China Diduga Retas Jaringan Pertahanan Sensitif Jepang sejak 2020
Kamis, 10 Agustus 2023 - 10:52 WIB
TOKYO - Pada musim gugur tahun 2020, Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat (AS) membuat penemuan mengkhawatirkan, yakni peretas militer China telah meretas jaringan pertahanan rahasia sekutu strategis terpenting AS di Asia Timur, Jepang.
Mata-mata siber dari Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA), menurut temuan tersebut, telah menyusup ke dalam sistem komputer paling sensitif di Negeri Sakura.
Dikutip dari The Washington Post, 8 Agustus 2023, para peretas memiliki akses mendalam, terus-menerus, dan tampaknya mengejar apa pun yang bisa mereka dapat—rencana, kemampuan, penilaian kekurangan militer. Laporan surat kabar tersebut mengutip tiga mantan pejabat senior AS, yang termasuk di antara 12 pejabat Washington dan Tokyo yang diwawancarai dengan syarat anonim.
"(Peretasannya) buruk, sangat buruk," ucap seorang mantan pejabat militer AS, yang mendapat pengarahan mengenai peristiwa tersebut, yang belum pernah dilaporkan sebelumnya ke pihak berwenang.
Jepang telah mengambil langkah-langkah untuk memperkuat jaringannya. Tetapi itu masih dianggap tidak cukup aman dari pengintaian China, yang menurut para pejabat, dapat menghambat skema berbagi intelijen yang lebih besar antara Pentagon dan Kementerian Pertahanan Jepang.
Penetrasi peretas China di tahun 2020 sangat mengganggu, sehingga Kepala NSA dan Komando Siber AS Jenderal Paul Nakasone dan, dan Matthew Pottinger yang saat itu menjabat sebagai Wakil Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, bergegas pergi ke Tokyo. Mereka memberi pengarahan kepada menteri pertahanan di sana, yang sangat prihatin dan langsung memberi tahu perdana menteri.
Beijing, kata Nakasone dan Pottinger kepada para pejabat Jepang, telah menembus jaringan pertahanan Tokyo, menjadikannya salah satu peretasan paling merusak dalam sejarah modern Jepang.
Para pejabat Jepang terkejut, tetapi mengindikasikan mereka akan segera memeriksanya. Nakasone dan Pottinger terbang kembali ke AS. "Mengira mereka benar-benar telah menyampaikan informasi berharga," kata seorang mantan pejabat pertahanan senior yang menjelaskan masalah tersebut.
Kembali ke Washington, Donald Trump yang masih menjadi presiden AS saat itu sibuk menentang hasil pemilihan umum yang dimenangkan Joe Biden. Sejumlah pejabat senior memberi pengarahan kepada Jake Sullivan yang akan menjabat posisi penasihat keamanan nasional, dan pemerintahan Biden menghadapi banyak masalah setelah transisi dari Trump berakhir.
Di fase awal, pemerintahan Biden menghadapi dugaan peretasan besar oleh Rusia terhadap sejumlah jaringan agensi AS yang ditemukan selama pemerintahan Trump. Washington juga khawatir terhadap Jepang yang terlihat hanya berharap masalah peretasan China bisa hilang begitu saja dengan sendirinya.
Pada awal 2021, pemerintahan Biden mulai beroperasi sepenuhnya, dan sejumlah pejabat keamanan siber dan pertahanan AS kala itu menyadari bahwa masalah peretasan ini justru memburuk. Para peretas China ternyata masih berada dalam jaringan siber Jepang.
Sejak itu, di bawah pengawasan AS, Jepang telah mengumumkan bahwa mereka memperkuat keamanan jaringan, meningkatkan anggaran keamanan siber sepuluh kali lipat selama lima tahun ke depan, dan meningkatkan pasukan keamanan siber militer mereka empat kali lipat menjadi 4.000 orang.
Beijing, yang bertekad memproyeksikan kekuatan melintasi Pasifik barat—wilayah yang secara kontroversial diklaim sebagai bagian dari dominasi maritim bersejarah mereka—telah meningkatkan konfrontasi di wilayah tersebut. China telah menembakkan rudal balistik ke Zona Ekonomi Eksklusif Jepang pada Agustus lalu, setelah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat AS saat itu; Nancy Pelosi, mengunjungi Taiwan, sebuah pulau demokrasi yang memerintah sendiri namun diklaim China.
