Tidak Ada Kasus Baru Covid-19 di China, Eropa Masih Tinggi

Rabu, 08 April 2020 - 06:29 WIB
Tidak Ada Kasus Baru...
Tidak Ada Kasus Baru Covid-19 di China, Eropa Masih Tinggi
A A A
BEIJING - Upaya pemerintah China dalam melawan penyebaran Covid-19 membuahkan hasil gemilang. Beijing melaporkan tidak ada kasus corona baru pada Selasa (6/4) lalu setelah menutup semua perbatasan dari orang asing. Tak hanya itu, untuk pertama kalinya dilaporkan tidak ada korban meninggal baru di Wuhan sebagai wilayah episentrum wabah corona .

Saat ini China memiliki 32 kasus virus corona baru pada Senin lalu atau menurun dari 39 kasus pada hari sebelumnya. Umumnya kasus baru tersebut merupakan warga China yang baru datang dari luar negeri. Di Wuhan, hanya dua kasus ditemukan dalam 14 hari terakhir. Pertimbangan itulah yang menjadikan alasan Pemerintah Kota Wuhan mengizinkan warganya meninggalkan kota tersebut setelah perbatasan ditutup sejak 23 Januari silam.

Pemerintah China kini fokus pada kasus virus corona impor dan pasien yang tidak menunjukkan gejala apa pun, tetapi masih membawa virus. China sendiri telah menutup perbatasannya dari orang asing, tetapi kebanyakan kasus impor berasal dari warga China yang baru kembali dari luar negeri. Jumlah penerbangan internasional di China kini hanya 3.000 per hari pada April ini. Sebelumnya ada puluhan ribu penerbangan di Negeri Tirai Bambu itu. Semua orang China yang baru kembali dari luar negeri pun menjalani pemeriksaan Covid-19. Jumlah kasus virus corona di China kini mencapai 81.740 orang dengan 3.331 orang meninggal dunia.

Eropa Membeludak

Fenomena sebaliknya terjadi di Eropa. Prancis, misalnya, melaporkan sebanyak 833 pasien yang terinfeksi virus corona meninggal pada Senin (6/4/2020) waktu setempat. Itu merupakan kenaikan yang sangat signifikan dibandingkan sebelumnya. Jumlah total warga yang meninggal di Prancis akibat Covid-19 mencapai 8.911 orang dengan kasus infeksi mencapai 98.010 kasus.

“Kita tidak akan mencapai akhir dari akhir epidemi ini,” ancam Menteri Kesehatan Prancis Olivier Véran. Apa yang terjadi di Prancis, berbeda dengan dengan tren pelambatan di Italia dan Spanyol yang telah berlangsung selama empat hari. Pada saat bersamaan, Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson dipindahkan ke fasilitas perawatan intensif di sebuah rumah sakit di London karena gejala Covid-19 terus memburuk.

Data yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan Prancis pada Senin malam menunjukkan 605 orang meninggal dunia di rumah sakit selama 24 jam, sedangkan 228 orang meninggal di panti jompo. “Itu belum berakhir. Jalan masih panjang,” kata Veran. Dia meminta masyarakat Prancis untuk tetap tinggal di rumah.

Veran mengatakan, pemerintah akan melakukan operasi cepat untuk menyeleksi panti jompo di mana 27% korban meninggal merupakan manula. Hal itu sebagai upaya untuk melindungi penduduk Prancis. (Baca: Waspada, Kasus Virus Corona Bisa 200.000 di Arab Saudi)

Pada Senin lalu, pemerintah Italia mengumumkan jumlah korban meninggal mencapai 636 orang. Itu lebih tinggi 111 dibandingkan jumlah korban pada Minggu yang menjadi terendah sejak 19 Maret. Jumlah korban yang terinfeksi virus corona juga meningkat 1.941, meski kenaikannya menunjukkan tren penurunan.

Di Spanyol, negara dengan kondisi terburuk dilanda virus corona, menunjukkan jumlah korban meninggal terus menurun. Ada harapan untuk melalui puncak wabah. Korban meninggal pada Senin lalu mencapai 637 orang atau terendah dari 13 hari dengan jumlah korban total meninggal mencapai 13.055 orang. “Pertumbuhan wabah menunjukkan penurunan di setiap wilayah,” kata María José Sierra, deputi Komite Kesehatan Spanyol, dilansir Reuters.

Di Inggris, Departemen Kesehatan menyatakan 439 orang meninggal pada Senin lalu di rumah sakit karena positif virus corona. Hal tersebut menjadikan jumlah korban total mencapai 5.373 orang. Itu juga menunjukkan tren penurunan. “Terlalu dini untuk mengatakan jaga jarak telah berhasil dan wabah menunjukkan penurunan,” kata Profesor Dame Angela McLean, deputi penasihat sains pemerintahan Inggris.

PM Boris Johnson dipindahkan ke ruang perawatan intensif di rumah sakit di London pada Senin (6/4/2020) malam, setelah kondisinya dilaporkan memburuk. Dalam beberapa hari ini, PM Johnson menunjukkan gejala seperti batuk dan suhu badan tinggi. Sebelumnya pada Senin siang (6/4/2020), dia mencuitkan statusnya di Twitter bahwa "kondisinya baik".

