Kata Analis, Sekutu AS Takut Jadi Target Balas Dendam Iran
A
A
A
DUBAI - Sekutu-sekutu Amerika Serikat (AS) di Teluk merasa takut karena berada di garis depan pembalasan Iran setelah pembunuhan komandan Pasukan Quds, Jenderal Qassem Soleimani . Demikian penilaian para analis.
Soleimani tewas pada Jumat pagi bersama beberapa orang, termasuk komandan milisi Syiah Irak, setelah konvoi mobil mereka dihantam serangan rudal pesawat nirawak Amerika di dekat Bandara Internasional Baghdad.
Serangan—diperintahkan oleh Presiden Donald John Trump—terjadi beberapa hari setelah serangan massa milisi Irak terhadap Kedutaan Besar AS di Baghdad.
Republik Islam Iran telah mengancam akan melakukan balas dendam secara keras atas kematian Soleimani. Ancaman serupa juga diumbar sekutu-sekutu regional Teheran, termasuk kelompok militan Hizbullah Lebanon dan pemberontak Houthi Yaman. (Baca: Jenderal Soleimani Dibunuh, AS dan Iran di Ambang Perang Besar-besaran )
"Ini adalah saat ketika mitra proksi Iran di seluruh kawasan akan dipanggil untuk mendukung Iran. Inilah saat dimana para analis telah khawatir dan memperingatkan," kata Sanam Vakil, analis dari Chatham House yang berbasis di London.
"Hubungan yang sangat terpisah ini sekarang akan dihubungkan bersama dengan cara transnasional," ujarnya, seperti dikutip AFP, Sabtu (4/1/2020).
"Prospek tanggapan terkoordinasi di antara sekutu militan Iran mungkin adalah skenario terburuk yang harus kita pikirkan," katanya.
Menurut Vakil, Irak—tempat Iran memiliki pengaruh besar dan tempat para pasukan AS berada—akan menjadi target termudah. Kedutaan Besar Amerika di Baghdad telah mendesak seluruh warga Amerika untuk meninggalkan Irak sesegera mungkin.
Tetapi ada kemungkinan lain. Beberapa kelompok pro-Iran memiliki kapasitas untuk melakukan serangan terhadap pangkalan-pangkalan AS di negara-negara Teluk serta terhadap kapal-kapal di Selat Hormuz—jalur perairan strategis yang dapat ditutup Teheran sesuka hati.
Kelompok-kelompok milisi pro-Iran juga dapat menyerang pasukan AS di Suriah, Kedutaan Besar Amerika di seluruh wilayah Timur Tengah, atau sekutu-sekutu Washington, termasuk Israel dan Arab Saudi. (Baca juga: AS Habisi Jenderal Soleimani, Iran Siap Balas Dendam )
"Perang? Kekacauan? Pembalasan terbatas? Tidak ada? Tidak ada yang benar-benar tahu—baik di wilayah (Timur Tengah) maupun di Washington—karena ini belum pernah terjadi sebelumnya," kata Kim Ghattas, analis dari Carnegie Endowment for International Peace.
Uni Emirat Arab dan sekutu AS, Arab Saudi, yang selama ini berseteru dengan Teheran adalah negara Teluk pertama yang bereaksi atas ancaman balas dendam Iran. Menteri Negara Luar Negeri Uni Emirat Arab Anwar Gargash menyerukan "kebijaksanaan dan moderasi" daripada "konfrontasi dan eskalasi".
"Ini adalah eskalasi besar dari situasi yang sudah tidak stabil di Timur Tengah, wilayah ini tidak mampu meningkatkan ketegangan," kata Jaber Al Lamki, seorang pejabat media yang terkait dengan pemerintah Uni Emirat Arab.
"Negara-negara itu harus merasa sangat prihatin tentang potensi kejatuhan dan risiko bagi masyarakat dan ekonomi mereka," imbuh Vakil, yang memperingatkan risiko dari konflik.
