Greta Thunberg Menginspirasi Kaum Muda Peduli Lingkungan
A
A
A
WASHINGTON - Aktivis lingkungan asal Swedia, Greta Thunberg, dinobatkan sebagai Person of the Year 2019 versi majalah TIME. Siswa berusia 16 tahun tersebut dinilai menginspirasi jutaan generasi muda di seluruh dunia untuk beraksi melawan perubahan iklim. Namun, dia juga dikenal sebagai sosok yang kontroversial.
Greta merupakan aktivis yang vokal menyuarakan keprihatinan terkait perubahan iklim dan sering mengkritisi pejabat negara yang dianggapnya tidak melakukan tindakan. Selain menekan Pemerintah Swedia, dia juga menekan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memerhatikan isu tersebut secara lebih serius.
Dengan suara perlawanan yang tinggi, Greta tidak hanya menarik perhatian aktivis lingkungan lain, tapi juga siswa sekolah seusianya di seluruh dunia. Di negaranya, dia bersama teman-temannya menggelar aksi gerakan mogok sekolah dan melakukan protes di depan Parlemen dengan tema masa depan cerah.
Pamor Greta mulai naik setelah aksinya banyak diulas media Eropa dan Amerika Serikat (AS). Sebelum mendapat gelar TIME, Person of the Year, dia juga pernah meraih sejumlah penghargaan dari Royal Scottish Geographical Society, masuk jajaran 100 orang paling berpengaruh TIME, dan nominator Nobel Perdamaian.
“Sekitar 16 bulan sejak Greta memulai protes, dia berhadapan langsung dengan kepala negara anggota PBB, bertemu Paus, berdebat dengan Presiden AS, dan menginspirasi 4 juta orang untuk bergabung melakukan protes,” tulis TIME. “Sastrawan Margaret Atwood menyandingkannya dengan Joan of Arc,” tambah TIME.
Greta saat ini sedang mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB di Madrid, Spanyol. KTT itu dimaksudkan untuk menyepakati cara dalam menerapkan Kesepakatan Paris 2015. Selama di Madrid, dia berbicara secara lantang dan gamblang terkait minimnya upaya pemerintah dunia dalam melawan perubahan iklim.
“Pertemuan ini seperti menjadi peluang bagi negara di dunia untuk mencari celah dan menghindari kewajibannya memenuhi emisi gas rumah kaca,” ujar Greta, dikutip Reuters. “Saya yakin jika masyarakat dunia berada di sini dan ikut mendengar apa yang diperbincangkan, mereka juga pasti akan marah,” sambungnya.
Bolos Sekolah
Greta memulai aksi protes di usia 15 tahun pada Agustus 2018. Saat itu dia bolos sekolah dan mendesak Pemerintah Swedia melakukan aksi lebih besar dalam melawan perubahan iklim. Beberapa hari kemudian teman-temannya yang didampingi guru dan orang tua turut turun ke jalan. Tapi, suara itu tidak didengar.
Greta kembali menggelar aksi serupa pada September 2018 dengan intensitas yang lebih tinggi. Bersama teman-temannya, dia melakukan protes setiap Jumat dengan tema Friday for Future dan mengajak mereka bolos sekolah. Setahun berlalu aksi itu menyebar ke 135 negara dan diikuti sekitar 4 juta orang.
Greta terlahir pada 3 Januari 2003 di Stockholm, Swedia. Dia berasal dari keluarga aktris. Ibunya, Malena Ernman, merupakan penyanyi opera, sementara ayahnya, Svante Thunberg, seorang aktor, dan kakeknya, Olof Thunberg, aktor sekaligus sutradara film. Dia mengaku pertama kali mendengar isu perubahan iklim pada 2011 atau di usia delapan tahun.
Sekitar tiga tahun kemudian, Greta berubah menjadi anak yang depresi, lesu, dan jarang berbicara atau makan akibat mengidap sindrom Asperger. Namun, Greta tidak melihat Asperger sebagai penyakit, melainkan kekuatan super. Sejak saat itu dia menantang orang tuanya untuk mengubah gaya hidup dan pola makan.
Pro-Kontra
Kampanye Greta menuai beragam kritikan, baik dari kolumnis ataupun kepala negara di dunia. Sejumlah mantan atau pejabat tinggi dunia yang memberikan penilaian positif terhadap aksinya ialah Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres dan mantan Wakil Presiden AS Al Gore yang juga aktivis lingkungan.
“Generasi saya gagal merespons dengan baik tantangan dramatis perubahan iklim. Namun, isu ini telah dirasakan begitu dalam oleh generasi muda. Saya tak terkejut mereka marah seperti ini karena mereka yang dapat menyelamatkan bumi,” ujar Guterres mengomentari aksi Greta dan teman-teman, dilansir The Guardian.
Namun, beberapa pejabat tinggi dunia juga balik mengkritik aksi Greta, terutama isi kampanye yang dinilai berlebihan, mulai dari PM Australia Scott Morrison, Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden AS Donald Trump, Presiden Prancis Emmanuel Macron, hingga PM Italia Giuseppe Conte.
Putin menyebut Greta merupakan gadis yang baik dan tulus. Namun, dia juga mengkritisi kampanyenya yang terlalu menyepelekan upaya dunia. “Dia belum mengetahui informasi sebenarnya dan seluruhnya. Tidak ada yang menjelaskan kepadanya dunia modern rumit dan berbeda dari yang dia bayangkan,” tandasnya.
