Setelah Lama Tertunda, NATO Terima Drone Pengintai Buatan AS
A
A
A
SIGONELLA - NATO akan menerima drone pengintai Global Hawk buatan Amerika Serikat (AS) pada Kamis (19/12). NATO akan memiliki lima drone itu pada 2022.
Drone tersebut merupakan yang kedua diterima dari sistem pengintai senilai total USD1,5 miliar (Rp21 triliun). Setelah beberapa tahun tertunda, sistem drone itu menurut NATO akan menjadi yang paling canggih di dunia, memberi pengintaian 24 jam secara hampir real time di darat dan laut, di luar perbatasan, serta memberi visibilitas lebih besar dibandingkan satelit.
"Ini menjadi jalan yang sangat, sangat panjang," ungkap Brigadir Jenderal Volker Samanns, manajer senior di sistem drone NATO Alliance Ground Surveillance (AGS).
Sistem drone itu pertama kali dibahas tiga dekade silam dan dijadwalkan beroperasi sejak 2017. Setelah menyelesaikan perselisihan kontrak terkait biayanya dengan manufaktur Northrup Grumman, drone pertama dikirimkan bulan lalu ke pangkalan udara Sigonella di Italia.
Setelah pengiriman drone kedua, tiga drone lagi akan datang pada musim panas mendatang.
"Kami pada dasarnya menciptakan angkatan udara kecil," kata dia di pangkalan udara di Sisilia, tempat NATO menunjukkan drone itu.
Drone itu dapat terbang hingga 30 jam di ketinggian tinggi dalam segala cuaca, melihat menembus awan dan badai untuk menghasilkan peta, foto dan data yang rinci untuk pada komandan militer.
15 anggota NATO telah mendanai akuisisi drone itu, termasuk Jerman, Polandia, AS dan Italia, serta stasiun darat yang dibangun Airbus.
Semua 29 aliansi akan memiliki akses pada intelijen yang dihasilkan sistem drone itu, termasuk lokasi-lokasi rudal di Rusia, aktivitas militan di Timur Tengah atau perompak di lepas pantai Afrika.
Drone-drone itu akan dikendalikan jarak jauh dari Sigonella dan akan terbang di ruang udara NATO, tapi juga dapat terbang lebih luas dalam konflik. Drone semakin penting dalam perang modern karena waktu terbang yang lama dan dapat mengumpulkan intelijen.
Drone tersebut merupakan yang kedua diterima dari sistem pengintai senilai total USD1,5 miliar (Rp21 triliun). Setelah beberapa tahun tertunda, sistem drone itu menurut NATO akan menjadi yang paling canggih di dunia, memberi pengintaian 24 jam secara hampir real time di darat dan laut, di luar perbatasan, serta memberi visibilitas lebih besar dibandingkan satelit.
"Ini menjadi jalan yang sangat, sangat panjang," ungkap Brigadir Jenderal Volker Samanns, manajer senior di sistem drone NATO Alliance Ground Surveillance (AGS).
Sistem drone itu pertama kali dibahas tiga dekade silam dan dijadwalkan beroperasi sejak 2017. Setelah menyelesaikan perselisihan kontrak terkait biayanya dengan manufaktur Northrup Grumman, drone pertama dikirimkan bulan lalu ke pangkalan udara Sigonella di Italia.
Setelah pengiriman drone kedua, tiga drone lagi akan datang pada musim panas mendatang.
"Kami pada dasarnya menciptakan angkatan udara kecil," kata dia di pangkalan udara di Sisilia, tempat NATO menunjukkan drone itu.
Drone itu dapat terbang hingga 30 jam di ketinggian tinggi dalam segala cuaca, melihat menembus awan dan badai untuk menghasilkan peta, foto dan data yang rinci untuk pada komandan militer.
15 anggota NATO telah mendanai akuisisi drone itu, termasuk Jerman, Polandia, AS dan Italia, serta stasiun darat yang dibangun Airbus.
Semua 29 aliansi akan memiliki akses pada intelijen yang dihasilkan sistem drone itu, termasuk lokasi-lokasi rudal di Rusia, aktivitas militan di Timur Tengah atau perompak di lepas pantai Afrika.
Drone-drone itu akan dikendalikan jarak jauh dari Sigonella dan akan terbang di ruang udara NATO, tapi juga dapat terbang lebih luas dalam konflik. Drone semakin penting dalam perang modern karena waktu terbang yang lama dan dapat mengumpulkan intelijen.
(sfn)