Setelah menembakkan rudal balistik, China juga memulai latihan militer besar-besaran dan manuver udara serta laut berbahaya di mana kapal dan jet tempur AS, Kanada, dan Australia berada di Pasifik.
China, yang telah membanggakan legiun peretas yang disponsori langsung oleh negara, sedang memperluas kemampuan sibernya. Sejak pertengahan 2021, pemerintah AS dan sejumlah perusahaan keamanan siber Barat telah mendokumentasikan peningkatan penetrasi infrastruktur penting China di AS, Guam, dan tempat lain di Asia-Pasifik. Sasarannya meliputi sistem komunikasi, transportasi dan utilitas. Demikian laporan Microsoft pada Mei lalu.
Peretas yang berbasis di China baru-baru ini membobol email sekretaris perdagangan AS, duta besar AS untuk China, dan diplomat senior lainnya—bahkan di tengah upaya pemerintahan Biden untuk mencairkan hubungan yang membeku dengan Beijing.
"Selama bertahun-tahun, kami mengkhawatirkan program spionasenya," kata seorang pejabat senior AS. "Tetapi China (juga) mengembangkan kemampuan serangan siber yang dapat digunakan untuk mengganggu layanan penting di AS dan sekutu utama Asia serta membentuk pengambilan keputusan dalam krisis atau konflik.”
Dalam menghadapi “agresi” ini, Jepang telah melangkah maju, bergerak melampaui pendekatan tradisional "perisai dan tombak" di mana Tokyo di mana Jepang hanya berfokus pada pertahanan diri, sementara Washington memberikan kemampuan yang mendukung keamanan regional, termasuk payung nuklir yang melindungi Jepang dan Korea Selatan.
Jepang sedang mengembangkan kemampuan serangan balik yang dapat mencapai target di China daratan, termasuk dengan membeli rudal jelajah Tomahawk buatan AS. Jepang juga mengizinkan Korps Marinir AS untuk menempatkan resimen lanjutan baru di pulau-pulau terpencil di barat daya Okinawa, sebuah lokasi dekat pulau-pulau paling utara Filipina. Kehadiran militer AS ini memungkinkan Washington untuk bereaksi cepat jika konflik antara Tiongkok dan Taiwan sewaktu-waktu meletus.
"Saat ini, Jepang dan Amerika Serikat sedang menghadapi lingkungan keamanan paling menantang dan kompleks dalam sejarah," kata Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dalam konferensi pers dengan Biden di Washington pada Januari lalu. Dia mengatakan bahwa strategi keamanan nasional baru Jepang berisi peningkatan anggaran dan kemampuan pertahanan.
"Kebijakan baru ini akan bermanfaat bagi kemampuan pencegahan dan juga kemampuan respons aliansi," kata PM Kishida.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin menyiratkan kepada Jepang bahwa skema berbagi data intelijen untuk mengaktifkan operasi militer tingkat lanjut antar kedua negara dapat melambat jika jaringan Tokyo tidak diamankan dengan lebih baik dari tangan-tangan peretas.
"Kami melihat investasi dan upaya luar biasa dari Jepang di bidang ini," kata seorang pejabat senior pertahanan AS. Tapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan Jepang.
"Departemen kami menekankan pentingnya keamanan siber terhadap kemampuan kami dalam melakukan operasi militer gabungan, yang merupakan inti dari aliansi AS-Jepang," paparnya.
Selama bertahun-tahun sebelum China dengan berani meretas jaringannya, Jepang dipandang sebagai “kapal bocor”. Selama Perang Dingin, para agen Uni Soviet menggunakan taktik kuno, yaitu memanfaatkan kelemahan rakyat Jepang atas makanan, minuman, uang, dan perjudian untuk mendapatkan informasi sensitif dari jurnalis, politisi, dan bahkan petugas intelijen Jepang.
