Kisah Sang Pengelus, Dewi Venus di Panti Jompo

Jum'at, 03 Januari 2020 - 07:51 WIB
Kisah Sang Pengelus,  Dewi Venus di Panti Jompo
Kisah Sang Pengelus, Dewi Venus di Panti Jompo
A A A
DUNIA berubah. Juga di Swiss. Dulu tabu, sekarang perlu. Urusan kepuasan seksual, yang dulunya hanya beredar lewat bisik bisik, kini masuk televisi, koran, radio, dan juga, tentu saja, ranah digital.

Padahal, ini bukan urusan ranjang biasa. Namun soal pemuasan hasrat purbawi bagi manula. Dua kelompok ini, manula dan disable, kerap kesulitan menyalurkan hasrat intimmnya.

Secara yuridis, tak ada bedanya dengan prostitusi. Namun “Sang Pengelus “ ini punya aturan main : “Hanya mengelus elus. Bersetubuh itu haram. Soal itu adalah privasi,“ kata Andrea, salah seorang “Pengelus”, kepada TeleZuri, stasiun televisi swasta Swiss.

Sementara Heidi Gregor, pengelus lainnya, memiliki aturan lebih ketat. “Tak ada ciuman, tak ada elusan di bagian intim,“ katanya. Tugasnya hanyalah memberikan arahan agar pasien terpuaskan.

Saat ini, seperti Andrea, sang pengelus ini lebih banyak beroperasi di panti jompo. Mereka datang ke pelanggan berdasarkan pesanan. “Saya ibu tiga anak, dan sekarang hidup bersama dengan pasangan saya,“ akunya. Tentu, imbuhnya, bukan hal mudah menjalani profesi ini jika punya pasangan. “Harus punya mental khusus, harus dan harus,“ tegas Andrea.

Sehabis mengelus elus pelanggan, masih kata Andrea, biasanya dia tidak menceritakannya kepada pasangannya ketika di rumah. “Ha ha ha, nggak sampai cerita detail, nggak perlu lah,“ katanya.

Andrea mengaku sangat grogi ketika menjalani profesi ini pertama kali. “Tapi kami berkomunikasi dulu, bahwa kami ini bukan manusia sempurna. Dan lambat laun hilanglah rasa panik itu, dari kedua belah pihak,” akunya.

Tak banyak berbeda dengan Andrea, Varena juga memiliki pelanggan tetap di panti jompo. Selain mendatangi langsung pasiennya, Andrea juga membuka praktik sendiri. “Jadi bisa juga datang kesini, atau saya yang berkunjung,“ katanya.

Tarif elus mengelus ini bervariasi. Namun rata rata 200 swiss franch (Rp2,8 juta) per jam. Jarak tempuh juga ada ongkos tambahan, jika pengelus harus datang ke pelanggannya. Rata rata 50 swiss franch (Rp700 ribu). Umumnya, memerlukan sekitar dua jam untuk pelayanan ini.

Seperti umumnya di Swiss, profesi ini tidak bisa sembarang orang menjalankannnya. Harus ada kursus. Paling tidak, etika elus mengelus ini harus dipatuhi. Seperti itu tadi, dilarang bersetubuh.

Pro Infirmis, lembaga yang mengurusi kaum disable, pernah akan menyelenggarakan kursus bagi calon pengelus. Namun lantaran banyak protes, akhirnya dibatalkan. Kini, di Basel, tepatnya ISBB, lembaga yang memperjuangkan kemandirian kaum disable, menyelenggarakan kursus tersebut. Hanya saja, peminat menjadi pengelus, tidak banyak. Saat ditargetkan bisa mendidik 10 orang, yang daftar cuma lima orang. Padahal permintaan jasa ini, cukup tinggi,“ kata Erich Hassler, petinggi ISBB.

Permintaan umumnya datang dari panti jompo. Sebulan sekali atau dua bulan sekali, pasien panti jompo yang memerlukan jasa ini, mendapatkan kepuasannya. “Kami biasanya tahu kalau ada pasien yang memerlukan jasa ini. Biasanya dengan sopan pasien minta perawat ke kamarnya atau sejenisnya,“ kata Brigitte, Dirut Panti Jompo Doldertal, Zurich. Maka, pihaknya akan mendatangkan jasa ini. Biasanya setelah mendapatkan pelayanan, tampak bahagia pasiennya,“ kata Brigitte.

Hingga kini, tidak ada dampak negatif. Pelanggan terpuaskan, pengelus dapat bayaran. Di Jerman sudah lama adanya praktik ini. Namanya berbeda, Sexbegleiter atau Sexasistant. Pedamping atau asisten urusan ranjang.

Kendati demikian, asuransi kesehatan masih menolak untuk membayar jasa pelayanan ini. “Pasien harus bayar sendiri,“ kata salah satu pemiliki panti jompo. (Krisna Diantha)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3979 seconds (0.1#10.140)