Rakyat Amerika Serikat Khawatirkan Kekuatan Berbahaya Raksasa Online
Senin, 03 Agustus 2020 - 10:35 WIB
WASHINGTON - Rakyat Amerika Serikat (AS) sudah mengkhawatirkan dominasi kekuatan perusahaan raksasa online seperti Amazon, Apple, Facebook, dan Google. Kekuatan mereka dikhawatirkan akan disalahgunakan untuk merugikan rakyat AS dan publik internasional. Namun, para pemimpin perusahaan raksasa itu menolak klaim tersebut, termasuk membantah kekuasaan untuk mematikan para pesaingnya.
Ada 72% orang dewasa meyakini bahwa perusahaan raksasa online terlalu memiliki “kekuatan dan pengaruh” dalam politik. Itu diungkapkan dalam survei yang dilaksanakan Pew Research pada Juni. Survei lain yang dilakukan Accountable Tech/GQR Research pada Juli lalu menemukan bahwa 85% rakyat AS meyakini bahwa perusahaan-perusahaan tersebut memiliki kekuatan yang terlalu besar.
Jajak pendapat Morning Consult pada Januari lalu menyebut 65% rkayat AS meyakini keuntungan perusahaan teknologi tidak disalurkan untuk pengguna sehingga mereka menjadi lebih kuat dibandingkan perusahaan kecil. Namun, masyarakat masih menikmati produk perusahaan tersebut seperti media sosial dan mesin pencari yang digunakan untuk berbelanja online. (Baca: Mampukah Peralatan Perang Era Soviet Iran Saingi Senjata Modern AS)
Sebagian rakyat AS yang direprentasikan perwakilan di parlemen menginginkan dominasi perusahaan AS itu diakhiri. Sebanyak 44,4% responden pada survei Center for Growth dan Opportunity/YouGov menyarankan pemerintah mengurangi kekuatan perusahaan raksasa tersebut. Survei yang sama juga diungkapkan Knight Foundation/Gallup yang menyebutkan intervensi pemerintah harus dilakukan dengan membuat regulasi teknologi.
Partai Demokrat menekan para perusahaan teknologi mengenai isu kompetisi yang tidak sehat. Para anggota parlemen Demokrat memandang perusahaan itu mengerdilkan bisnis yang lebih kecil. Itu menjadikan ekonomi semakin tidak kompetitif di AS. Penjelasannya, perusahaan besar bisa saja membeli kompetitor yang lebih kecil.
Di lain pihak, Partai Republik memprotes bagaimana perusahaan tersebut mengelola informasi dan memarginalkan pandangan konservatif. Selain itu, perusahaan teknologi itu juga dinilai tidak memiliki nilai patriotisme dan nasionalisme yang tinggi. Republik juga menilai mereka juga terlalu ramah dengan China. (Baca juga: Asyik, Token Listrik Gratis PLN Bulan Agustus Sudah Bisa Diklaim)
Presiden AS Donald Trump, yang menjadi musuh utama perusahaan teknologi raksasa, telah sejak lama mengeluhkan kekuatan besar tersebut. Dia pun meminta Kongres agar bisa mewujudkan keadilan bagi perusahaan teknologi raksasa tersebut yang seharusnya sudah diwujudkan beberapa tahun lalu. “Jika tidak mampu, saya akan melakukannya dengan Perintah Eksekutif,” ancamnya berulang kali. Dia mengungkapkan, jika tidak ada pertanyaan atau mempertanyakan perusahaan besar, maka hal itu sangatlah buruk.
Dalam pandangan analis teknologi Dan Ives dari Wedbush Securities, Kongres tidak akan mampu bersatu dalam membuat legislasi baru untuk menekan perusahaan besar tersebut. “Kita berpikir bahwa legislasi hanya akan menciptakan pembatasan terhadap perusahaan tersebut dalam melakukan bisnis atau hanya menciptakan pajak besar atau aturan baru terkait konsentrasi pasar,” katanya dilansir BBC. Tanpa adanya perbaikan legislasi, menurut Ives, tidak akan terjadi perubahan yang berarti.
