Terungkap, Kontraktor AS Bayar Taliban Afghanistan untuk Pengamanan
A
A
A
WASHINGTON - Sejumlah kontraktor internasional asal Amerika Serikat (AS) dan negara lain yang memiliki proyek besar di Afghanistan diketahui membayar uang suap kepada kelompok Taliban untuk melindungi para stafnya di negara itu. Parahnya, uang suap itu digunakan Taliban untuk mendanai serangan terhadap tentara Amerika dan kontraktor lain yang tidak membayar.
Praktik kotor itu terungkap setelah keluarga para korban serangan Taliban mengajukan gugatan sipil di pengadilan Amerika.
"Perusahaan besar yang memiliki bisnis menguntungkan di Afghanistan membayar Taliban melalui serangkaian subkontraktor, menyuap para militan Afghanistan untuk menghemat uang untuk keamanan," bunyi dokumen gugatan hukum yang diajukan pada hari Jumat di pengadilan federal oleh keluarga dari 143 tentara dan kontraktor AS yang terluka dan terbunuh selama perang terpanjang dalam sejarah Amerika tersebut.
Gugatan sipil setebal 288 halaman itu menuduh Taliban menggunakan uang suap untuk membiayai aksi-aksi terorisme terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak menyuap mereka.
Taliban dulunya adalah rezim berkuasa di Afghanistan yang didukung al-Qaeda. Namun, rezim itu digulingkan oleh invasi Amerika Serikat (AS) dan NATO setelah serangan 11 September 2001. Sejak invasi itu, Afghanistan menjadi negara kacau hingga saat ini.
Menurut dokumen gugatan, seorang karyawan Kedutaan Besar AS di Kabul menyebut uang suap itu sebagai "kejahatan terorganisir" dan melanggar Undang-Undang Anti-Terorisme AS.
Masih menurut dokumen gugatan yang dikutip Wall Street Journal, Sabtu (28/12/2019), antara 20 hingga 40 persen dari dana untuk proyek-proyek besar seperti Bendungan Kajaki dan sebagian dari Ring Road masuk ke kantong-kantong gerilyawan Afghanistan antara 2009 hingga 2017.
Para kontraktor yang menyuap Taliban menggunakan uang tunai Pentagon untuk menyewa sub-kontraktor, yang menyewa sub-kontraktor lain dan seterusnya, hingga akhirnya uang itu berakhir di tangan Taliban.
Beberapa perkiraan pemerintah menunjukkan pasukan Taliban pada 2019 lebih besar daripada kapan pun selama 18 tahun terakhir perang yang merenggut nyawa lebih dari 38.000 warga sipil Afghanistan, 2.400 tentara AS, dan menghabiskan lebih dari USD2 triliun dana pembayar pajak Amerika.
Dua tergugat, DAI Global dan Louis Berger Group, menerima sekitar setengah dari total kontrak di Afghanistan yang didistribusikan oleh Badan Pembangunan Internasional AS atau USAID dari 2007 hingga 2009 sekitar USD1 miliar. Dua kontraktor itu sama-sama berbasis di Amerika Serikat.
DAI dituduh menyuap Taliban dari 2006 hingga 2012 sambil melaksanakan kontrak senilai ratusan juta dolar di bidang yang mereka kuasai.
"Praktik standar dalam keadaan seperti itu adalah membayar uang perlindungan untuk mencegah Taliban menyerang proyek-proyek mereka," bunyi dokumen gugatan. Sedangkan Louis Berger dituduh mengkategorikan Taliban yang menerima pembayaran sebagai kelompok "moderat" karena mereka tidak secara aktif menghancurkan pekerjaan korporasi.
Kontraktor Amerika lainnya yang digugat adalah Black & Veatch Special Projects Corp, Centerra Group LLC, dan Janus Global Operations LLC. Kontraktor Inggris G4S PLC dan kontraktor Afika Selatan MTN Group juga ada dalam daftar tergugat.
