China Dilaporkan Hendak Tulis Ulang Alquran Memicu Protes di Malaysia
A
A
A
KUALA LUMPUR - Laporan yang menyebut China akan menulis ulang Alquran dan Alkitab agar selaras dengan nilai-nilai sosialis memicu protes dari kelompok-kelompok Islam di Malaysia. Laporan itu muncul di saat krisis Xinjiang menjadi sorotan dunia.
Protes di Malaysia disuarakan Dewan Konsultatif Malaysia untuk Organisasi Islam (MAPIM). Gabungan kelompok Islam itu mengaku marah dengan upaya China sebagaimana dilaporkan Dailymail pada 24 Desember 2019. Presiden MAMPIM, Mohd Azmi Abd Hamid, dalam sebuah pernyataan menuntut pihak berwenang Beijing untuk menjelaskan beberapa poin dari laporan media tersebut.
Poin-poin itu antara lain, pertama, tentang semua kitab agama klasik yang diterjemahkan harus dievaluasi ulang. Kedua, edisi-edisi baru kitab-kitab agama tidak boleh mengandung konten apa pun yang bertentangan dengan sosialisme. Ketiga, paragraf dalam kitab agama yang dianggap salah oleh sensor akan diubah atau diterjemahkan ulang.
"Kami sangat marah dengan serangkaian kebijakan terhadap Muslim yang dieksekusi oleh China," kata Mohd Azmi, seperti dikutip New Straits Times, Kamis (26/12/2019). (Baca: China Dilaporkan Bakal Tulis Ulang Alquran dan Alkitab )
Menurut laporan media yang berbasis di Inggris tersebut, perintah untuk menulis ulang kitab-kitab agama keluar pada bulan November selama pertemuan yang diadakan oleh Komite Urusan Etnis dan Agama Komite Nasional Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China, sebuah komite yang mengawasi masalah etnis dan agama di negara tersebut.
Menurut kantor berita Xinhua, sekitar 16 ahli yang merupakan perwakilan agama yang berbeda dari Komite Sentral Partai Komunis China menghadiri konferensi bulan lalu. Konferensi diawasi oleh Wang Yang, Ketua Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China.
Wang mendesak para pejabat untuk membangun sistem keagamaan dengan karakteristik China. Menurut komite tersebut, mengevaluasi ulang kitab-kitab agama akan mencegah "pemikiran ekstrem" dan "ide-ide sesat" yang mengikis negara.
Menurut surat kabar Prancis, Le Figaro, Wang menekankan bahwa otoritas agama harus mengikuti instruksi Presiden Xi Jinping dan menafsirkan ideologi agama yang berbeda sesuai dengan nilai-nilai inti sosialisme.
Mohd Azmi mengatakan jika laporan sejumlah media itu benar, maka itu merupakan penghinaan terhadap Islam dan tidak akan pernah ditoleransi. Menurutnya, umat Kristen juga akan membenci upaya China itu karena merupakan tindakan campur tangan Partai Komunis terhadap agama.
"Penulisan ulang Alquran akan dipandang sebagai perang melawan Islam dan umat Islam di seluruh dunia pasti akan berdiri untuk menegur kebijakan ini," katanya.
"Kami mengingatkan China untuk tidak melewati garis merah. Penindasan besar-besaran terhadap Muslim Uighur telah banyak dikritik oleh komunitas internasional dan Muslim tidak akan mentoleransi kebijakan kasar seperti itu untuk mengubah teks Islam yang paling suci," paparnya.
"Kami menuntut kebenaran laporan ini dan jika China menolak untuk merespons, kami akan mengikuti dengan cermat jika kebijakan itu benar-benar diterapkan atau kebijakan itu dicabut," sambung dia.
"Kami menyerukan kembali bahwa OKI (Organisasi Kerjasama Islam) tidak boleh diam mengenai nasib Muslim Uighur dan Muslim pada umumnya di China," imbuh Mohd Azmi.
Pemerintah China melalui berbagai Kedutaan Besar-nya di beberapa negara telah membantah laporan tentang persekusi maupun penahanana sekitar 1 juta Muslim Uighur di beberapa kamp di Xinjiang. Menurut Beijing, kejadian yang sebenarnya adalah kamp-kamp itu merupakan tempat pelatihan dan pendidikan kejuruan bagi para warga yang melakukan pelanggaran di Xinjiang. Mereka yang lulus telah mendapatkan pekerjaan.
China juga mengklaim kebijakan yang diterapkan di Xinjiang adalah kebijakan kontraterorisme. China bahkan mengundang para warga Indonesia dan Malaysia untuk berkunjung ke Xinjiang guna melihat langsung apa yang terjadi di sana. Pemerintah negara Tirai Bambu ini mengecam laporan-laporan media Barat soal persekusi dan penahanan massal Muslim Uighur sebagai laporan palsu atau hoaks.