Anggota Kongres David Cicilline dari Demokrat menyebutkan perusahaan online telah memiliki kekuatan yang destruktif dan melakukan strategi yang jahat dalam ekspansi. Mereka telah melakukan monopoli sehingga perlu tindakan. “Perlu adanya perubahan dan perlunya aturan,” katanya. (Baca juga: Koalisi Selamatkan Indonesia Imbas Tumpulnya Barisan Oposisi)
Bos Amazon Jeff Bezos mengungkapkan, dunia membutuhkan perusahaan besar. Sedangkan Apple, Facebook, dan Google beragumen bahwa perusahaan mereka mengutamakan inovasi. Itu hanya alasan yang dibuat mereka yang memiliki kapital dan tidak ingin dikontrol oleh negara. Sebagai negara kapitalis, siapa yang memiliki modal, maka akan menguasai kehidupan rakyat AS. Baik Mark Zuckerberg dari Facebook, Bezos dari Amazon, Sundar Pichai dari Google dan Tim Cook dari Apple bersikeras bahwa mereka tidak melakukan hal ilegal dan tetap menekankan akar Amerika sebagai nilai dalam menjalankan perusahaan.
Para anggota parlemen AS menuding Google mencuri konten yang diciptakan perusahaan kecil seperti Yelp. Mengenai tudingan pencurian konten, Pichai mengklaim Google memiliki standar yang tinggi.
Kemudian, Amazon memberikan perlakuan yang tidak adil kepada penjual di situsnya. Amazon dinilai memiliki permainan konflik kepentingan antara penjualnya dan rivalnya dengan menawarkan produk yang sama. Kebijakan Amazon itu juga disorot oleh otoritas di Eropa. “Amazon memiliki sikap yakniganda, yakni anti-kompetisi. Kongres harus bertindak,” kata Cecilline. (Lihat videonya: Satu Keluarga Makan Bersama di Bahu Jalan Tol Cipali Viral di Medsos)
Namun, tudingan konflik kepentingan tersebut dibantah oleh Jeff Bezos, pendiri Amazon. “Saya mengakui perusahaan memang mengkaji pengelolaan data penjualan dari penjual,” katanya. Dia mengungkapkan, perusahaannya melarang stafnya untuk melihat data penjual dari perusahaan individual, namun dia mengaku bisa saja pegawainya melanggar kebijakan itu. “Kita akan menyelidiki hal itu,” kata Bezos.
Mengenai akuisisi Facebook terhadap Instagram, Mark Zuckerberg mengungkapkan, saat dia membeli Instagram pada 2012 merupakan aplikasi berbagi foto yang berskala kecil, meskipun kini menjadi fenomena media sosial. “Kita selalu mengadaptasi fitur ketika pihak lain terus memimpin,” katanya. (Andika H Mustaqim)
Ada 72% orang dewasa meyakini bahwa perusahaan raksasa online terlalu memiliki “kekuatan dan pengaruh” dalam politik. Itu diungkapkan dalam survei yang dilaksanakan Pew Research pada Juni. Survei lain yang dilakukan Accountable Tech/GQR Research pada Juli lalu menemukan bahwa 85% rakyat AS meyakini bahwa perusahaan-perusahaan tersebut memiliki kekuatan yang terlalu besar.
Jajak pendapat Morning Consult pada Januari lalu menyebut 65% rkayat AS meyakini keuntungan perusahaan teknologi tidak disalurkan untuk pengguna sehingga mereka menjadi lebih kuat dibandingkan perusahaan kecil. Namun, masyarakat masih menikmati produk perusahaan tersebut seperti media sosial dan mesin pencari yang digunakan untuk berbelanja online. (Baca: Mampukah Peralatan Perang Era Soviet Iran Saingi Senjata Modern AS)
Sebagian rakyat AS yang direprentasikan perwakilan di parlemen menginginkan dominasi perusahaan AS itu diakhiri. Sebanyak 44,4% responden pada survei Center for Growth dan Opportunity/YouGov menyarankan pemerintah mengurangi kekuatan perusahaan raksasa tersebut. Survei yang sama juga diungkapkan Knight Foundation/Gallup yang menyebutkan intervensi pemerintah harus dilakukan dengan membuat regulasi teknologi.
Partai Demokrat menekan para perusahaan teknologi mengenai isu kompetisi yang tidak sehat. Para anggota parlemen Demokrat memandang perusahaan itu mengerdilkan bisnis yang lebih kecil. Itu menjadikan ekonomi semakin tidak kompetitif di AS. Penjelasannya, perusahaan besar bisa saja membeli kompetitor yang lebih kecil.