"Mereka pernah menyombongkan diri bahwa Jepang adalah 'surga bagi mata-mata'," kata Richard Samuels, seorang ilmuwan politik di MIT.
Setelah Perang Dingin berakhir, para pejabat Jepang akhirnya mulai sadar akan pentingnya memperketat akses intelijen. AS menyadari bahwa keamanan intelijen di Jepang belum terlalu baik.
Setahun sebelum peristiwa 9/11, sebuah laporan oleh lembaga think tank yang didanai Pentagon mencatat bahwa terlepas dari pentingnya aliansi AS-Jepang, skema berbagi intelijen Washington dengan Tokyo jauh lebih sedikit dibanding dengan mitra-mitra NATO.
"Baik di dalam maupun di luar Asia, Jepang menghadapi ancaman yang lebih beragam dan tanggung jawab internasional yang lebih kompleks, dan membutuhkan intelijen yang memberikan pemahaman lebih baik tentang kebutuhan keamanan nasionalnya," bunyi laporan tersebut, yang ditulis oleh kelompok studi bipartisan termasuk pakar kebijakan luar negeri Richard Armitage dan Joseph Nye.
Laporan itu mendesak para pemimpin Jepang untuk membangun dukungan publik dan politik untuk undang-undang baru demi melindungi informasi rahasia.
"Orang Amerika tidak senang dengan betapa keroposnya komunitas intelijen Jepang," kata Samuels.
"Mereka pun hanya berbagi lebih sedikit (data intelijen dengan Jepang). Di saat Jepang membutuhkan intelijen yang lebih banyak dan lebih baik dari sekutunya yang kuat, Jepang tidak mendapatkan semua yang dibutuhkan, dan dikatakan bahwa itu karena komunitas intelijen Anda bocor. Jika Anda memperketatnya, kita dapat menjalankan skema pertukaran yang lebih lengkap dan lebih kuat," sambungnya.
Salah satu yang paling menanggapi serius pesan tersebut adalah Shinzo Abe, keturunan keluarga politik terkemuka dan politikus yang pernah dua kali menjadi perdana menteri. Abe, lebih dari pemimpin politik modern Jepang mana pun, membuka jalan bagi reformasi keamanan di Tokyo.
Selama masa jabatan keduanya sebagai perdana menteri pada awal hingga pertengahan 2010-an, dia memicu perubahan. Parlemen mengesahkan undang-undang rahasia negara yang menetapkan hukuman berat bagi kesalahan penanganan dokumen dan pembocoran informasi. Abe membentuk Dewan Keamanan Nasional, sebagian meniru versi AS, untuk menasihati perdana menteri.
Aktivis antiperang dan kebebasan sipil memprotes reformasi tersebut, mengklaim bahwa mereka melanggar hak privasi dan menyuarakan keprihatinan tentang negara keamanan nasional yang berkembang.
Namun pada tahun 2013, ketika undang-undang tersebut disahkan, lanskap geopolitik telah bergeser. Publik telah melihat bahwa komitmen nominal selama beberapa dekade untuk membela diri hanya membuat Beijing semakin berani.
China telah secara agresif menanggapi nasionalisasi Kepulauan Senkaku oleh Jepang, membanjiri perairan lepas pulau dengan kapal Penjaga Pantai dan milisi maritim. Di Laut China Selatan, Beijing mengubah pulau-pulau terpencil menjadi pos-pos militer. Presiden China Xi Jinping kemudian berkuasa, dan ia mempercepat modernisasi militer besar-besaran. Sementara itu, Korea Utara terus melakukan uji coba nuklir yang provokatif.
Abe dibunuh pada Juli 2022, tetapi warisannya tetap hidup. Selama dekade terakhir, sikap terhadap China telah mengeras. Saat ini, mayoritas warga Jepang memandang pemerintah China tidak baik, sementara dukungan untuk aliansi AS berada pada titik tertinggi sepanjang masa.
"Meningkatkan kerja sama bilateral antara Jepang dan AS memperkuat pertahanan dunia maya kedua negara," kata Nakasone dalam sebuah pernyataan kepada The Washington Post.
