Jaksa Jerman Sebut Pelaku Penembakan di Bar Shisha Punya Mental Rasis
A
A
A
BERLIN - Pihak berwenang Jerman mengkonfirmasi jika tersangka di balik dua penembakan di pusat kota Hanau menunjukkan tanda-tanda mentalitas yang sangat rasis. Sebelas orang, termasuk pelaku, tewas dalam insiden tersebut dan enam lainnya luka-luka.
Jaksa Agung Jerman, Peter Frank, mengatakan sebuah video dan manifesto yang diposting di situs tersangka menyatakan tidak hanya pikiran gila dan teori konspirasi yang berbelit-belit, tetapi juga mentalitas yang sangat rasis. Dia mengutip ini sebagai alasan kantor jaksa agung mengambil alih investigasi. (Baca: Pelaku Penembakan Bar Shisha di Jerman Tinggalkan Manifesto )
"Jaksa penuntut sekarang harus mencari tahu, apakah ada pendukung atau kaki tangan lain dalam serangan Hanau," ujar Frank seperti dikutip dari Deutsche Welle, Jumat (21/2/2020).
Frank mengatakan jaksa penuntut akan memeriksa lingkungan tersangka dan koneksi yang diketahui, baik di Jerman maupun di negara lain.
"Investigasi akan dipimpin oleh polisi kriminal federal," Frank menambahkan.
Seorang pria Jerman berusia 43 tahun menjadi tersangka utama dalam serangan itu, yang terjadi pada Rabu malam di dua bar hookah atau shisha. Mayatnya dan mayat ibunya ditemukan oleh polisi di rumahnya, sehingga total korban tewas menjadi 11. Sebuah senjata ditemukan di samping keduanya. Polisi menemukan ayah tersangka tanpa cedera, kata kantor jaksa agung dalam sebuah pernyataan.
Jaksa federal segera mengambil alih penyelidikan karena beratnya kasus ini, karena tingkat penuntutan ini terutama menangani kasus-kasus kejahatan terhadap negara.
Penuntut federal secara eksklusif berurusan dengan kejahatan serius dan merupakan penuntut tertinggi, atau otoritas polisi di Jerman. Badan ini terutama menangani kasus-kasus kejahatan terhadap negara, termasuk pengkhianatan, spionase dan terorisme, serta kasus-kasus yang melibatkan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Seorang peneliti senior di Flemish Peace Institute, Nils Duquet mengatakan, serangan sayap kanan berbeda dari jenis penembakan massal dan serangan biasa karena pelaku sering memiliki akses hukum ke senjata api.
"Sepertinya pelaku memiliki izin berburu," katanya.
"Apa yang disadari oleh pasukan polisi di seluruh Eropa adalah bahwa mereka takut ekstremisme sayap kanan meningkat, dan bahwa orang-orang ini juga dapat memiliki akses ke senjata baik secara legal maupun ilegal. Itu menimbulkan peringatan," tukasnya.
Jaksa Agung Jerman, Peter Frank, mengatakan sebuah video dan manifesto yang diposting di situs tersangka menyatakan tidak hanya pikiran gila dan teori konspirasi yang berbelit-belit, tetapi juga mentalitas yang sangat rasis. Dia mengutip ini sebagai alasan kantor jaksa agung mengambil alih investigasi. (Baca: Pelaku Penembakan Bar Shisha di Jerman Tinggalkan Manifesto )
"Jaksa penuntut sekarang harus mencari tahu, apakah ada pendukung atau kaki tangan lain dalam serangan Hanau," ujar Frank seperti dikutip dari Deutsche Welle, Jumat (21/2/2020).
Frank mengatakan jaksa penuntut akan memeriksa lingkungan tersangka dan koneksi yang diketahui, baik di Jerman maupun di negara lain.
"Investigasi akan dipimpin oleh polisi kriminal federal," Frank menambahkan.
Seorang pria Jerman berusia 43 tahun menjadi tersangka utama dalam serangan itu, yang terjadi pada Rabu malam di dua bar hookah atau shisha. Mayatnya dan mayat ibunya ditemukan oleh polisi di rumahnya, sehingga total korban tewas menjadi 11. Sebuah senjata ditemukan di samping keduanya. Polisi menemukan ayah tersangka tanpa cedera, kata kantor jaksa agung dalam sebuah pernyataan.
Jaksa federal segera mengambil alih penyelidikan karena beratnya kasus ini, karena tingkat penuntutan ini terutama menangani kasus-kasus kejahatan terhadap negara.
Penuntut federal secara eksklusif berurusan dengan kejahatan serius dan merupakan penuntut tertinggi, atau otoritas polisi di Jerman. Badan ini terutama menangani kasus-kasus kejahatan terhadap negara, termasuk pengkhianatan, spionase dan terorisme, serta kasus-kasus yang melibatkan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Seorang peneliti senior di Flemish Peace Institute, Nils Duquet mengatakan, serangan sayap kanan berbeda dari jenis penembakan massal dan serangan biasa karena pelaku sering memiliki akses hukum ke senjata api.
"Sepertinya pelaku memiliki izin berburu," katanya.
"Apa yang disadari oleh pasukan polisi di seluruh Eropa adalah bahwa mereka takut ekstremisme sayap kanan meningkat, dan bahwa orang-orang ini juga dapat memiliki akses ke senjata baik secara legal maupun ilegal. Itu menimbulkan peringatan," tukasnya.
(ian)