AS Redam Rumor Potensi Jet Tempur Siluman F-35 Dijual ke UEA
A
A
A
DUBAI - Pejabat Pentagon dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) meredam rumor bahwa jet tempur siluman F-35 Lockheed Martin berpotensi dijual kepada Uni Emirat Arab (UEA). Rumor itu membuncah pekan ini di Dubai Air Show ketika jet tempur termahal itu untuk pertama kalinya dipamerkan di Timur Tengah.
Pembicaraan tentang pencalonan negara Teluk itu untuk bergabung dalam program konsorsium bersama F-35—program militer paling mahal dalam sejarah—dimulai dua tahun lalu ketika dilaporkan bahwa Presiden Donald Trump sedang mempertimbangkan permintaan lama Abu Dhabi untuk mengambil langkah awal menuju pengadaan F-35 di masa depan.
Pada Dubai Air Show tahun 2017, Wakil Kepala Staf Angkatan Udara AS Jenderal Stephen Wilson secara terbuka mengonfirmasi desas-desus bahwa diskusi semacam itu dengan UEA sedang berlangsung.
Tetapi berbicara kepada wartawan di Dubai pada hari Senin lalu, Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Politik-Militer R. Clarke Cooper mengisyaratkan bahwa situasinya tidak lagi demikian.
"Tidak, tidak," kata Cooper kepada CNBC ketika ditanya apakah pembicaraan itu terjadi. "Pertanyaannya adalah apakah ada pertimbangan atau percakapan tentang F35—jawaban singkatnya adalah tidak," katanya lagi, yang dilansir Sabtu (23/11/2019).
"Jawaban panjangnya, adalah kita telah bekerja dengan mereka dan terus bekerja dengan mereka dalam meningkatkan, memperluas kemampuan F-16 mereka dan meningkatkan dan memperluas postur F-16 mereka, sehingga di sanalah kita berada," lanjut Cooper.
Angkatan Udara UEA adalah rumah bagi armada 80 unit F-16 Desert Falcons, sebuah pesawat tempur multi-peran.
Cooper menolak merinci apakah UEA masih menginginkan jet tempur F-35, tetapi pejabat militer UEA sebelumnya telah menyatakan keinginan mereka untuk memperoleh pesawat tempur generasi kelima atau pun teknologi siluman.
Wakil Menteri pertahanan AS untuk Akuisisi dan Dukungan, Ellen Lord, mengatakan kepada wartawan pada pekan yang sama; "Tidak ada briefing rahasia (dengan UEA soal F-35). Tidak akan ada diskusi minggu ini."
Para analis mengatakan ada beberapa alasan UEA berminat untuk membeli F-35. Salah satunya adalah negara itu menjadi salah satu pelanggan senjata terbesar AS dan sekutu yang paling tepercaya di Teluk, setelah mengerahkan pasukan bersama tentara Amerika di Afghanistan, Somalia dan Kosovo, serta membantu dalam upaya kontraterorisme.
"Mengizinkan UEA memperoleh F-35 akan menjadi kemajuan alami dalam hubungan perdagangan pertahanan, karena UEA berupaya untuk mengoperasikan peralatan paling canggih yang tersedia," kata Charles Forrester, analis utama pertahanan dirgantara di IHS Jane, kepada CNBC.
Administrasi Trump telah mengejar strategi peningkatan keterlibatan dengan UEA, di mana pada 2017 meresmikan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan AS-UEA. Mereka juga memiliki musuh besar yang sama, yakni Iran.
Lebih banyak mitra untuk platform mahal juga akan membantu menurunkan biaya untuk semua pesertanya, yang mencakup beberapa negara NATO, dan CEO Lockheed Martin Marillyn Hewson telah menyoroti Timur Tengah sebagai pasar potensial masa depan untuk jet tempur F-35.
"Ada keinginan di Timur Tengah (untuk F-35)," kata Hewson saat konferensi pada bulan Mei. "Pada titik tertentu, saya pikir pemerintah AS akan melihat rilis teknologi ke Timur Tengah, sama seperti mereka memiliki F-15 dan F-16 hari ini."