Amerika Serikat berfokus untuk membantu Jepang meningkatkan kemampuan dunia mayanya, lanjut Nakasone, seraya mencatat bahwa tujuannya adalah agar kedua negara dapat memastikan "kawasan Indo-Pasifik yang aman dan terjamin."
Mata-mata siber dari Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA), menurut temuan tersebut, telah menyusup ke dalam sistem komputer paling sensitif di Negeri Sakura.
Dikutip dari The Washington Post, 8 Agustus 2023, para peretas memiliki akses mendalam, terus-menerus, dan tampaknya mengejar apa pun yang bisa mereka dapat—rencana, kemampuan, penilaian kekurangan militer. Laporan surat kabar tersebut mengutip tiga mantan pejabat senior AS, yang termasuk di antara 12 pejabat Washington dan Tokyo yang diwawancarai dengan syarat anonim.
"(Peretasannya) buruk, sangat buruk," ucap seorang mantan pejabat militer AS, yang mendapat pengarahan mengenai peristiwa tersebut, yang belum pernah dilaporkan sebelumnya ke pihak berwenang.
Jepang telah mengambil langkah-langkah untuk memperkuat jaringannya. Tetapi itu masih dianggap tidak cukup aman dari pengintaian China, yang menurut para pejabat, dapat menghambat skema berbagi intelijen yang lebih besar antara Pentagon dan Kementerian Pertahanan Jepang.
Penetrasi peretas China di tahun 2020 sangat mengganggu, sehingga Kepala NSA dan Komando Siber AS Jenderal Paul Nakasone dan, dan Matthew Pottinger yang saat itu menjabat sebagai Wakil Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, bergegas pergi ke Tokyo. Mereka memberi pengarahan kepada menteri pertahanan di sana, yang sangat prihatin dan langsung memberi tahu perdana menteri.
Beijing, kata Nakasone dan Pottinger kepada para pejabat Jepang, telah menembus jaringan pertahanan Tokyo, menjadikannya salah satu peretasan paling merusak dalam sejarah modern Jepang.
Para pejabat Jepang terkejut, tetapi mengindikasikan mereka akan segera memeriksanya. Nakasone dan Pottinger terbang kembali ke AS. "Mengira mereka benar-benar telah menyampaikan informasi berharga," kata seorang mantan pejabat pertahanan senior yang menjelaskan masalah tersebut.
Kembali ke Washington, Donald Trump yang masih menjadi presiden AS saat itu sibuk menentang hasil pemilihan umum yang dimenangkan Joe Biden. Sejumlah pejabat senior memberi pengarahan kepada Jake Sullivan yang akan menjabat posisi penasihat keamanan nasional, dan pemerintahan Biden menghadapi banyak masalah setelah transisi dari Trump berakhir.
Di fase awal, pemerintahan Biden menghadapi dugaan peretasan besar oleh Rusia terhadap sejumlah jaringan agensi AS yang ditemukan selama pemerintahan Trump. Washington juga khawatir terhadap Jepang yang terlihat hanya berharap masalah peretasan China bisa hilang begitu saja dengan sendirinya.
Pada awal 2021, pemerintahan Biden mulai beroperasi sepenuhnya, dan sejumlah pejabat keamanan siber dan pertahanan AS kala itu menyadari bahwa masalah peretasan ini justru memburuk. Para peretas China ternyata masih berada dalam jaringan siber Jepang.
Sejak itu, di bawah pengawasan AS, Jepang telah mengumumkan bahwa mereka memperkuat keamanan jaringan, meningkatkan anggaran keamanan siber sepuluh kali lipat selama lima tahun ke depan, dan meningkatkan pasukan keamanan siber militer mereka empat kali lipat menjadi 4.000 orang.
Beijing, yang bertekad memproyeksikan kekuatan melintasi Pasifik barat—wilayah yang secara kontroversial diklaim sebagai bagian dari dominasi maritim bersejarah mereka—telah meningkatkan konfrontasi di wilayah tersebut. China telah menembakkan rudal balistik ke Zona Ekonomi Eksklusif Jepang pada Agustus lalu, setelah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat AS saat itu; Nancy Pelosi, mengunjungi Taiwan, sebuah pulau demokrasi yang memerintah sendiri namun diklaim China.
