China Diduga Retas Jaringan Pertahanan Sensitif Jepang sejak 2020
Kamis, 10 Agustus 2023 - 10:52 WIB
Kembali ke Washington, Donald Trump yang masih menjadi presiden AS saat itu sibuk menentang hasil pemilihan umum yang dimenangkan Joe Biden. Sejumlah pejabat senior memberi pengarahan kepada Jake Sullivan yang akan menjabat posisi penasihat keamanan nasional, dan pemerintahan Biden menghadapi banyak masalah setelah transisi dari Trump berakhir.
Di fase awal, pemerintahan Biden menghadapi dugaan peretasan besar oleh Rusia terhadap sejumlah jaringan agensi AS yang ditemukan selama pemerintahan Trump. Washington juga khawatir terhadap Jepang yang terlihat hanya berharap masalah peretasan China bisa hilang begitu saja dengan sendirinya.
Pada awal 2021, pemerintahan Biden mulai beroperasi sepenuhnya, dan sejumlah pejabat keamanan siber dan pertahanan AS kala itu menyadari bahwa masalah peretasan ini justru memburuk. Para peretas China ternyata masih berada dalam jaringan siber Jepang.
Sejak itu, di bawah pengawasan AS, Jepang telah mengumumkan bahwa mereka memperkuat keamanan jaringan, meningkatkan anggaran keamanan siber sepuluh kali lipat selama lima tahun ke depan, dan meningkatkan pasukan keamanan siber militer mereka empat kali lipat menjadi 4.000 orang.
Beijing, yang bertekad memproyeksikan kekuatan melintasi Pasifik barat—wilayah yang secara kontroversial diklaim sebagai bagian dari dominasi maritim bersejarah mereka—telah meningkatkan konfrontasi di wilayah tersebut. China telah menembakkan rudal balistik ke Zona Ekonomi Eksklusif Jepang pada Agustus lalu, setelah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat AS saat itu; Nancy Pelosi, mengunjungi Taiwan, sebuah pulau demokrasi yang memerintah sendiri namun diklaim China.
Setelah menembakkan rudal balistik, China juga memulai latihan militer besar-besaran dan manuver udara serta laut berbahaya di mana kapal dan jet tempur AS, Kanada, dan Australia berada di Pasifik.
China, yang telah membanggakan legiun peretas yang disponsori langsung oleh negara, sedang memperluas kemampuan sibernya. Sejak pertengahan 2021, pemerintah AS dan sejumlah perusahaan keamanan siber Barat telah mendokumentasikan peningkatan penetrasi infrastruktur penting China di AS, Guam, dan tempat lain di Asia-Pasifik. Sasarannya meliputi sistem komunikasi, transportasi dan utilitas. Demikian laporan Microsoft pada Mei lalu.
Peretas yang berbasis di China baru-baru ini membobol email sekretaris perdagangan AS, duta besar AS untuk China, dan diplomat senior lainnya—bahkan di tengah upaya pemerintahan Biden untuk mencairkan hubungan yang membeku dengan Beijing.
"Selama bertahun-tahun, kami mengkhawatirkan program spionasenya," kata seorang pejabat senior AS. "Tetapi China (juga) mengembangkan kemampuan serangan siber yang dapat digunakan untuk mengganggu layanan penting di AS dan sekutu utama Asia serta membentuk pengambilan keputusan dalam krisis atau konflik.”
Dalam menghadapi “agresi” ini, Jepang telah melangkah maju, bergerak melampaui pendekatan tradisional "perisai dan tombak" di mana Tokyo di mana Jepang hanya berfokus pada pertahanan diri, sementara Washington memberikan kemampuan yang mendukung keamanan regional, termasuk payung nuklir yang melindungi Jepang dan Korea Selatan.
Di fase awal, pemerintahan Biden menghadapi dugaan peretasan besar oleh Rusia terhadap sejumlah jaringan agensi AS yang ditemukan selama pemerintahan Trump. Washington juga khawatir terhadap Jepang yang terlihat hanya berharap masalah peretasan China bisa hilang begitu saja dengan sendirinya.
Pada awal 2021, pemerintahan Biden mulai beroperasi sepenuhnya, dan sejumlah pejabat keamanan siber dan pertahanan AS kala itu menyadari bahwa masalah peretasan ini justru memburuk. Para peretas China ternyata masih berada dalam jaringan siber Jepang.
Sejak itu, di bawah pengawasan AS, Jepang telah mengumumkan bahwa mereka memperkuat keamanan jaringan, meningkatkan anggaran keamanan siber sepuluh kali lipat selama lima tahun ke depan, dan meningkatkan pasukan keamanan siber militer mereka empat kali lipat menjadi 4.000 orang.
Beijing, yang bertekad memproyeksikan kekuatan melintasi Pasifik barat—wilayah yang secara kontroversial diklaim sebagai bagian dari dominasi maritim bersejarah mereka—telah meningkatkan konfrontasi di wilayah tersebut. China telah menembakkan rudal balistik ke Zona Ekonomi Eksklusif Jepang pada Agustus lalu, setelah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat AS saat itu; Nancy Pelosi, mengunjungi Taiwan, sebuah pulau demokrasi yang memerintah sendiri namun diklaim China.
Setelah menembakkan rudal balistik, China juga memulai latihan militer besar-besaran dan manuver udara serta laut berbahaya di mana kapal dan jet tempur AS, Kanada, dan Australia berada di Pasifik.
China, yang telah membanggakan legiun peretas yang disponsori langsung oleh negara, sedang memperluas kemampuan sibernya. Sejak pertengahan 2021, pemerintah AS dan sejumlah perusahaan keamanan siber Barat telah mendokumentasikan peningkatan penetrasi infrastruktur penting China di AS, Guam, dan tempat lain di Asia-Pasifik. Sasarannya meliputi sistem komunikasi, transportasi dan utilitas. Demikian laporan Microsoft pada Mei lalu.
Peretas yang berbasis di China baru-baru ini membobol email sekretaris perdagangan AS, duta besar AS untuk China, dan diplomat senior lainnya—bahkan di tengah upaya pemerintahan Biden untuk mencairkan hubungan yang membeku dengan Beijing.
"Selama bertahun-tahun, kami mengkhawatirkan program spionasenya," kata seorang pejabat senior AS. "Tetapi China (juga) mengembangkan kemampuan serangan siber yang dapat digunakan untuk mengganggu layanan penting di AS dan sekutu utama Asia serta membentuk pengambilan keputusan dalam krisis atau konflik.”
Dalam menghadapi “agresi” ini, Jepang telah melangkah maju, bergerak melampaui pendekatan tradisional "perisai dan tombak" di mana Tokyo di mana Jepang hanya berfokus pada pertahanan diri, sementara Washington memberikan kemampuan yang mendukung keamanan regional, termasuk payung nuklir yang melindungi Jepang dan Korea Selatan.
tulis komentar anda