Tahun Lalu, 61.000 Lebih Tewas Akibat Suhu Panas Ekstrem di Eropa
Selasa, 11 Juli 2023 - 00:22 WIB
Angka kematian musim panas tertinggi di Eropa akibat panas terjadi pada tahun 2003, ketika lebih dari 70.000 kematian tercatat.
"Musim panas tahun 2003 adalah fenomena yang sangat langka, bahkan dengan mempertimbangkan pemanasan antropogenik yang diamati sampai saat itu," kata penulis studi, Joan Ballester Claramunt.
"Sifat luar biasa ini menyoroti kurangnya rencana pencegahan dan kerapuhan sistem kesehatan untuk mengatasi keadaan darurat terkait iklim, sesuatu yang sampai batas tertentu ditangani di tahun-tahun berikutnya," sambungnya.
"Sebaliknya, suhu yang dicatat pada musim panas 2022 tidak dapat dianggap luar biasa, dalam artian dapat diprediksi dengan mengikuti rangkaian suhu tahun-tahun sebelumnya, dan menunjukkan bahwa pemanasan telah meningkat selama dekade terakhir," terangnya seperti dikutip dari Sky News, Selasa (11/7/2023).
Peneliti Hicham Achebak mengatakan: "Fakta bahwa lebih dari 61.600 orang di Eropa meninggal karena tekanan suhu panas pada musim panas 2022, meskipun, tidak seperti tahun 2003, banyak negara sudah memiliki rencana pencegahan aktif, menunjukkan bahwa strategi adaptasi yang tersedia saat ini mungkin tetap tidak mencukupi."
"Percepatan pemanasan yang diamati selama 10 tahun terakhir menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk menilai kembali dan secara substansial memperkuat rencana pencegahan, memberikan perhatian khusus pada perbedaan antara negara dan wilayah Eropa, serta kesenjangan usia dan jenis kelamin, yang saat ini menandai perbedaan dalam kerentanan terhadap panas," tuturnya.
Di seluruh Eropa, suhu dingin menyebabkan lebih banyak kematian daripada panas, meskipun musim dingin yang semakin sejuk berkontribusi pada penurunan angka kematian tersebut.
Namun, Kantor Statistik Nasional Inggris mengatakan: "Secara global, perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia diperkirakan menyebabkan 37% kematian terkait panas (1% di Inggris)."
"Pengurangan awal kematian karena musim dingin yang lebih ringan telah diprediksi akan sebanding dengan peningkatan kematian terkait panas.
"Musim panas tahun 2003 adalah fenomena yang sangat langka, bahkan dengan mempertimbangkan pemanasan antropogenik yang diamati sampai saat itu," kata penulis studi, Joan Ballester Claramunt.
"Sifat luar biasa ini menyoroti kurangnya rencana pencegahan dan kerapuhan sistem kesehatan untuk mengatasi keadaan darurat terkait iklim, sesuatu yang sampai batas tertentu ditangani di tahun-tahun berikutnya," sambungnya.
"Sebaliknya, suhu yang dicatat pada musim panas 2022 tidak dapat dianggap luar biasa, dalam artian dapat diprediksi dengan mengikuti rangkaian suhu tahun-tahun sebelumnya, dan menunjukkan bahwa pemanasan telah meningkat selama dekade terakhir," terangnya seperti dikutip dari Sky News, Selasa (11/7/2023).
Peneliti Hicham Achebak mengatakan: "Fakta bahwa lebih dari 61.600 orang di Eropa meninggal karena tekanan suhu panas pada musim panas 2022, meskipun, tidak seperti tahun 2003, banyak negara sudah memiliki rencana pencegahan aktif, menunjukkan bahwa strategi adaptasi yang tersedia saat ini mungkin tetap tidak mencukupi."
"Percepatan pemanasan yang diamati selama 10 tahun terakhir menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk menilai kembali dan secara substansial memperkuat rencana pencegahan, memberikan perhatian khusus pada perbedaan antara negara dan wilayah Eropa, serta kesenjangan usia dan jenis kelamin, yang saat ini menandai perbedaan dalam kerentanan terhadap panas," tuturnya.
Di seluruh Eropa, suhu dingin menyebabkan lebih banyak kematian daripada panas, meskipun musim dingin yang semakin sejuk berkontribusi pada penurunan angka kematian tersebut.
Namun, Kantor Statistik Nasional Inggris mengatakan: "Secara global, perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia diperkirakan menyebabkan 37% kematian terkait panas (1% di Inggris)."
"Pengurangan awal kematian karena musim dingin yang lebih ringan telah diprediksi akan sebanding dengan peningkatan kematian terkait panas.
tulis komentar anda