Setelah menembakkan rudal balistik, China juga memulai latihan militer besar-besaran dan manuver udara serta laut berbahaya di mana kapal dan jet tempur AS, Kanada, dan Australia berada di Pasifik.
China, yang telah membanggakan legiun peretas yang disponsori langsung oleh negara, sedang memperluas kemampuan sibernya. Sejak pertengahan 2021, pemerintah AS dan sejumlah perusahaan keamanan siber Barat telah mendokumentasikan peningkatan penetrasi infrastruktur penting China di AS, Guam, dan tempat lain di Asia-Pasifik. Sasarannya meliputi sistem komunikasi, transportasi dan utilitas. Demikian laporan Microsoft pada Mei lalu.
Peretas yang berbasis di China baru-baru ini membobol email sekretaris perdagangan AS, duta besar AS untuk China, dan diplomat senior lainnya—bahkan di tengah upaya pemerintahan Biden untuk mencairkan hubungan yang membeku dengan Beijing.
"Selama bertahun-tahun, kami mengkhawatirkan program spionasenya," kata seorang pejabat senior AS. "Tetapi China (juga) mengembangkan kemampuan serangan siber yang dapat digunakan untuk mengganggu layanan penting di AS dan sekutu utama Asia serta membentuk pengambilan keputusan dalam krisis atau konflik.”
Dalam menghadapi “agresi” ini, Jepang telah melangkah maju, bergerak melampaui pendekatan tradisional "perisai dan tombak" di mana Tokyo di mana Jepang hanya berfokus pada pertahanan diri, sementara Washington memberikan kemampuan yang mendukung keamanan regional, termasuk payung nuklir yang melindungi Jepang dan Korea Selatan.
Jepang sedang mengembangkan kemampuan serangan balik yang dapat mencapai target di China daratan, termasuk dengan membeli rudal jelajah Tomahawk buatan AS. Jepang juga mengizinkan Korps Marinir AS untuk menempatkan resimen lanjutan baru di pulau-pulau terpencil di barat daya Okinawa, sebuah lokasi dekat pulau-pulau paling utara Filipina. Kehadiran militer AS ini memungkinkan Washington untuk bereaksi cepat jika konflik antara Tiongkok dan Taiwan sewaktu-waktu meletus.
"Saat ini, Jepang dan Amerika Serikat sedang menghadapi lingkungan keamanan paling menantang dan kompleks dalam sejarah," kata Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dalam konferensi pers dengan Biden di Washington pada Januari lalu. Dia mengatakan bahwa strategi keamanan nasional baru Jepang berisi peningkatan anggaran dan kemampuan pertahanan.
"Kebijakan baru ini akan bermanfaat bagi kemampuan pencegahan dan juga kemampuan respons aliansi," kata PM Kishida.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin menyiratkan kepada Jepang bahwa skema berbagi data intelijen untuk mengaktifkan operasi militer tingkat lanjut antar kedua negara dapat melambat jika jaringan Tokyo tidak diamankan dengan lebih baik dari tangan-tangan peretas.
"Kami melihat investasi dan upaya luar biasa dari Jepang di bidang ini," kata seorang pejabat senior pertahanan AS. Tapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan Jepang.
"Departemen kami menekankan pentingnya keamanan siber terhadap kemampuan kami dalam melakukan operasi militer gabungan, yang merupakan inti dari aliansi AS-Jepang," paparnya.
Surga Mata-mata
Selama bertahun-tahun sebelum China dengan berani meretas jaringannya, Jepang dipandang sebagai “kapal bocor”. Selama Perang Dingin, para agen Uni Soviet menggunakan taktik kuno, yaitu memanfaatkan kelemahan rakyat Jepang atas makanan, minuman, uang, dan perjudian untuk mendapatkan informasi sensitif dari jurnalis, politisi, dan bahkan petugas intelijen Jepang.
"Mereka pernah menyombongkan diri bahwa Jepang adalah 'surga bagi mata-mata'," kata Richard Samuels, seorang ilmuwan politik di MIT.
