasih dalam hukum internasional dan hukum laut".

Ini bukan pertama kalinya China mengajukan calon untuk pemilihan hakim Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut. Faktanya, tiga hakim China telah bertugas di badan peradilan ini sejak pemilihan pertama diadakan pada tahun 1996.

Namun AS menarik perhatian pada nominasi terbaru China karena memperkuat sikapnya terhadap "agresi" Beijing yang berkelanjutan di Laut China Selatan, jalur perairan kaya sumber daya yang merupakan jalur pelayaran vital untuk perdagangan global.

Komentar Stilwell di forum CSIS muncul sehari setelah Menteri Luar Negeri Michael Pompeo menyebut klaim China atas sumber daya lepas pantai di Laut China Selatan sepenuhnya melanggar hukum atau ilegal.

AS telah lama mempromosikan kebebasan navigasi melalui udara dan laut melintasi jalur perairan. Namun, China mengklaim hampir semua Laut China Selatan, sebuah wilayah yang mencakup sekitar 1,4 juta mil persegi, yang membentang dari Singapura ke Selat Taiwan.

China mendukung klaim dan kegiatannya di laut—termasuk pengeboran minyak dan membuat pulau buatan—dengan "nine-dash line" yang tidak jelas yang diklaimnya menggambarkan wilayah bersejarah China dalam peta-peta kuno.

Nine-dash line, yang jadi dasar China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan, tumpang tindih dengan klaim teritorial oleh beberapa negara sekitar Laut China Selatan. Dasar klaim China itu dipatahkan dalam putusan pengadilan arbitrase 2016.

Menurut UNCLOS, negara-negara pantai memiliki hak berdaulat atas sumber daya nasional dalam jarak 200 mil laut dari pantai mereka, dapat melakukan kegiatan ekonomi tertentu dan penelitian maritim di wilayah itu. Sedangkan wilayah yang ditandai oleh "nine-dash line" jauh melampaui 200 mil laut dari pantai China.

Para analis mengatakan sikap yang lebih keras oleh Washington terhadap Beijing di Laut China Selatan dapat mendorong penuntut lain untuk lebih tegas terhadap Beijing. Banyak penuntut teritorial adalah negara-negara Asia Tenggara yang lebih kecil seperti Vietnam dan Filipina, yang memiliki ikatan ekonomi yang kuat dengan China.

“Kali berikutnya kapal Penjaga Pantai China plays chicken dengan rig minyak di Vietnam atau armada kapal penangkap ikan China muncul di perairan Indonesia, Amerika Serikat kemungkinan akan berbicara lebih keras untuk mengecam tindakan ilegal,” kata Greg Poling, direktur Prakarsa Transparansi Maritim Asia di CSIS.

"Dan itu akan memiliki dampak yang lebih besar secara proporsional pada reputasi internasional China."
(min)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More