Pihak Istana Buckingham mengatakan bahwa Ratu Elizabeth telah mendapat informasi tentang kondisi PM Johnson. Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab untuk sementara menjalankan tugas-tugas Johnson. “PM Johnson mendapatkan perawatan terbaik di St Thomas' Hospital di London,” kata Raab.

Menteri Keuangan Rishi Sunak mendoakan kesembuhan untuk PM Johnson dan tunangannya yang sedang hamil, Carrie Symonds. Pemimpin partai oposisi, Partai Buruh, Sir Keir Starmer, menggambarkan sebagai "berita yang sangat menyedihkan". “Seluruh masyarakat Inggris mendoakan kesembuhan perdana menteri,” katanya.

BBC melaporkan perkembangan bahwa PM dipindahkan ke ruang perawatan intensif menunjukkan tingkat keparahan yang dideritanya. Tidak diketahui secara persis rincian kondisi kesehatan PM Johnson, namun dia sadar dan tidak menggunakan ventilator. Memang, tidak semua pasien di ruang perawatan intensif memakai ventilator, namun sekitar dua pertiga dari semua pasien virus corona harus dibantu dengan alat ini dalam 24 jam.

Ketika Johnson dibawa ke rumah sakit, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa dirinya mengirimkan "harapan baik bangsa kita" untuk Boris Johnson saat "ia memerangi virus". "Semua rakyat AS berdoa untuknya. Dia adalah teman baik saya, pria baik dan pemimpin hebat," kata Trump seraya menambahkan bahwa dia yakin sang perdana menteri dalam kondisi baik-baik saja, karena dia adalah "orang yang kuat". (Baca juga: Langgar Lockdown, Menkes Selandia Baru Mengaku Idiot dan Ajukan Resign)

Johnson telah bekerja dari rumah sejak diumumkan bahwa dia positif terinfeksi virus corona pada 27 Maret lalu. Johnson terakhir terlihat di depan umum pada Kamis malam (26/3/2020), saat memuji para petugas Badan Kesehatan Nasional Inggris, NHS (National Health Service), dan saat memimpin rapat membahas virus melalui telekonferensi.

Sementara itu, PM Denmark Mette Frederiksen mengumumkan rencana untuk membuka sekolah dasar pada 15 April mendatang. Dia juga akan memperlonggar isolasi wilayah. Dia mengatakan hal itu bisa dilakukan jika masyarakat tetap menghormati aturan jaga jarak dan jumlah infeksi yang terus stabil. “Kita juga harus mengambil langkah dengan hati-hati,” katanya.

Hal sama juga dilakukan Kanselir Austria Sebastian Kurz. Dia mempertimbangkan pelonggaran aturan. “Warga silakan berbelanja kembali selepas Paskah,” katanya.

Brasil Tuding China

Menteri Pendidikan Brasil Abraham Weintraub menuding bahwa wabah virus corona akan membantu China “mendominasi dunia”. Tudingan itu karena China telah membuat peralatan kesehatan untuk mengambil untung dari epidemi virus corona. Itu diungkapnnya pada cuitan di Twitter.

Sebelumnya, Kedutaan Besar China di Brasil telah mengkritik pernyataan putra Presiden Brasil Jair Bolsonaro yang membandingkan penanganan krisis corona di China dengan krisis nuklir Chernobyl di Uni Soviet. “Deklarasi absurb dan mengejek dengan karakter rasis dan benda yang tidak jelas menunjukkan pengaruh negatif terhadap perkembangan kesehatan hubungan bilateral,” demikian keterangan Kedutaan Besar China di Brasil.

Kementerian Pendidikan Brasil enggan berkomentar mengenai masalah itu. Weintraub pun tidak menjawab pertanyaan dari Reuters. Namun, dalam wawancara radio, Weintraub mengungkapkan dirinya tidak rasis. “Saya hanya menekankan penanganan pandemi dan menuding banyak pabrik China mengambil keuntungan besar,” kata Weintraub.

Pandemi Covid-19 telah memperburuk hubungan Brasil dan China. Padahal, keduanya adalah mitra perdagangan besar. China juga menjadi penyuplai peralatan medis. Namun, saat pemerintahan Bolsonaro berkuasa, hubungan itu semakin renggang.

Mengapa? Weintraub dan Menteri Luar Negeri Ernesto Araujo lebih menyerukan hubungan lebih dekat dengan AS dan lebih berhati-hati dengan China. Padahal, Beijing adalah pengimpor produk pertanian dan bijih besi asal Brasil.

Bolsonaro merupakan salah satu presiden yang mengabaikan penyakit virus corona. Dia menganggap itu sebagai “flu ringan”. Dia juga menentang langkah beberapa gubernur yang menyarankan jaga jarak karena bisa mengakibatkan krisis ekonomi.

Jumlah kasus virus corona di Brasil telah mencapai 11.130 kasus dengan jumlah korban meninggal mencapai 486 orang. Sebagian besar korban meninggal berada di Sao Paulo di mana Gubernur Joao Doria telah memberlakukan karantina wilayah hingga 22 April. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1168 seconds (0.1#10.140)