Utusan PBB: Myanmar Negara Gagal, Dipimpin Junta yang Dipersenjatai Rusia

Kamis, 16 Maret 2023 - 16:18 WIB
Pelapor khusus PBB untuk Myanmar menyebut negara itu adalah negara gagal dan krisis semaakin memburuk secara eksponensial. Foto/The Telegraph
LONDON - Pelapor khusus PBB untuk Myanmar menyebut negara itu adalah negara gagal dan krisis semakin memburuk secara eksponensial. Ia pun mendesak dunia internasional mengadopsi tekad bersatu yang sama setelah invasi ke Ukraina.

“Jenis senjata yang sama yang membunuh orang Ukraina membunuh orang di Myanmar,” kata Tom Andrews, pelapor khusus untuk situasi hak asasi manusia di Myanmar, kepada The Guardian dalam sebuah wawancara, mengutip pasokan senjata Rusia ke junta sejak kudeta dua tahun yang lalu.

Junta Myanmar sangat bergantung pada pesawat dari China serta Rusia, dan semakin sering melakukan serangan udara untuk mencoba menumpas pasukan perlawanan yang gigih.

Tanggapan internasional terhadap Myanmar tidak memadai dan beberapa negara terus mendukung kekejaman junta. Andrews pun menyerukan embargo senjata.



“Tidak dapat diungkapkan apa yang sedang terjadi dan yang sangat membuat frustrasi adalah kenyataan bahwa, sejauh menyangkut sebagian besar dunia, ini tidak terjadi,” ujarnya seperti dikutip dari situs berbasis di Inggris itu, Kamis (16/3/2023).

Sebaliknya, kata Andrews, dunia sedang “menyaksikan kecelakaan kereta api”.

“Myanmar adalah negara yang gagal, sedang dalam proses gagal dan ini terjadi di depan mata kita,” ucapnya.

Pernyataan ini muncul jelang sebuah laporan, yang akan disampaikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia minggu depan, yang merinci bagaimana orang-orang melarikan diri dari Myanmar menghadapi risiko penangkapan, penahanan, deportasi, penolakan di darat dan laut serta terhalangnya akses mereka ke badan pengungsi PBB, UNHCR.

Myanmar dilanda kekacauan pada Februari 2021 ketika militer menahan pemimpin negara itu, Aung San Suu Kyi, dan merebut kekuasaan. Kudeta tersebut telah memprovokasi oposisi yang meluas, termasuk gerakan pembangkangan sipil yang damai dan perlawanan bersenjata. Konflik telah meningkat selama dua tahun terakhir, menyebar ke seluruh wilayah negara yang luas, termasuk wilayah yang dulunya damai, di mana anggota masyarakat bergabung dengan kelompok pertahanan untuk melawan militer.

Militer - yang menurut analisis telah kehilangan wilayah karena perlawanan meskipun memiliki persenjataan yang unggul - telah meningkatkan serangan udara, termasuk terhadap sekolah dan fasilitas medis, serta taktik bumi hangus, dalam upaya untuk menghentikan perlawanan.



“Karena semakin berbahaya bagi pasukan mereka untuk beroperasi di lapangan, mereka menggunakan senjata tempur ini, jet tempur yang menjatuhkan bom di desa-desa dan bahkan pusat-pusat IDP (kamp untuk pengungsi internal yang terpaksa melarikan diri),” kata Andrews.

Militer Myanmar sebelumnya membantah melakukan kekejaman dan mengatakan operasinya menargetkan "teroris".

Sebuah laporan oleh pelapor khusus tahun lalu mengatakan Rusia, China, dan Serbia menyediakan senjata untuk junta. Investigasi baru-baru ini oleh kelompok HAM Myanmar Witness juga menemukan militer sangat bergantung pada aset udara Rusia atau China untuk serangannya.

Andrews mengatakan dia baru-baru ini berbicara dengan seorang ayah yang rumahnya dihancurkan oleh militer. Sang ayah membawa keluarganya ke pusat pengungsian; hanya untuk dibom. Kedua putrinya, yang berusia 12 dan 15 tahun, tewas.

Junta melancarkan serangan udara di 10 dari 14 divisi administrasi negara selama enam bulan terakhir tahun 2022, menurut Myanmar Witness, dengan serangan seperti itu terjadi hampir setiap hari.

Mengingat ketergantungannya pada pesawat dari China dan Rusia, junta telah berusaha untuk secara terbuka menyelaraskan diri dengan kedua negara setelah kudeta. Militer, kata Andrews, yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing “menjilat Rusia."

“Dia telah terbang ke Moskow, dia memuji Putin, mereka tentu mencari dan mengamankan senjata yang mereka gunakan untuk melakukan kejahatan kekejaman ini,” ujarnya.

Namun, Andrews mengatakan bahwa negara lain mampu mengambil tindakan strategis yang lebih kuat untuk menghentikan junta mengakses sumber daya.

"Sementara banyak pemerintah barat telah menjatuhkan sanksi, diperlukan koordinasi yang lebih besar," katanya.

Embargo senjata, dan langkah-langkah untuk menghentikan bahan bakar penerbangan mencapai militer juga harus diadopsi. Dia tidak menyarankan pengiriman senjata untuk mendukung perlawanan, melainkan langkah-langkah untuk menghentikan senjata atau sumber daya mencapai junta.



Andrews juga mendukung seruan agar Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang akan merujuk situasi di Myanmar ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC).

"Negara-negara memiliki keharusan moral untuk melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk menekan dari junta sarana yang mereka gunakan untuk terus menyerang rakyat mereka," kata Andrews.

Ia mengatakan itu juga demi kepentingan komunitas internasional, terutama negara-negara tetangga, untuk bertindak.

"Myanmar adalah negara yang sangat penting, negara berpenduduk 54 juta orang, terletak di bagian dunia yang sangat penting antara India dan China. Anda telah melihat dampak dari ketidakstabilan yang ada. Ribuan dan ribuan orang setiap bulan berlari untuk hidup mereka setiap bulan melewati perbatasan ke wilayah tersebut,” tuturnya.

Dalam sebuah laporan yang akan disampaikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia pada tanggal 20 Maret, pelapor khusus tersebut mengatakan bahwa pemerintah negara tetangga telah secara paksa mengembalikan orang-orang – termasuk para pembelot militer dan anak-anak – ke Myanmar meskipun ada risiko dipenjara, disiksa, atau bahkan dieksekusi.

Menurut PBB, jumlah orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan melonjak, dari 1 juta sebelum kudeta, menjadi 17,6 juta pada tahun 2023.

“Ekonomi telah runtuh, Anda memiliki setengah dari orang yang sekarang hidup dalam kemiskinan. Anda mengalami runtuhnya sistem pendidikan dengan jutaan anak tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Sistem kesehatan telah runtuh,” katanya.

"Segala sesuatunya buruk dan semakin buruk secara eksponensial," ia menambahkan.

Beberapa orang di Myanmar, kata Andrews, saat menyambut dukungan yang diterima Ukraina, mempertanyakan mengapa tanggapan internasional terhadap kekejaman di negara mereka sangat berbeda. Dia mengatakan bahwa dia tidak memiliki jawaban, menambahkan bahwa beberapa negara terus mendukung kejahatan junta.

“Ada keharusan moral untuk tidak berpaling dari orang-orang yang menunjukkan keberanian luar biasa dalam memperjuangkan negara dan masa depan mereka,” kata Andrews.

(ian)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More