Putusan Pengadilan Internasional Bikin Pengungsi Rohingya Semringah
A
A
A
DHAKA - Pengungsi Rohingya di Bangladesh menyambut gembira putusan Pengadilan Internasional (ICJ) terhadap Myanmar dalam kasus genosida. Putusan itu dinilai memberikan mereka harapan bisa kembali dengan selamat ke negara bagian Rakhine suatu hari nanti.
Para pengungsi Rohingya di kamp-kamp pengungsian Bazar Cox menyaksikan siaran langsung pembacaan putusan ICJ yang berbasis di Den Haag, Belanda, melalui televisi.
“Putusan ini membuat kami berharap tentang repatriasi yang kami inginkan, repatriasi dengan keamanan dan martabat, ke Arakan (Rakhine)," ujar Abdur Rahim, seorang pengungsi yang bertugas sebagai wakil presiden Masyarakat Arakan Rohingya untuk Perdamaian dan Hak Asasi Manusia, sebuah lembaga nirlaba.
"Semua orang Rohingya senang dengan keputusan itu," imbuh Rahim seperti dikutip dari Radio Free Asia, Jumat (24/1/2020).
Panel hakim ICJ yang berjumlah 17 orang memutuskan dengan suara bulat memerintahkan Myanmar untuk mengambil langkah-langkah untuk melindungi minoritas Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan dari kekejaman lebih lanjut. Hakim juga memerintahkan Myanmar untuk menahan diri dari menghancurkan bukti-bukti dugaan kejahatan yang dapat digunakan dalam pemeriksaan di masa depan. (Baca: Pengadilan Internasional: Rohingya Hadapi Ancaman Genosida )
Ketika para hakim menjatuhkan putusan mereka, beberapa pengungsi Rohingya di Bangladesh menangis. Sementara yang lain mulai berdoa.
Kasus terhadap Myanmar diajukan ke Pengadilan Internasional oleh Gambia, negara kecil di Afrika Barat yang mayoritas Muslim. Gambia mendesak ICJ untuk memastikan bahwa kekejaman terhadap orang-orang Rohingya tidak berlanjut.
Bulan lalu, pengacara yang mewakili Gambia mengutip informasi dari komisi pencarian fakta yang dimandatkan PBB, yang laporan akhirnya menyimpulkan bahwa serangan terhadap Rohingya di Rakhine dilakukan dengan niat genosida. (Baca: Gambia: Pengadilan Internasional Harus Hentikan Genosida di Myanmar )
“Pengaduan Gambia menceritakan penderitaan dan rasa sakit kami. Putusan ini memberi kami perasaan bahwa kami bisa mendapatkan pengakuan sebagai Rohingya di Myanmar. Kami berterima kasih kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” ujar seorang wanita Rohingya yang tinggal di kamp Lambarshia di Cox's Bazar, Shahana Akter.
Putusan ICJ ini juga disambut baik oleh Menteri Luar Negeri Bangladesh, A.K. Abdul Momen. Ditengah lawatannya ke Ekuador, Momen memuji putuan ICJ.
Dia menyebut putusan itu kemenangan bagi kemanusiaan dan tonggak sejarah bagi para aktivis hak asasi manusia di semua negara.
Sejak 2018, Bangladesh dan Myanmar telah mendorong rencana bilateral untuk pemulangan sukarela pengungsi Rohingya dari kamp di dan sekitar Cox's Bazar. Program ini gagal lepas landas karena para pengungsi telah menolak untuk kembali ke Rakhine, menyuarakan kekhawatiran tentang keselamatan mereka dan kewarganegaraan di Myanmar.
Lebih dari 740.000 Rohingya menyeberang ke Bangladesh ketika mereka melarikan diri dari serangan militer yang brutal, yang diluncurkan setelah serangan oleh pemberontak Rohingya terhadap pos-pos polisi dan tentara di Rakhine pada Agustus 2017.
Para pengungsi Rohingya di kamp-kamp pengungsian Bazar Cox menyaksikan siaran langsung pembacaan putusan ICJ yang berbasis di Den Haag, Belanda, melalui televisi.
“Putusan ini membuat kami berharap tentang repatriasi yang kami inginkan, repatriasi dengan keamanan dan martabat, ke Arakan (Rakhine)," ujar Abdur Rahim, seorang pengungsi yang bertugas sebagai wakil presiden Masyarakat Arakan Rohingya untuk Perdamaian dan Hak Asasi Manusia, sebuah lembaga nirlaba.
"Semua orang Rohingya senang dengan keputusan itu," imbuh Rahim seperti dikutip dari Radio Free Asia, Jumat (24/1/2020).
Panel hakim ICJ yang berjumlah 17 orang memutuskan dengan suara bulat memerintahkan Myanmar untuk mengambil langkah-langkah untuk melindungi minoritas Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan dari kekejaman lebih lanjut. Hakim juga memerintahkan Myanmar untuk menahan diri dari menghancurkan bukti-bukti dugaan kejahatan yang dapat digunakan dalam pemeriksaan di masa depan. (Baca: Pengadilan Internasional: Rohingya Hadapi Ancaman Genosida )
Ketika para hakim menjatuhkan putusan mereka, beberapa pengungsi Rohingya di Bangladesh menangis. Sementara yang lain mulai berdoa.
Kasus terhadap Myanmar diajukan ke Pengadilan Internasional oleh Gambia, negara kecil di Afrika Barat yang mayoritas Muslim. Gambia mendesak ICJ untuk memastikan bahwa kekejaman terhadap orang-orang Rohingya tidak berlanjut.
Bulan lalu, pengacara yang mewakili Gambia mengutip informasi dari komisi pencarian fakta yang dimandatkan PBB, yang laporan akhirnya menyimpulkan bahwa serangan terhadap Rohingya di Rakhine dilakukan dengan niat genosida. (Baca: Gambia: Pengadilan Internasional Harus Hentikan Genosida di Myanmar )
“Pengaduan Gambia menceritakan penderitaan dan rasa sakit kami. Putusan ini memberi kami perasaan bahwa kami bisa mendapatkan pengakuan sebagai Rohingya di Myanmar. Kami berterima kasih kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” ujar seorang wanita Rohingya yang tinggal di kamp Lambarshia di Cox's Bazar, Shahana Akter.
Putusan ICJ ini juga disambut baik oleh Menteri Luar Negeri Bangladesh, A.K. Abdul Momen. Ditengah lawatannya ke Ekuador, Momen memuji putuan ICJ.
Dia menyebut putusan itu kemenangan bagi kemanusiaan dan tonggak sejarah bagi para aktivis hak asasi manusia di semua negara.
Sejak 2018, Bangladesh dan Myanmar telah mendorong rencana bilateral untuk pemulangan sukarela pengungsi Rohingya dari kamp di dan sekitar Cox's Bazar. Program ini gagal lepas landas karena para pengungsi telah menolak untuk kembali ke Rakhine, menyuarakan kekhawatiran tentang keselamatan mereka dan kewarganegaraan di Myanmar.
Lebih dari 740.000 Rohingya menyeberang ke Bangladesh ketika mereka melarikan diri dari serangan militer yang brutal, yang diluncurkan setelah serangan oleh pemberontak Rohingya terhadap pos-pos polisi dan tentara di Rakhine pada Agustus 2017.
(ian)