Tidak ada perusahaan, kecuali Black & Veatch yang menanggapi permintaan komentar dari Wall Street Journal, media pertama yang melaporkan gugatan tersebut. Menurut seorang juru bicara Black & Veatch, perusahaan hanya mengikuti instruksi pemerintah AS dan bangga dengan pekerjaannya di Afghanistan.
Praktik kotor itu terungkap setelah keluarga para korban serangan Taliban mengajukan gugatan sipil di pengadilan Amerika.
"Perusahaan besar yang memiliki bisnis menguntungkan di Afghanistan membayar Taliban melalui serangkaian subkontraktor, menyuap para militan Afghanistan untuk menghemat uang untuk keamanan," bunyi dokumen gugatan hukum yang diajukan pada hari Jumat di pengadilan federal oleh keluarga dari 143 tentara dan kontraktor AS yang terluka dan terbunuh selama perang terpanjang dalam sejarah Amerika tersebut.
Gugatan sipil setebal 288 halaman itu menuduh Taliban menggunakan uang suap untuk membiayai aksi-aksi terorisme terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak menyuap mereka.
Taliban dulunya adalah rezim berkuasa di Afghanistan yang didukung al-Qaeda. Namun, rezim itu digulingkan oleh invasi Amerika Serikat (AS) dan NATO setelah serangan 11 September 2001. Sejak invasi itu, Afghanistan menjadi negara kacau hingga saat ini.
Menurut dokumen gugatan, seorang karyawan Kedutaan Besar AS di Kabul menyebut uang suap itu sebagai "kejahatan terorganisir" dan melanggar Undang-Undang Anti-Terorisme AS.
Masih menurut dokumen gugatan yang dikutip Wall Street Journal, Sabtu (28/12/2019), antara 20 hingga 40 persen dari dana untuk proyek-proyek besar seperti Bendungan Kajaki dan sebagian dari Ring Road masuk ke kantong-kantong gerilyawan Afghanistan antara 2009 hingga 2017.
Para kontraktor yang menyuap Taliban menggunakan uang tunai Pentagon untuk menyewa sub-kontraktor, yang menyewa sub-kontraktor lain dan seterusnya, hingga akhirnya uang itu berakhir di tangan Taliban.
Beberapa perkiraan pemerintah menunjukkan pasukan Taliban pada 2019 lebih besar daripada kapan pun selama 18 tahun terakhir perang yang merenggut nyawa lebih dari 38.000 warga sipil Afghanistan, 2.400 tentara AS, dan menghabiskan lebih dari USD2 triliun dana pembayar pajak Amerika.
Dua tergugat, DAI Global dan Louis Berger Group, menerima sekitar setengah dari total kontrak di Afghanistan yang didistribusikan oleh Badan Pembangunan Internasional AS atau USAID dari 2007 hingga 2009 sekitar USD1 miliar. Dua kontraktor itu sama-sama berbasis di Amerika Serikat.
DAI dituduh menyuap Taliban dari 2006 hingga 2012 sambil melaksanakan kontrak senilai ratusan juta dolar di bidang yang mereka kuasai.
"Praktik standar dalam keadaan seperti itu adalah membayar uang perlindungan untuk mencegah Taliban menyerang proyek-proyek mereka," bunyi dokumen gugatan. Sedangkan Louis Berger dituduh mengkategorikan Taliban yang menerima pembayaran sebagai kelompok "moderat" karena mereka tidak secara aktif menghancurkan pekerjaan korporasi.
Kontraktor Amerika lainnya yang digugat adalah Black & Veatch Special Projects Corp, Centerra Group LLC, dan Janus Global Operations LLC. Kontraktor Inggris G4S PLC dan kontraktor Afika Selatan MTN Group juga ada dalam daftar tergugat.
Tidak ada perusahaan, kecuali Black & Veatch yang menanggapi permintaan komentar dari Wall Street Journal, media pertama yang melaporkan gugatan tersebut. Menurut seorang juru bicara Black & Veatch, perusahaan hanya mengikuti instruksi pemerintah AS dan bangga dengan pekerjaannya di Afghanistan.
(mas)