Protes di Malaysia disuarakan Dewan Konsultatif Malaysia untuk Organisasi Islam (MAPIM). Gabungan kelompok Islam itu mengaku marah dengan upaya China sebagaimana dilaporkan Dailymail pada 24 Desember 2019. Presiden MAMPIM, Mohd Azmi Abd Hamid, dalam sebuah pernyataan menuntut pihak berwenang Beijing untuk menjelaskan beberapa poin dari laporan media tersebut.
Poin-poin itu antara lain, pertama, tentang semua kitab agama klasik yang diterjemahkan harus dievaluasi ulang. Kedua, edisi-edisi baru kitab-kitab agama tidak boleh mengandung konten apa pun yang bertentangan dengan sosialisme. Ketiga, paragraf dalam kitab agama yang dianggap salah oleh sensor akan diubah atau diterjemahkan ulang.
"Kami sangat marah dengan serangkaian kebijakan terhadap Muslim yang dieksekusi oleh China," kata Mohd Azmi, seperti dikutip New Straits Times, Kamis (26/12/2019). (Baca: China Dilaporkan Bakal Tulis Ulang Alquran dan Alkitab )
Menurut laporan media yang berbasis di Inggris tersebut, perintah untuk menulis ulang kitab-kitab agama keluar pada bulan November selama pertemuan yang diadakan oleh Komite Urusan Etnis dan Agama Komite Nasional Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China, sebuah komite yang mengawasi masalah etnis dan agama di negara tersebut.
Menurut kantor berita Xinhua, sekitar 16 ahli yang merupakan perwakilan agama yang berbeda dari Komite Sentral Partai Komunis China menghadiri konferensi bulan lalu. Konferensi diawasi oleh Wang Yang, Ketua Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China.
Wang mendesak para pejabat untuk membangun sistem keagamaan dengan karakteristik China. Menurut komite tersebut, mengevaluasi ulang kitab-kitab agama akan mencegah "pemikiran ekstrem" dan "ide-ide sesat" yang mengikis negara.
Menurut surat kabar Prancis, Le Figaro, Wang menekankan bahwa otoritas agama harus mengikuti instruksi Presiden Xi Jinping dan menafsirkan ideologi agama yang berbeda sesuai dengan nilai-nilai inti sosialisme.
Mohd Azmi mengatakan jika laporan sejumlah media itu benar, maka itu merupakan penghinaan terhadap Islam dan tidak akan pernah ditoleransi. Menurutnya, umat Kristen juga akan membenci upaya China itu karena merupakan tindakan campur tangan Partai Komunis terhadap agama.
"Penulisan ulang Alquran akan dipandang sebagai perang melawan Islam dan umat Islam di seluruh dunia pasti akan berdiri untuk menegur kebijakan ini," katanya.
"Kami mengingatkan China untuk tidak melewati garis merah. Penindasan besar-besaran terhadap Muslim Uighur telah banyak dikritik oleh komunitas internasional dan Muslim tidak akan mentoleransi kebijakan kasar seperti itu untuk mengubah teks Islam yang paling suci," paparnya.
"Kami menuntut kebenaran laporan ini dan jika China menolak untuk merespons, kami akan mengikuti dengan cermat jika kebijakan itu benar-benar diterapkan atau kebijakan itu dicabut," sambung dia.
"Kami menyerukan kembali bahwa OKI (Organisasi Kerjasama Islam) tidak boleh diam mengenai nasib Muslim Uighur dan Muslim pada umumnya di China," imbuh Mohd Azmi.
Pemerintah China melalui berbagai Kedutaan Besar-nya di beberapa negara telah membantah laporan tentang persekusi maupun penahanana sekitar 1 juta Muslim Uighur di beberapa kamp di Xinjiang. Menurut Beijing, kejadian yang sebenarnya adalah kamp-kamp itu merupakan tempat pelatihan dan pendidikan kejuruan bagi para warga yang melakukan pelanggaran di Xinjiang. Mereka yang lulus telah mendapatkan pekerjaan.
China juga mengklaim kebijakan yang diterapkan di Xinjiang adalah kebijakan kontraterorisme. China bahkan mengundang para warga Indonesia dan Malaysia untuk berkunjung ke Xinjiang guna melihat langsung apa yang terjadi di sana. Pemerintah negara Tirai Bambu ini mengecam laporan-laporan media Barat soal persekusi dan penahanan massal Muslim Uighur sebagai laporan palsu atau hoaks.
(mas)