Pakar perang di Royal United Services Institute (RUSI) yang berbasis di London, Jack Watling, mengatakan masalah utama adalah bahwa nilai F-35 adalah dalam karakteristiknya yang tersembunyi atau berteknologi siluman. "Ini berarti musuh tidak perlu mendapatkan akses ke teknologi," ujarnya.
"Dalam kasus sejumlah negara yang mungkin sangat tertarik dengan platform itu, akan ada kekhawatiran tentang keamanan platform tersebut sehubungan dengan teknisi Rusia atau China yang mendapatkan akses ke sana," papar Watling.
Negara-negara Teluk telah meningkatkan keterlibatan mereka dengan Moskow dalam beberapa tahun terakhir, dan UEA adalah pembeli platform pesawat tak berawak Wing Loon China, di antara teknologi buatan China lainnya.
"UAE adalah...salah satu negara di mana sejumlah orang dalam program ini—tidak terkecuali Israel—mungkin memiliki keprihatinan serius," kata Watling.
Mengundang negara Teluk Arab ke dalam program F-35 juga akan menjadi kebalikan dari kebijakan AS yang telah lama dipegang untuk menjunjung tinggi “keunggulan militer kualitatif" atau QME Israel, di mana Israel mempertahankan keunggulan teknologi di wilayah tersebut dalam hal kemampuan pertahanan.
Israel adalah negara kedua yang memiliki jet tempur F-35 setelah AS. Israel saat ini memiliki 16 unit, setelah menerima jet tempur pertamanya pada tahun 2016.
"Karena kebijakan mempertahankan QME Israel dan persyaratan ekspor AS yang ketat lainnya, kmungkinan penjualan F-35 dalam lingkungan strategis saat ini tidak mungkin, karena Israel baru saja mulai menerima F-35," kata Forrester.
"Demikian pula, karena program ini multinasional, pembatasan ekspor saat ini dari beberapa mitra Eropa dapat mengurangi kemudahan penjualan ke UEA," imbuh dia.
"Namun, bukan tidak mungkin bahwa UEA akan mendapatkan F-35 di masa depan, atau pesawat generasi kelima atau keenam lainnya yang sedang dikembangkan," paparnya.
Pembicaraan tentang pencalonan negara Teluk itu untuk bergabung dalam program konsorsium bersama F-35—program militer paling mahal dalam sejarah—dimulai dua tahun lalu ketika dilaporkan bahwa Presiden Donald Trump sedang mempertimbangkan permintaan lama Abu Dhabi untuk mengambil langkah awal menuju pengadaan F-35 di masa depan.
Pada Dubai Air Show tahun 2017, Wakil Kepala Staf Angkatan Udara AS Jenderal Stephen Wilson secara terbuka mengonfirmasi desas-desus bahwa diskusi semacam itu dengan UEA sedang berlangsung.
Tetapi berbicara kepada wartawan di Dubai pada hari Senin lalu, Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Politik-Militer R. Clarke Cooper mengisyaratkan bahwa situasinya tidak lagi demikian.
"Tidak, tidak," kata Cooper kepada CNBC ketika ditanya apakah pembicaraan itu terjadi. "Pertanyaannya adalah apakah ada pertimbangan atau percakapan tentang F35—jawaban singkatnya adalah tidak," katanya lagi, yang dilansir Sabtu (23/11/2019).
"Jawaban panjangnya, adalah kita telah bekerja dengan mereka dan terus bekerja dengan mereka dalam meningkatkan, memperluas kemampuan F-16 mereka dan meningkatkan dan memperluas postur F-16 mereka, sehingga di sanalah kita berada," lanjut Cooper.
Angkatan Udara UEA adalah rumah bagi armada 80 unit F-16 Desert Falcons, sebuah pesawat tempur multi-peran.
Cooper menolak merinci apakah UEA masih menginginkan jet tempur F-35, tetapi pejabat militer UEA sebelumnya telah menyatakan keinginan mereka untuk memperoleh pesawat tempur generasi kelima atau pun teknologi siluman.
