Mahathir Kecam UU 'Anti-Muslim' India: Sebabkan Orang-orang Sekarat
A
A
A
KUALA LUMPUR - Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad mengecam undang-undang kewarganegaraan baru India, yang dianggap diskriminatif terhadap migran Muslim. Menurutnya, UU yang memicu protes besar-besaran itu telah menyebabkan orang-orang sekarat.
UU baru itu mengamanatkan pemberian kewarganegaraan bagi para migran yang teraniaya di negara asal. Namun, aturan itu mengecualikan migran Muslim seperti warga Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar.
Mahathir mempertanyakan keharusan mendaftar kewarganegaraan India dalam UU bernama Citizenship Amendment Act (CAA) ketika orang-orang yang dimaksud sudah hidup selama 70 tahun di negara itu.
"Orang-orang sekarat karena undang-undang ini. Mengapa ada keharusan untuk melakukan ini ketika, selama 70 tahun, mereka hidup bersama sebagai warga negara tanpa masalah?," tanya Mahathir di sela-sela forum Kuala Lumpur Summit 2019, hari Jumat.
Undang-undang itu memicu kekhawatiran bahwa Perdana Menteri Narendra Modi ingin membentuk kembali India sebagai negara Hindu dan memarginalkan 200 juta warga Muslim-nya. Data resmi di negara itu menunjukkan populasi Muslim hampir 14 persen dari 1,3 miliar penduduk India.
"Saya menyesal melihat bahwa India, yang mengklaim sebagai negara sekuler, sekarang mengambil tindakan untuk merampas beberapa warga Muslim dari kewarganegaraan mereka," kata pemimpin berusia 94 tahun itu.
"Jika kita melakukan itu di sini, saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Akan ada kekacauan dan ketidakstabilan, dan semua orang akan menderita," ujarnya, seperti dikutip Al Jazeera, Sabtu (21/12/2019).
Komentar Mahathir muncul di tengah protes mematikan di India terkait pengesahan CAA, di mana setidaknya sembilan orang telah tewas dalam demonstrasi yang berujung bentrok dengan polisi.
Pada hari Jumat, ketegangan meluas di seluruh negeri, termasuk di New Delhi di mana beberapa stasiun metropolitan ditutup dan akses internet diputus.
Ribuan orang di distrik yang didominasi Muslim di New Delhi berbaris setelah salat Jumat. Mereka membawa bendera India yang besar dan meneriakkan slogan anti-pemerintah Modi.
Protes terus diorganisir di berbagai kota di India ketika pihak berwenang memberlakukan larangan pertemuan publik dan menangkap ratusan orang.
PBB menyebut CAA secara fundamental diskriminatif. Sedangkan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mendesak India untuk melindungi hak-hak minoritas.
UU baru itu mengamanatkan pemberian kewarganegaraan bagi para migran yang teraniaya di negara asal. Namun, aturan itu mengecualikan migran Muslim seperti warga Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar.
Mahathir mempertanyakan keharusan mendaftar kewarganegaraan India dalam UU bernama Citizenship Amendment Act (CAA) ketika orang-orang yang dimaksud sudah hidup selama 70 tahun di negara itu.
"Orang-orang sekarat karena undang-undang ini. Mengapa ada keharusan untuk melakukan ini ketika, selama 70 tahun, mereka hidup bersama sebagai warga negara tanpa masalah?," tanya Mahathir di sela-sela forum Kuala Lumpur Summit 2019, hari Jumat.
Undang-undang itu memicu kekhawatiran bahwa Perdana Menteri Narendra Modi ingin membentuk kembali India sebagai negara Hindu dan memarginalkan 200 juta warga Muslim-nya. Data resmi di negara itu menunjukkan populasi Muslim hampir 14 persen dari 1,3 miliar penduduk India.
"Saya menyesal melihat bahwa India, yang mengklaim sebagai negara sekuler, sekarang mengambil tindakan untuk merampas beberapa warga Muslim dari kewarganegaraan mereka," kata pemimpin berusia 94 tahun itu.
"Jika kita melakukan itu di sini, saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Akan ada kekacauan dan ketidakstabilan, dan semua orang akan menderita," ujarnya, seperti dikutip Al Jazeera, Sabtu (21/12/2019).
Komentar Mahathir muncul di tengah protes mematikan di India terkait pengesahan CAA, di mana setidaknya sembilan orang telah tewas dalam demonstrasi yang berujung bentrok dengan polisi.
Pada hari Jumat, ketegangan meluas di seluruh negeri, termasuk di New Delhi di mana beberapa stasiun metropolitan ditutup dan akses internet diputus.
Ribuan orang di distrik yang didominasi Muslim di New Delhi berbaris setelah salat Jumat. Mereka membawa bendera India yang besar dan meneriakkan slogan anti-pemerintah Modi.
Protes terus diorganisir di berbagai kota di India ketika pihak berwenang memberlakukan larangan pertemuan publik dan menangkap ratusan orang.
PBB menyebut CAA secara fundamental diskriminatif. Sedangkan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mendesak India untuk melindungi hak-hak minoritas.
(mas)