China Diduga Retas Jaringan Pertahanan Sensitif Jepang sejak 2020
Kamis, 10 Agustus 2023 - 10:52 WIB
Setahun sebelum peristiwa 9/11, sebuah laporan oleh lembaga think tank yang didanai Pentagon mencatat bahwa terlepas dari pentingnya aliansi AS-Jepang, skema berbagi intelijen Washington dengan Tokyo jauh lebih sedikit dibanding dengan mitra-mitra NATO.
"Baik di dalam maupun di luar Asia, Jepang menghadapi ancaman yang lebih beragam dan tanggung jawab internasional yang lebih kompleks, dan membutuhkan intelijen yang memberikan pemahaman lebih baik tentang kebutuhan keamanan nasionalnya," bunyi laporan tersebut, yang ditulis oleh kelompok studi bipartisan termasuk pakar kebijakan luar negeri Richard Armitage dan Joseph Nye.
Laporan itu mendesak para pemimpin Jepang untuk membangun dukungan publik dan politik untuk undang-undang baru demi melindungi informasi rahasia.
"Orang Amerika tidak senang dengan betapa keroposnya komunitas intelijen Jepang," kata Samuels.
"Mereka pun hanya berbagi lebih sedikit (data intelijen dengan Jepang). Di saat Jepang membutuhkan intelijen yang lebih banyak dan lebih baik dari sekutunya yang kuat, Jepang tidak mendapatkan semua yang dibutuhkan, dan dikatakan bahwa itu karena komunitas intelijen Anda bocor. Jika Anda memperketatnya, kita dapat menjalankan skema pertukaran yang lebih lengkap dan lebih kuat," sambungnya.
Salah satu yang paling menanggapi serius pesan tersebut adalah Shinzo Abe, keturunan keluarga politik terkemuka dan politikus yang pernah dua kali menjadi perdana menteri. Abe, lebih dari pemimpin politik modern Jepang mana pun, membuka jalan bagi reformasi keamanan di Tokyo.
Selama masa jabatan keduanya sebagai perdana menteri pada awal hingga pertengahan 2010-an, dia memicu perubahan. Parlemen mengesahkan undang-undang rahasia negara yang menetapkan hukuman berat bagi kesalahan penanganan dokumen dan pembocoran informasi. Abe membentuk Dewan Keamanan Nasional, sebagian meniru versi AS, untuk menasihati perdana menteri.
Aktivis antiperang dan kebebasan sipil memprotes reformasi tersebut, mengklaim bahwa mereka melanggar hak privasi dan menyuarakan keprihatinan tentang negara keamanan nasional yang berkembang.
Namun pada tahun 2013, ketika undang-undang tersebut disahkan, lanskap geopolitik telah bergeser. Publik telah melihat bahwa komitmen nominal selama beberapa dekade untuk membela diri hanya membuat Beijing semakin berani.
China telah secara agresif menanggapi nasionalisasi Kepulauan Senkaku oleh Jepang, membanjiri perairan lepas pulau dengan kapal Penjaga Pantai dan milisi maritim. Di Laut China Selatan, Beijing mengubah pulau-pulau terpencil menjadi pos-pos militer. Presiden China Xi Jinping kemudian berkuasa, dan ia mempercepat modernisasi militer besar-besaran. Sementara itu, Korea Utara terus melakukan uji coba nuklir yang provokatif.
"Baik di dalam maupun di luar Asia, Jepang menghadapi ancaman yang lebih beragam dan tanggung jawab internasional yang lebih kompleks, dan membutuhkan intelijen yang memberikan pemahaman lebih baik tentang kebutuhan keamanan nasionalnya," bunyi laporan tersebut, yang ditulis oleh kelompok studi bipartisan termasuk pakar kebijakan luar negeri Richard Armitage dan Joseph Nye.
Laporan itu mendesak para pemimpin Jepang untuk membangun dukungan publik dan politik untuk undang-undang baru demi melindungi informasi rahasia.
"Orang Amerika tidak senang dengan betapa keroposnya komunitas intelijen Jepang," kata Samuels.
"Mereka pun hanya berbagi lebih sedikit (data intelijen dengan Jepang). Di saat Jepang membutuhkan intelijen yang lebih banyak dan lebih baik dari sekutunya yang kuat, Jepang tidak mendapatkan semua yang dibutuhkan, dan dikatakan bahwa itu karena komunitas intelijen Anda bocor. Jika Anda memperketatnya, kita dapat menjalankan skema pertukaran yang lebih lengkap dan lebih kuat," sambungnya.
Salah satu yang paling menanggapi serius pesan tersebut adalah Shinzo Abe, keturunan keluarga politik terkemuka dan politikus yang pernah dua kali menjadi perdana menteri. Abe, lebih dari pemimpin politik modern Jepang mana pun, membuka jalan bagi reformasi keamanan di Tokyo.
Selama masa jabatan keduanya sebagai perdana menteri pada awal hingga pertengahan 2010-an, dia memicu perubahan. Parlemen mengesahkan undang-undang rahasia negara yang menetapkan hukuman berat bagi kesalahan penanganan dokumen dan pembocoran informasi. Abe membentuk Dewan Keamanan Nasional, sebagian meniru versi AS, untuk menasihati perdana menteri.
Aktivis antiperang dan kebebasan sipil memprotes reformasi tersebut, mengklaim bahwa mereka melanggar hak privasi dan menyuarakan keprihatinan tentang negara keamanan nasional yang berkembang.
Namun pada tahun 2013, ketika undang-undang tersebut disahkan, lanskap geopolitik telah bergeser. Publik telah melihat bahwa komitmen nominal selama beberapa dekade untuk membela diri hanya membuat Beijing semakin berani.
China telah secara agresif menanggapi nasionalisasi Kepulauan Senkaku oleh Jepang, membanjiri perairan lepas pulau dengan kapal Penjaga Pantai dan milisi maritim. Di Laut China Selatan, Beijing mengubah pulau-pulau terpencil menjadi pos-pos militer. Presiden China Xi Jinping kemudian berkuasa, dan ia mempercepat modernisasi militer besar-besaran. Sementara itu, Korea Utara terus melakukan uji coba nuklir yang provokatif.
tulis komentar anda