Serangkaian serangan yang dikaitkan dengan Iran telah menyebabkan kecemasan dalam beberapa bulan terakhir ketika Riyadh dan Washington mempertimbangkan bagaimana bereaksi.
"Baik Abu Dhabi dan Riyadh telah menyaksikan perkembangan di Irak pada akhir pekan dengan keprihatinan besar, khawatir bahwa Iran akan merespons pasukan AS di wilayah mereka," kata Andreas Krieg, analis dari King’s College London.
Menurut Krieg, ketakutan akan reaksi Amerika terhadap serangan rudal dan drone yang menghancurkan instalasi minyak Arab Saudi pada bulan September lalu mendorong Riyadh dan Abu Dhabi untuk mengadopsi pendekatan yang lebih berdamai, yang bertujuan menghindari konfrontasi dengan Iran dengan segala cara.
"Meskipun negara-negara Teluk bersatu dalam kecaman atas serangan terhadap Kedutaan Besar AS di Baghdad, tidak satu pun dari mereka akan mengambil risiko pada titik ini, diseret ke dalam spiral kekerasan yang meningkat ini," kata Krieg.
Jika Teheran memutuskan untuk menargetkan pasukan Amerika di Teluk, lanjut Krieg, negara itu harus melakukannya tanpa sepenuhnya menghancurkan hubungannya yang rapuh dengan negara-negara Teluk. Menurutnya, hal yang mungkin dilakukan Teheran adalah menargetkan pasukan AS secara langsung dan tanpa kerusakan tambahan.
Aziz Alghashian, seorang spesialis dalam urusan Timur Tengah di University of Essex, skeptis bahwa retorika Iran yang keras akan diikuti oleh aksi yang serasi.
"Inilah sebabnya mengapa serangan AS penting, mereka menyampaikan pesan yang kuat kepada Iran, dan semua (kelompok milisi) yang mengikuti Iran, bahwa jika pejabat AS menjadi sasaran, akan ada respons yang kuat," katanya.
Alghasian mengatakan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab mungkin menjadi sasaran dengan pembalasan "simbolis", karena kedua kekuatan Teluk itu lega bahwa AS akhirnya mengambil garis yang kuat melawan saingan mereka.
Soleimani tewas pada Jumat pagi bersama beberapa orang, termasuk komandan milisi Syiah Irak, setelah konvoi mobil mereka dihantam serangan rudal pesawat nirawak Amerika di dekat Bandara Internasional Baghdad.
Serangan—diperintahkan oleh Presiden Donald John Trump—terjadi beberapa hari setelah serangan massa milisi Irak terhadap Kedutaan Besar AS di Baghdad.
Republik Islam Iran telah mengancam akan melakukan balas dendam secara keras atas kematian Soleimani. Ancaman serupa juga diumbar sekutu-sekutu regional Teheran, termasuk kelompok militan Hizbullah Lebanon dan pemberontak Houthi Yaman. (Baca: Jenderal Soleimani Dibunuh, AS dan Iran di Ambang Perang Besar-besaran )
"Ini adalah saat ketika mitra proksi Iran di seluruh kawasan akan dipanggil untuk mendukung Iran. Inilah saat dimana para analis telah khawatir dan memperingatkan," kata Sanam Vakil, analis dari Chatham House yang berbasis di London.
"Hubungan yang sangat terpisah ini sekarang akan dihubungkan bersama dengan cara transnasional," ujarnya, seperti dikutip AFP, Sabtu (4/1/2020).
"Prospek tanggapan terkoordinasi di antara sekutu militan Iran mungkin adalah skenario terburuk yang harus kita pikirkan," katanya.
Menurut Vakil, Irak—tempat Iran memiliki pengaruh besar dan tempat para pasukan AS berada—akan menjadi target termudah. Kedutaan Besar Amerika di Baghdad telah mendesak seluruh warga Amerika untuk meninggalkan Irak sesegera mungkin.