Setelah Perang Dingin berakhir, para pejabat Jepang akhirnya mulai sadar akan pentingnya memperketat akses intelijen. AS menyadari bahwa keamanan intelijen di Jepang belum terlalu baik.
Setahun sebelum peristiwa 9/11, sebuah laporan oleh lembaga think tank yang didanai Pentagon mencatat bahwa terlepas dari pentingnya aliansi AS-Jepang, skema berbagi intelijen Washington dengan Tokyo jauh lebih sedikit dibanding dengan mitra-mitra NATO.
"Baik di dalam maupun di luar Asia, Jepang menghadapi ancaman yang lebih beragam dan tanggung jawab internasional yang lebih kompleks, dan membutuhkan intelijen yang memberikan pemahaman lebih baik tentang kebutuhan keamanan nasionalnya," bunyi laporan tersebut, yang ditulis oleh kelompok studi bipartisan termasuk pakar kebijakan luar negeri Richard Armitage dan Joseph Nye.
Laporan itu mendesak para pemimpin Jepang untuk membangun dukungan publik dan politik untuk undang-undang baru demi melindungi informasi rahasia.
"Orang Amerika tidak senang dengan betapa keroposnya komunitas intelijen Jepang," kata Samuels.
"Mereka pun hanya berbagi lebih sedikit (data intelijen dengan Jepang). Di saat Jepang membutuhkan intelijen yang lebih banyak dan lebih baik dari sekutunya yang kuat, Jepang tidak mendapatkan semua yang dibutuhkan, dan dikatakan bahwa itu karena komunitas intelijen Anda bocor. Jika Anda memperketatnya, kita dapat menjalankan skema pertukaran yang lebih lengkap dan lebih kuat," sambungnya.
Salah satu yang paling menanggapi serius pesan tersebut adalah Shinzo Abe, keturunan keluarga politik terkemuka dan politikus yang pernah dua kali menjadi perdana menteri. Abe, lebih dari pemimpin politik modern Jepang mana pun, membuka jalan bagi reformasi keamanan di Tokyo.
Selama masa jabatan keduanya sebagai perdana menteri pada awal hingga pertengahan 2010-an, dia memicu perubahan. Parlemen mengesahkan undang-undang rahasia negara yang menetapkan hukuman berat bagi kesalahan penanganan dokumen dan pembocoran informasi. Abe membentuk Dewan Keamanan Nasional, sebagian meniru versi AS, untuk menasihati perdana menteri.
Aktivis antiperang dan kebebasan sipil memprotes reformasi tersebut, mengklaim bahwa mereka melanggar hak privasi dan menyuarakan keprihatinan tentang negara keamanan nasional yang berkembang.
Namun pada tahun 2013, ketika undang-undang tersebut disahkan, lanskap geopolitik telah bergeser. Publik telah melihat bahwa komitmen nominal selama beberapa dekade untuk membela diri hanya membuat Beijing semakin berani.
China telah secara agresif menanggapi nasionalisasi Kepulauan Senkaku oleh Jepang, membanjiri perairan lepas pulau dengan kapal Penjaga Pantai dan milisi maritim. Di Laut China Selatan, Beijing mengubah pulau-pulau terpencil menjadi pos-pos militer. Presiden China Xi Jinping kemudian berkuasa, dan ia mempercepat modernisasi militer besar-besaran. Sementara itu, Korea Utara terus melakukan uji coba nuklir yang provokatif.
Abe dibunuh pada Juli 2022, tetapi warisannya tetap hidup. Selama dekade terakhir, sikap terhadap China telah mengeras. Saat ini, mayoritas warga Jepang memandang pemerintah China tidak baik, sementara dukungan untuk aliansi AS berada pada titik tertinggi sepanjang masa.
"Meningkatkan kerja sama bilateral antara Jepang dan AS memperkuat pertahanan dunia maya kedua negara," kata Nakasone dalam sebuah pernyataan kepada The Washington Post.
Amerika Serikat berfokus untuk membantu Jepang meningkatkan kemampuan dunia mayanya, lanjut Nakasone, seraya mencatat bahwa tujuannya adalah agar kedua negara dapat memastikan "kawasan Indo-Pasifik yang aman dan terjamin."
(mas)
tulis komentar anda