Pejabat Prancis, Brune Poirson, juga mengatakan Greta tidak mengetahui solusi apa yang bisa dia tawarkan dalam menyelesaikan permasalahan iklim saat ini. Dia juga dinilai terlalu mengandalkan emosi, keputusasaan, dan kebencian dalam memobilisasi massa. Adapun titik permasalahannya masih belum terselesaikan. (Muh Shamil)
Greta merupakan aktivis yang vokal menyuarakan keprihatinan terkait perubahan iklim dan sering mengkritisi pejabat negara yang dianggapnya tidak melakukan tindakan. Selain menekan Pemerintah Swedia, dia juga menekan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memerhatikan isu tersebut secara lebih serius.
Dengan suara perlawanan yang tinggi, Greta tidak hanya menarik perhatian aktivis lingkungan lain, tapi juga siswa sekolah seusianya di seluruh dunia. Di negaranya, dia bersama teman-temannya menggelar aksi gerakan mogok sekolah dan melakukan protes di depan Parlemen dengan tema masa depan cerah.
Pamor Greta mulai naik setelah aksinya banyak diulas media Eropa dan Amerika Serikat (AS). Sebelum mendapat gelar TIME, Person of the Year, dia juga pernah meraih sejumlah penghargaan dari Royal Scottish Geographical Society, masuk jajaran 100 orang paling berpengaruh TIME, dan nominator Nobel Perdamaian.
“Sekitar 16 bulan sejak Greta memulai protes, dia berhadapan langsung dengan kepala negara anggota PBB, bertemu Paus, berdebat dengan Presiden AS, dan menginspirasi 4 juta orang untuk bergabung melakukan protes,” tulis TIME. “Sastrawan Margaret Atwood menyandingkannya dengan Joan of Arc,” tambah TIME.
Greta saat ini sedang mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB di Madrid, Spanyol. KTT itu dimaksudkan untuk menyepakati cara dalam menerapkan Kesepakatan Paris 2015. Selama di Madrid, dia berbicara secara lantang dan gamblang terkait minimnya upaya pemerintah dunia dalam melawan perubahan iklim.
“Pertemuan ini seperti menjadi peluang bagi negara di dunia untuk mencari celah dan menghindari kewajibannya memenuhi emisi gas rumah kaca,” ujar Greta, dikutip Reuters. “Saya yakin jika masyarakat dunia berada di sini dan ikut mendengar apa yang diperbincangkan, mereka juga pasti akan marah,” sambungnya.
Bolos Sekolah
Greta memulai aksi protes di usia 15 tahun pada Agustus 2018. Saat itu dia bolos sekolah dan mendesak Pemerintah Swedia melakukan aksi lebih besar dalam melawan perubahan iklim. Beberapa hari kemudian teman-temannya yang didampingi guru dan orang tua turut turun ke jalan. Tapi, suara itu tidak didengar.
Greta kembali menggelar aksi serupa pada September 2018 dengan intensitas yang lebih tinggi. Bersama teman-temannya, dia melakukan protes setiap Jumat dengan tema Friday for Future dan mengajak mereka bolos sekolah. Setahun berlalu aksi itu menyebar ke 135 negara dan diikuti sekitar 4 juta orang.
Greta terlahir pada 3 Januari 2003 di Stockholm, Swedia. Dia berasal dari keluarga aktris. Ibunya, Malena Ernman, merupakan penyanyi opera, sementara ayahnya, Svante Thunberg, seorang aktor, dan kakeknya, Olof Thunberg, aktor sekaligus sutradara film. Dia mengaku pertama kali mendengar isu perubahan iklim pada 2011 atau di usia delapan tahun.
Sekitar tiga tahun kemudian, Greta berubah menjadi anak yang depresi, lesu, dan jarang berbicara atau makan akibat mengidap sindrom Asperger. Namun, Greta tidak melihat Asperger sebagai penyakit, melainkan kekuatan super. Sejak saat itu dia menantang orang tuanya untuk mengubah gaya hidup dan pola makan.
Pro-Kontra
Kampanye Greta menuai beragam kritikan, baik dari kolumnis ataupun kepala negara di dunia. Sejumlah mantan atau pejabat tinggi dunia yang memberikan penilaian positif terhadap aksinya ialah Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres dan mantan Wakil Presiden AS Al Gore yang juga aktivis lingkungan.
“Generasi saya gagal merespons dengan baik tantangan dramatis perubahan iklim. Namun, isu ini telah dirasakan begitu dalam oleh generasi muda. Saya tak terkejut mereka marah seperti ini karena mereka yang dapat menyelamatkan bumi,” ujar Guterres mengomentari aksi Greta dan teman-teman, dilansir The Guardian.
Namun, beberapa pejabat tinggi dunia juga balik mengkritik aksi Greta, terutama isi kampanye yang dinilai berlebihan, mulai dari PM Australia Scott Morrison, Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden AS Donald Trump, Presiden Prancis Emmanuel Macron, hingga PM Italia Giuseppe Conte.
Putin menyebut Greta merupakan gadis yang baik dan tulus. Namun, dia juga mengkritisi kampanyenya yang terlalu menyepelekan upaya dunia. “Dia belum mengetahui informasi sebenarnya dan seluruhnya. Tidak ada yang menjelaskan kepadanya dunia modern rumit dan berbeda dari yang dia bayangkan,” tandasnya.
Pejabat Prancis, Brune Poirson, juga mengatakan Greta tidak mengetahui solusi apa yang bisa dia tawarkan dalam menyelesaikan permasalahan iklim saat ini. Dia juga dinilai terlalu mengandalkan emosi, keputusasaan, dan kebencian dalam memobilisasi massa. Adapun titik permasalahannya masih belum terselesaikan. (Muh Shamil)
(nfl)