Tuntut kenaikan upah, Petani Afsel bentrok dengan polisi
A
A
A
Sindonews.com - Aksi unjuk rasa yang digelar oleh ratusan petani anggur di wilayah barat Provinsi Cape, Afrika Selatan (Afsel) berujung bentrok dengan aparat keamanan, Rabu (9/1/2012). Unjuk rasa tersebut digelar untuk menuntut kenaikan upah sebesar dua kali lipat pada pemerintah Provinsi Cape, menjadi sebesar 140 rand sekira Rp157 ribu.
Letnan Kolonel Andre Traut dari Kepolisian Cape mengatakan, aksi unjuk rasa yang berlangsung damai mendadak ricuh saat petani melemparkan batu ke arah polisi anti huru hara. Tidak hanya itu, mereka juga memblokade jalan dengan membakar sejumlah ban.
Polisi anti huru hara Afsel dengan persenjataan lengkap lantas menanggapi serangan tersebut. Mereka terpaksa menembakan sejumlah peluru karet. Sedikitnya, 50 orang ditahan usai bentrok tersebut.
Afsel merupakan negara salah satu produsen anggur terbesar di dunia. Selain bekerja sebagai pemanen anggur, petani musiman ini juga berkerja pada berbagai perkebunan buah lainya. Namun, kondisi hidup mereka tidak sejahtera, karena upah yang mereka dapatkan sebagai petani musiman sangat minim. Saat musim panen berakhir mereka terlunta-lunta tanpa pekerjaan selama berbulan-bulan.
"Sangat sulit bagi kami untuk hidup dengan pendapatan 69 rand perhari. Anak saya sering tidur dalam keadaan lapar, karena saya tidak mampu membeli makan. Semakin parah saat awal sekolah dimulai. Kami tidak punya uang untuk membelikan anak kami pakaian," ungkap Lena Lottering (35), petani sekaligus ibu dari tiga anak.
Letnan Kolonel Andre Traut dari Kepolisian Cape mengatakan, aksi unjuk rasa yang berlangsung damai mendadak ricuh saat petani melemparkan batu ke arah polisi anti huru hara. Tidak hanya itu, mereka juga memblokade jalan dengan membakar sejumlah ban.
Polisi anti huru hara Afsel dengan persenjataan lengkap lantas menanggapi serangan tersebut. Mereka terpaksa menembakan sejumlah peluru karet. Sedikitnya, 50 orang ditahan usai bentrok tersebut.
Afsel merupakan negara salah satu produsen anggur terbesar di dunia. Selain bekerja sebagai pemanen anggur, petani musiman ini juga berkerja pada berbagai perkebunan buah lainya. Namun, kondisi hidup mereka tidak sejahtera, karena upah yang mereka dapatkan sebagai petani musiman sangat minim. Saat musim panen berakhir mereka terlunta-lunta tanpa pekerjaan selama berbulan-bulan.
"Sangat sulit bagi kami untuk hidup dengan pendapatan 69 rand perhari. Anak saya sering tidur dalam keadaan lapar, karena saya tidak mampu membeli makan. Semakin parah saat awal sekolah dimulai. Kami tidak punya uang untuk membelikan anak kami pakaian," ungkap Lena Lottering (35), petani sekaligus ibu dari tiga anak.
(esn)