Tetapi ada kemungkinan lain. Beberapa kelompok pro-Iran memiliki kapasitas untuk melakukan serangan terhadap pangkalan-pangkalan AS di negara-negara Teluk serta terhadap kapal-kapal di Selat Hormuz—jalur perairan strategis yang dapat ditutup Teheran sesuka hati.
Kelompok-kelompok milisi pro-Iran juga dapat menyerang pasukan AS di Suriah, Kedutaan Besar Amerika di seluruh wilayah Timur Tengah, atau sekutu-sekutu Washington, termasuk Israel dan Arab Saudi. (Baca juga: AS Habisi Jenderal Soleimani, Iran Siap Balas Dendam )
"Perang? Kekacauan? Pembalasan terbatas? Tidak ada? Tidak ada yang benar-benar tahu—baik di wilayah (Timur Tengah) maupun di Washington—karena ini belum pernah terjadi sebelumnya," kata Kim Ghattas, analis dari Carnegie Endowment for International Peace.
Uni Emirat Arab dan sekutu AS, Arab Saudi, yang selama ini berseteru dengan Teheran adalah negara Teluk pertama yang bereaksi atas ancaman balas dendam Iran. Menteri Negara Luar Negeri Uni Emirat Arab Anwar Gargash menyerukan "kebijaksanaan dan moderasi" daripada "konfrontasi dan eskalasi".
"Ini adalah eskalasi besar dari situasi yang sudah tidak stabil di Timur Tengah, wilayah ini tidak mampu meningkatkan ketegangan," kata Jaber Al Lamki, seorang pejabat media yang terkait dengan pemerintah Uni Emirat Arab.
"Negara-negara itu harus merasa sangat prihatin tentang potensi kejatuhan dan risiko bagi masyarakat dan ekonomi mereka," imbuh Vakil, yang memperingatkan risiko dari konflik.
Serangkaian serangan yang dikaitkan dengan Iran telah menyebabkan kecemasan dalam beberapa bulan terakhir ketika Riyadh dan Washington mempertimbangkan bagaimana bereaksi.
"Baik Abu Dhabi dan Riyadh telah menyaksikan perkembangan di Irak pada akhir pekan dengan keprihatinan besar, khawatir bahwa Iran akan merespons pasukan AS di wilayah mereka," kata Andreas Krieg, analis dari King’s College London.
Menurut Krieg, ketakutan akan reaksi Amerika terhadap serangan rudal dan drone yang menghancurkan instalasi minyak Arab Saudi pada bulan September lalu mendorong Riyadh dan Abu Dhabi untuk mengadopsi pendekatan yang lebih berdamai, yang bertujuan menghindari konfrontasi dengan Iran dengan segala cara.
"Meskipun negara-negara Teluk bersatu dalam kecaman atas serangan terhadap Kedutaan Besar AS di Baghdad, tidak satu pun dari mereka akan mengambil risiko pada titik ini, diseret ke dalam spiral kekerasan yang meningkat ini," kata Krieg.
Jika Teheran memutuskan untuk menargetkan pasukan Amerika di Teluk, lanjut Krieg, negara itu harus melakukannya tanpa sepenuhnya menghancurkan hubungannya yang rapuh dengan negara-negara Teluk. Menurutnya, hal yang mungkin dilakukan Teheran adalah menargetkan pasukan AS secara langsung dan tanpa kerusakan tambahan.
Aziz Alghashian, seorang spesialis dalam urusan Timur Tengah di University of Essex, skeptis bahwa retorika Iran yang keras akan diikuti oleh aksi yang serasi.
"Inilah sebabnya mengapa serangan AS penting, mereka menyampaikan pesan yang kuat kepada Iran, dan semua (kelompok milisi) yang mengikuti Iran, bahwa jika pejabat AS menjadi sasaran, akan ada respons yang kuat," katanya.
Alghasian mengatakan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab mungkin menjadi sasaran dengan pembalasan "simbolis", karena kedua kekuatan Teluk itu lega bahwa AS akhirnya mengambil garis yang kuat melawan saingan mereka.
(mas)