Wakil Menteri pertahanan AS untuk Akuisisi dan Dukungan, Ellen Lord, mengatakan kepada wartawan pada pekan yang sama; "Tidak ada briefing rahasia (dengan UEA soal F-35). Tidak akan ada diskusi minggu ini."
Para analis mengatakan ada beberapa alasan UEA berminat untuk membeli F-35. Salah satunya adalah negara itu menjadi salah satu pelanggan senjata terbesar AS dan sekutu yang paling tepercaya di Teluk, setelah mengerahkan pasukan bersama tentara Amerika di Afghanistan, Somalia dan Kosovo, serta membantu dalam upaya kontraterorisme.
"Mengizinkan UEA memperoleh F-35 akan menjadi kemajuan alami dalam hubungan perdagangan pertahanan, karena UEA berupaya untuk mengoperasikan peralatan paling canggih yang tersedia," kata Charles Forrester, analis utama pertahanan dirgantara di IHS Jane, kepada CNBC.
Administrasi Trump telah mengejar strategi peningkatan keterlibatan dengan UEA, di mana pada 2017 meresmikan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan AS-UEA. Mereka juga memiliki musuh besar yang sama, yakni Iran.
Lebih banyak mitra untuk platform mahal juga akan membantu menurunkan biaya untuk semua pesertanya, yang mencakup beberapa negara NATO, dan CEO Lockheed Martin Marillyn Hewson telah menyoroti Timur Tengah sebagai pasar potensial masa depan untuk jet tempur F-35.
"Ada keinginan di Timur Tengah (untuk F-35)," kata Hewson saat konferensi pada bulan Mei. "Pada titik tertentu, saya pikir pemerintah AS akan melihat rilis teknologi ke Timur Tengah, sama seperti mereka memiliki F-15 dan F-16 hari ini."
Pakar perang di Royal United Services Institute (RUSI) yang berbasis di London, Jack Watling, mengatakan masalah utama adalah bahwa nilai F-35 adalah dalam karakteristiknya yang tersembunyi atau berteknologi siluman. "Ini berarti musuh tidak perlu mendapatkan akses ke teknologi," ujarnya.
"Dalam kasus sejumlah negara yang mungkin sangat tertarik dengan platform itu, akan ada kekhawatiran tentang keamanan platform tersebut sehubungan dengan teknisi Rusia atau China yang mendapatkan akses ke sana," papar Watling.
Negara-negara Teluk telah meningkatkan keterlibatan mereka dengan Moskow dalam beberapa tahun terakhir, dan UEA adalah pembeli platform pesawat tak berawak Wing Loon China, di antara teknologi buatan China lainnya.
"UAE adalah...salah satu negara di mana sejumlah orang dalam program ini—tidak terkecuali Israel—mungkin memiliki keprihatinan serius," kata Watling.
Mengundang negara Teluk Arab ke dalam program F-35 juga akan menjadi kebalikan dari kebijakan AS yang telah lama dipegang untuk menjunjung tinggi “keunggulan militer kualitatif" atau QME Israel, di mana Israel mempertahankan keunggulan teknologi di wilayah tersebut dalam hal kemampuan pertahanan.
Israel adalah negara kedua yang memiliki jet tempur F-35 setelah AS. Israel saat ini memiliki 16 unit, setelah menerima jet tempur pertamanya pada tahun 2016.
"Karena kebijakan mempertahankan QME Israel dan persyaratan ekspor AS yang ketat lainnya, kmungkinan penjualan F-35 dalam lingkungan strategis saat ini tidak mungkin, karena Israel baru saja mulai menerima F-35," kata Forrester.
"Demikian pula, karena program ini multinasional, pembatasan ekspor saat ini dari beberapa mitra Eropa dapat mengurangi kemudahan penjualan ke UEA," imbuh dia.
"Namun, bukan tidak mungkin bahwa UEA akan mendapatkan F-35 di masa depan, atau pesawat generasi kelima atau keenam lainnya yang sedang dikembangkan," paparnya.
(mas)