Di lain pihak, Partai Republik memprotes bagaimana perusahaan tersebut mengelola informasi dan memarginalkan pandangan konservatif. Selain itu, perusahaan teknologi itu juga dinilai tidak memiliki nilai patriotisme dan nasionalisme yang tinggi. Republik juga menilai mereka juga terlalu ramah dengan China. (Baca juga: Asyik, Token Listrik Gratis PLN Bulan Agustus Sudah Bisa Diklaim)
Presiden AS Donald Trump, yang menjadi musuh utama perusahaan teknologi raksasa, telah sejak lama mengeluhkan kekuatan besar tersebut. Dia pun meminta Kongres agar bisa mewujudkan keadilan bagi perusahaan teknologi raksasa tersebut yang seharusnya sudah diwujudkan beberapa tahun lalu. “Jika tidak mampu, saya akan melakukannya dengan Perintah Eksekutif,” ancamnya berulang kali. Dia mengungkapkan, jika tidak ada pertanyaan atau mempertanyakan perusahaan besar, maka hal itu sangatlah buruk.
Dalam pandangan analis teknologi Dan Ives dari Wedbush Securities, Kongres tidak akan mampu bersatu dalam membuat legislasi baru untuk menekan perusahaan besar tersebut. “Kita berpikir bahwa legislasi hanya akan menciptakan pembatasan terhadap perusahaan tersebut dalam melakukan bisnis atau hanya menciptakan pajak besar atau aturan baru terkait konsentrasi pasar,” katanya dilansir BBC. Tanpa adanya perbaikan legislasi, menurut Ives, tidak akan terjadi perubahan yang berarti.
Anggota Kongres David Cicilline dari Demokrat menyebutkan perusahaan online telah memiliki kekuatan yang destruktif dan melakukan strategi yang jahat dalam ekspansi. Mereka telah melakukan monopoli sehingga perlu tindakan. “Perlu adanya perubahan dan perlunya aturan,” katanya. (Baca juga: Koalisi Selamatkan Indonesia Imbas Tumpulnya Barisan Oposisi)
Bos Amazon Jeff Bezos mengungkapkan, dunia membutuhkan perusahaan besar. Sedangkan Apple, Facebook, dan Google beragumen bahwa perusahaan mereka mengutamakan inovasi. Itu hanya alasan yang dibuat mereka yang memiliki kapital dan tidak ingin dikontrol oleh negara. Sebagai negara kapitalis, siapa yang memiliki modal, maka akan menguasai kehidupan rakyat AS. Baik Mark Zuckerberg dari Facebook, Bezos dari Amazon, Sundar Pichai dari Google dan Tim Cook dari Apple bersikeras bahwa mereka tidak melakukan hal ilegal dan tetap menekankan akar Amerika sebagai nilai dalam menjalankan perusahaan.
Para anggota parlemen AS menuding Google mencuri konten yang diciptakan perusahaan kecil seperti Yelp. Mengenai tudingan pencurian konten, Pichai mengklaim Google memiliki standar yang tinggi.
Kemudian, Amazon memberikan perlakuan yang tidak adil kepada penjual di situsnya. Amazon dinilai memiliki permainan konflik kepentingan antara penjualnya dan rivalnya dengan menawarkan produk yang sama. Kebijakan Amazon itu juga disorot oleh otoritas di Eropa. “Amazon memiliki sikap yakniganda, yakni anti-kompetisi. Kongres harus bertindak,” kata Cecilline. (Lihat videonya: Satu Keluarga Makan Bersama di Bahu Jalan Tol Cipali Viral di Medsos)
Namun, tudingan konflik kepentingan tersebut dibantah oleh Jeff Bezos, pendiri Amazon. “Saya mengakui perusahaan memang mengkaji pengelolaan data penjualan dari penjual,” katanya. Dia mengungkapkan, perusahaannya melarang stafnya untuk melihat data penjual dari perusahaan individual, namun dia mengaku bisa saja pegawainya melanggar kebijakan itu. “Kita akan menyelidiki hal itu,” kata Bezos.
Mengenai akuisisi Facebook terhadap Instagram, Mark Zuckerberg mengungkapkan, saat dia membeli Instagram pada 2012 merupakan aplikasi berbagi foto yang berskala kecil, meskipun kini menjadi fenomena media sosial. “Kita selalu mengadaptasi fitur ketika pihak lain terus memimpin,” katanya. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
tulis komentar anda