Menlu AS Pompeo Sebut Tindakan China di Xinjiang Noda Abad Ini

Kamis, 12 Maret 2020 - 22:45 WIB
Menlu AS Pompeo Sebut Tindakan China di Xinjiang Noda Abad Ini
Menlu AS Pompeo Sebut Tindakan China di Xinjiang Noda Abad Ini
A A A
JAKARTA - Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Michael Richard Pompeo menyoroti tindakan China terhadap kelompok minoritas di Xinjiang, termasuk Muslim Uighur, dalam peluncuran laporan praktik HAM di setiap negara di dunia tahun 2019. Menurutnya, apa yang terjadi di Xinjiang sebagai "noda abad ini".

Laporan praktik hak asasi manusia (HAM) di berbagai negara dirilis saban tahun oleh Departemen Luar Negeri Amerika. Sudah 44 tahun departemen tersebut rutin merilis laporan praktik HAM di berbagai negara setiap tahunnya.

"Pagi ini saya ingin menggarisbawahi beberapa contoh pelanggaran hak asasi manusia yang ditulis di dalam laporan 2019 yang terjadi di China, Iran, Venezuela, dan Kuba," kata Pompeo dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan Kedutaan Besar AS kepada SINDOnews.com, Kamis (12/3/2020).

Dia mencontohkan, di China, Partai Komunis China menggunakan sistem pengintaian berteknologi tinggi untuk mengawasi orang-orang yang berpotensi menjadi pembangkang. "China memenjarakan pengikut agama minoritas di kamp interniran, sebagai bagian dari sejarah antipati terhadap pemeluk agama tersebut," ujarnya.

"Seperti yang saya katakan tadi, catatan Partai Komunis China di Xinjiang merupakan noda abad ini. China mencoba menutup-nutupi aksinya dengan cara mengintimidasi para jurnalis," paparnya. "Warga negara China yang menginkan masa depan yang lebih baik dibalas dengan kekerasan."

Lebih lanjut, Menlu Pompeo mencontohkan apa yang dia sebut sebagai penyiksaan rezim China terhadap warganya. Menurutnya, pada bulan Juli, warga bernama Wang Meiyu berdiri di depan kantor polisi untuk menuntut diadakan pemilu. "Polisi menangkapnya, dan kurang dari tiga bulan kemudian istrinya mendapat telepon. Wang Meiyu meninggal dunia," kata Pompeo.

"Istrinya tidak pernah mendapatkan penjelasan. Justru ia diminta datang untuk mengidentifikasi jenazah yang sudah sangat memar dan rusak hingga hampir tidak bisa dikenali," lanjut dia.

Diplomat top Amerika ini kemudian menyoroti pelanggaran HAM di Iran."Beberapa bulan yang lalu, pada 19 Desember, saya berbicara tentang Pouya Bakhtiari. Ia adalah seorang teknisi muda berusia 27 tahun, dan satu dari ratusan ribu warga Iran yang memprotes rezim di sana musim gugur lalu. Ibundanya, Nahid, berada di sana bersamanya," kata Pompeo.

"Pada penghujung hari, mereka tidak lagi berbaris bersampingan. Nahid memeluk jenazah putranya. Pouya ditembak di kepala oleh aparat keamanan," sambung dia.

"Namun, mimpi buruk keluarganya belum berakhir. Sejak paparan saya tiga bulan yang lalu, rezim di Iran melarang keluarga Pouya untuk berduka mengikuti kepercayaan yang mereka anut. Ketika mereka mencoba memakamkan Pouya, keponakan, kakek-nenek, orang tua, dan anggota keluarganya yang lain ditangkap."

Menurut mantan direktur CIA ini, anggota keluarga Pouya sekarang telah dibebaskan, tapi mereka hidup dalam ketakutan sebagai tahanan rumah. "Hari ini, saya ingin orang-orang Iran yang hebat seperti keluarga Bakhtiari tahu bahwa Amerika mengenang mereka yang telah pergi dan berjuang untuk kemerdekaan mereka," katanya.

Diplomat andalan Presiden Donald Trump ini kemudian menggambarkan pelanggaran di Venezuela yang dia sebut dilakukan nyaris setiap hari oleh rezim Maduro."Setiap hari, terhadap rakyat Venezuela, termasuk pembunuhan di luar proses hukum, penghilangan paksa, penyiksaan, dan penahanan sewenang-wenang," katanya.

Dia mencontohkan, pada tahun lalu, pemimpin oposisi Elwin Mendoza diseret ke pengadilan militer. "Apa kesalahannya? Kesalahannya adalah memprotes, karena dia mendukung pengiriman bantuan kemanusiaan," ujar Pompeo.

"Preman-preman Maduro memenjarakannya. Keluarga maupun dokter dilarang mengunjunginya. Satu bulan kemudian ia meninggal dunia, pada usia 34 tahun," paparnya.

Terakhir, Pompeo mambahas pelanggaran HAM di Kuba. Dia menyinggung sosok bernama Jose Daniel Ferrer yang muncul 17 kali di dalam laporan praktik HAM 2019. "Dia adalah satu dari ribuan tahanan politik yang, selama bertahun-tahun, diseret, dirantai, dan dipukuli oleh rezim setempat. Besok dia dijatuhi hukuman oleh pengadilan Kuba," katanya.

"Tuduhan palsu yang kita saksikan ini mengikuti pola intimidasi sewenang-wenang terhadap warga negara Kuba yang kejahatannya adalah mengkritik kebijakan yang memberatkan negara tersebut selama 61 tahun terakhir," imbuh dia.

Laporan praktik HAM 2019 disusun oleh tim Departemen Luar Negeri Amerika di Washington dan kedutaan besar Amerika di seluruh dunia yang bekerja sama dengan para pakar di berbagai negara.

"Mereka senantiasa menetapkan standar tertinggi, dan tahun ini pun tidak berbeda," kata Pompeo dalam menggambarkan kualitas laporan departemennya.

"Kita berdoa pada suatu hari rakyat Kuba, Venezuela, China, Iran, dan semua orang dapat berbicara dan berkumpul secara bebas tanpa rasa takut akan pemerintah mereka sendiri," paparnya.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5923 seconds (0.1#10.140)