Pengantin ISIS Asal Inggris Klaim al-Baghdadi Tak Begitu Radikal
A
A
A
AL-HOL - ABC News merilis laporan baru hasil wawancara dengan beberapa anggota ISIS yang ditangkap dan menghuni kamp pengungsi di Suriah, termasuk Shamima Begum yang berasal dari Inggris.
Begum, 20,—yang dijuluki sebagai pengantin ISIS karena pergi ke Suriah dan menikah dengan militan ISIS—mengklaim bahwa pemimpin ISIS yang telah tewas, Abu Bakar al-Baghdadi, tidak cukup radikal bagi anggota kelompok teroris tersebut.
Begum yang melarikan diri dari London untuk bergabung dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) ketika dia baru berusia 15 tahun telah berbicara dengan koresponden ABC News, James Longman, tentang kehidupannya setelah "kekhalifahan" ISIS runtuh.
Al-Baghdadi bunuh diri dengan meledakkan rompi bom selama operasi militer AS di Suriah tahun lalu. Begum mengatakan kepada ABC News bahwa beberapa wanita di kampnya senang ketika Baghdadi tewas.
"Beberapa dari mereka merayakan ketika Baghdadi tewas, karena dia tidak cukup radikal bagi mereka," kata Begum, yang dilansir Kamis (20/2/2020).
Perempuan muda ini berusaha menjauhkan diri dari mayoritas istri militan ISIS di kamp pengungsi. (Baca: Kewarganegaraan Dicabut, Pengantin ISIS Inggris: Dunia Saya Hancur )
Pada Februari tahun lalu, Menteri Dalam Negeri Inggris yang kala itu dijabat Sajid Javid mencabut kewarganegaraan Begum setelah dia ditemukan berada di sebuah kamp pengungsi Suriah.
Pengacara Begum berpendapat bahwa langkah itu melanggar hukum karena membuat Begum tidak memiliki kewarganegaraan. Namun, pengadilan di Inggris pada bulan ini memutuskan bahwa keputusan pemerintah tersebut sah.
"Seluruh dunia saya hancur berantakan," kata Begum ketika mengetahui kewarganegaraannya dicabut oleh pemerintah Inggris.
Dalam laporannya, koresponden ABC News juga berbicara dengan wanita Amerika Serikat (AS)-Kanada Kimberly Polman dan seorang Ibu asal Amerika, Hoda Mothana.
Polman mengatakan kepada James Longman bahwa dia percaya dirinya dan orang-orang di kamp pengungsi berada dalam bahaya karena ada radikalisasi. "Ada pisau dapur yang berlimpah di sini," katanya.
"Saya pernah melihat seorang anak memotong kepala boneka," ujarnya.
Mothana tinggal di kamp bersama putranya yang berusia dua tahun, Adam. Dia telah mengonfirmasi bahwa dia akan baik-baik saja pergi dengan anaknya jika ada kesempatan. Baik Mothana maupun Polman berusaha untuk kembali ke negara asal mereka.
Begum, 20,—yang dijuluki sebagai pengantin ISIS karena pergi ke Suriah dan menikah dengan militan ISIS—mengklaim bahwa pemimpin ISIS yang telah tewas, Abu Bakar al-Baghdadi, tidak cukup radikal bagi anggota kelompok teroris tersebut.
Begum yang melarikan diri dari London untuk bergabung dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) ketika dia baru berusia 15 tahun telah berbicara dengan koresponden ABC News, James Longman, tentang kehidupannya setelah "kekhalifahan" ISIS runtuh.
Al-Baghdadi bunuh diri dengan meledakkan rompi bom selama operasi militer AS di Suriah tahun lalu. Begum mengatakan kepada ABC News bahwa beberapa wanita di kampnya senang ketika Baghdadi tewas.
"Beberapa dari mereka merayakan ketika Baghdadi tewas, karena dia tidak cukup radikal bagi mereka," kata Begum, yang dilansir Kamis (20/2/2020).
Perempuan muda ini berusaha menjauhkan diri dari mayoritas istri militan ISIS di kamp pengungsi. (Baca: Kewarganegaraan Dicabut, Pengantin ISIS Inggris: Dunia Saya Hancur )
Pada Februari tahun lalu, Menteri Dalam Negeri Inggris yang kala itu dijabat Sajid Javid mencabut kewarganegaraan Begum setelah dia ditemukan berada di sebuah kamp pengungsi Suriah.
Pengacara Begum berpendapat bahwa langkah itu melanggar hukum karena membuat Begum tidak memiliki kewarganegaraan. Namun, pengadilan di Inggris pada bulan ini memutuskan bahwa keputusan pemerintah tersebut sah.
"Seluruh dunia saya hancur berantakan," kata Begum ketika mengetahui kewarganegaraannya dicabut oleh pemerintah Inggris.
Dalam laporannya, koresponden ABC News juga berbicara dengan wanita Amerika Serikat (AS)-Kanada Kimberly Polman dan seorang Ibu asal Amerika, Hoda Mothana.
Polman mengatakan kepada James Longman bahwa dia percaya dirinya dan orang-orang di kamp pengungsi berada dalam bahaya karena ada radikalisasi. "Ada pisau dapur yang berlimpah di sini," katanya.
"Saya pernah melihat seorang anak memotong kepala boneka," ujarnya.
Mothana tinggal di kamp bersama putranya yang berusia dua tahun, Adam. Dia telah mengonfirmasi bahwa dia akan baik-baik saja pergi dengan anaknya jika ada kesempatan. Baik Mothana maupun Polman berusaha untuk kembali ke negara asal mereka.
(mas)